Analisis

BPJS VS Jaminan Kesehatan Islam

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) acapkali dianggap sebagai bentuk kepedulian negara terhadap pelayanan kebutuhan vital masyarakat. Salah satunya kesehatan.  Padahal hakikat dan fakta BPJS justru menunjukkan sebaliknya.  Jaminan pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara kini dialihkan ke tangan rakyat melalui penetapan premi kesehatan. Rakyat tetap harus membayar premi walaupun tidak sedang  mendapatkan layanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang harusnya didapat rakyat secara gratis, atau murah, kini harus dibisniskan ala “asuransi”. Tanpa mengindahkan penderitaan rakyat, pada bulan September 2019, Pemerintah resmi menaikkan iuran (premi) BPJS Kesehatan sebesar 100%. Kebijakan ini ditetapkan setelah sebelumnya BPJS mengalami defisit yang cukup parah, diperkirakan hingga Rp 32,89 triliun.  Meskipun premi naik, defisit BPJS akhir tahun ini masih diperkirakan sebesar Rp 18 triliun.

Keluhan atas buruknya BPJS Kesehatan tidak hanya berasal dari peserta BPJS, tetapi juga datang dari rumah sakit, dokter dan rekanan-rekanan rumah sakit.  Banyak rumah sakit yang harus nalangi dan hutang ke apotik maupun perusahaan-perusahaan alat kedokteran.  Dokter dipaksa bekerja keras dengan imbalan “ala kadarnya”.  Dengan alasan mengatasi defisit yang terus membengkak, dokter diminta tidak melakukan tindakan medis maksimal kepada peserta BPJS. Rakyat harus pasrah menerima pelayanan kesehatan ala kadarnya.

Ironisnya lagi, Pemerintah tengah menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberi sanksi bagi para penunggak premi BPJS, seperti saat mengurus perpanjangan SIM, IMB, dan lain sebagainya.  Inpres mengenai sanksi penunggak premi sudah ada, tetapi tidak bisa dieksekusi di lapangan.  Fakta semacam ini menunjukkan bahwa BPJS malah membebani rakyat, bukan memberi solusi atas problem kesehatan masyarakat.

 

Kesalahan Mendasar

Kisruh BPJS Kesehatan tentu tidak bisa dipisahkan dari paradigma negara dalam menyelenggarakan urusan masyarakat dan negara.  Kebutuhan vital rakyat, semacam kesehatan, seharusnya menjadi tanggung jawab negara.  Negara berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas secara gratis hingga setiap individu rakyat mampu mengaksesnya dengan mudah.

Pelayanan kesehatan tidak boleh dipandang sebagai jasa yang mewajibkan kompensasi. Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat ditanggung sepenuhnya oleh negara.  Jaminan negara atas kesehatan tidak boleh dirupakan melalui mekanisme asuransi. Tak boleh rakyat diperlakukan layaknya nasabah perusahaan asuransi, seperti yang dilakukan Pemerintah melalui BPJS.

Dr. ‘Abdurrahman al-Khalidi dalam Kitab Ash-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla mengatakan: (Jaminan pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan primer bagi seluruh rakyat telah ditetapkan oleh syariah sebagai kewajiban atas negara secara langsung. Nabi saw bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).

Syariah menetapkan bahwa di antara tanggung jawab (negara) adalah memenuhi kebutuhan asasi bagi seluruh rakyat. Kebutuhan asasi tersebut adalah keamanan, kesehatan dan Pendidikan.

Berobat termasuk perkara mubah. Namun demikian, kesehatan merupakan salah satu urusan dari urusan-urusan rakyat.   Bahkan kesehatan badan termasuk salah satu urusan vital.  Oleh karena itu, pemenuhan kesehatan wajib atas negara. Apalagi tidak adanya pemenuhan kesehatan bagi masyarakat bisa menimbulkan bahaya.  Menghilangkan bahaya wajib atas negara.  Nabi saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan.” (HR Malik).

Atas dasar itu, penyediaan pelayanan kesehatan wajib atas negara. Pasalnya, kesehatan merupakan salah satu urusan rakyat yang wajib dilayani, dan tidak adanya pelayanan kesehatan bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat.

Rasulullah saw.—sebagai kepala negara saat itu—pernah diberi hadiah berupa seorang dokter. Lalu beliau  menjadikan dokter tersebut sebagai dokter untuk seluruh kaum Muslim. Ini menunjukkan bahwa hadiah tersebut untuk seluruh kaum Muslim, bukan untuk beliau sendiri.

Jaminan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS faktanya justru telah memberatkan rakyat.  Alih-alih membantu rakyat, BPJS justru menjadi alat untuk memalak rakyat.  Rakyat dipaksa membayar iuran agar bisa mendapatkan layanan kesehatan yang seharusnya mereka dapatkan secara gratis atau murah.  Dengan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), rakyatlah yang sejatinya menjamin sendiri kesehatannya, bukan Pemerintah.  Jaminan kesehatan rakyat oleh negara hanyalah jargon-jargon yang menipu.

 

BPJS Kesehatan: Asuransi Kesehatan, Bukan Jaminan Kesehatan

Jaminan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS Kesehatan—yang dulu bernama Askes (Asuransi Kesehatan)—sejatinya bukan akad jaminan (dhaman) yang disyariatkan dalam Islam, tetapi asuransi. BPJS tidak ada bedanya dengan perusahaan asuransi yang menjadikan rakyat sebagai nasabahnya.  Peserta BPJS Kesehatan diwajibkan membayar premi tiap bulan, baik dalam keadaan sedang membutuhkan layanan kesehatan ataupun tidak.

Praktik asuransi diharamkan di dalam Islam.  Sebab, syarat sah jaminan harus terjadi pada penunaian hak harta yang wajib dipenuhi atau akan jatuh tempo pemenuhannya. Jika tidak terdapat hak wajib yang akan jatuh tempo pemenuhannya, yang harus ditunaikan oleh seseorang, maka makna jaminan (dhaman) tidak cocok diberlakukan pada orang tersebut. Sebab, tidak terjadi pemindahan hak seseorang kepada pihak lain. Jaminan (dhaman) semacam ini jelas tidak sah.

Jika tidak terdapat hak wajib yang diterima oleh  pihak yang mendapat jaminan (madhmûn lahu) atas yang dijamin (madhmûn ‘anhu), maka jaminan (dhaman) tersebut tidak sah. Sebab, disyaratkan bagi pihak penjamin (dhâmin) agar menjamin barang, jika barang tersebut hilang atau rusak, atau menjamin hutang baik ia menjamin secara praktis, jika pada saat itu hak tersebut berupa hak wajib dan jatuh temponya, ataupun menjamin dengan kemampuan (kekayaannya), jika hak tersebut belum jatuh tempo pemenuhannya. Jika yang dijamin (madhmûn ‘anhu) berada dalam keadaan tidak harus mendapatkan jaminan, baik pada saat itu juga, ataupun dengan kekayaan pihak penjamin (dhâmin), maka jaminan (dhaman) tersebut tidak sah. Sebab, hal-hal yang tidak wajib ditunaikan oleh pihak yang dijamin (madhmûn ‘anhu) tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin (dhâmin).

 

BPJS: Bukan Ta’âwun, Tetapi Pemalakan

BPJS tidak termasuk praktek ta’âwun (saling menolong) yang disyariatkan dalam Islam, tetapi pemaksaan. Di antara prinsip penting ta’âwun adalah kerelaan. Tidak ada pihak yang dipaksa atau yang memaksa.  Di dalam ta’âwun juga tidak ada kewajiban. Karena itu tidak ada keharusan bagi peserta membayar iuran dan akan dikenai sanksi jika tidak menyerahkan iuran. Yang ada hanyalah saling-menolong secara sukarela tanpa ada paksaan.

Di dalam BPJS, faktanya ada pemaksaan dalam hal kepesertaan.  Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan wajib menjadi anggota BPJS (UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Pasal 14). Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajb mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS.  Praktik semacam ini jelas bukan ta’âwun, tetapi pemaksaan.

Peserta diwajibkan membayar iuran (premi). Dia akan dikenai sanksi jika tidak atau telat membayar iuran.  Di antara ketentuan sanksi penunggak iuran BPJS adalah denda dapat berlaku bagi peserta BPJS yang mendapat rawat inap selama 45 hari sejak status BPJS-nya aktif kembali, yakni denda 2,5% dari biaya rawat inap pelayanan kesehatan dikali dengan lamanya tinggakan perbulannya.  Penunggak iuran BPJS juga dikenai sanksi dalam layanan-layanan publik lain, seperti saat mengurus SIM, ijin, dan lain sebagainya.  Penunggak BPJS terancam tidak bisa atau dipersulit saat hendak mengurus urusan-urusannya yang lain. Jika ini faktanya, BPJS tidak menjalankan prinsip ta’âwun, tetapi pemaksaan.

 

Sanksi BPJS yang Dikaitkan dengan Pelayanan Publik Lain

Kezaliman lain yang dilakukan Pemerintah melalui BPJS adalah sanksi penunggak BPJS dikaitkan dengan layanan publik yang lain.   Negara wajib melayani urusan masyarakat dalam keadaan apapun.  Pemberian sanksi penunggak BPJS yang dikaitkan dengan pelayanan publik lain benar-benar merupakan tindak kezaliman Pemerintah atas rakyatnya.  Praktik seperti ini sama artinya dengan menghalagi masyarakat dalam mendapatkan layanan publik yang menjadi hak mereka. Bukankah setiap individu rakyat harus mendapatkan layanan publik dengan mudah dan berkualitas? Bukankah mencegah mereka dari layanan-layanan publik lain sama artinya telah menyulitkan dan memberatkan mereka.

Nabi saw. bersabda:

وَمَنْ يُشَاقِقْ يَشْقُقْ اللهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَ ة

Siapa saja yang menyempitkan (urusan orang lain), niscaya Allah akan menyempitkan urusannya kelak pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari).

 

Nabi saw. pun mendoakan keburukan bagi penguasa yang membebani rakyatnya:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بهم  فَارْفُقْ بِهِ

Ya Allah, siapa saja yang memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyempitkan mereka, sempitkanlah dia. Siapa saja yang memiliki hak untuk mengatur suatu urusan umatku, lalu dia memperlakukan mereka dengan baik, perlakukanlah dia dengan baik (HR Ahmad dan Muslim).

 

Jaminan Pelayanan Kesehatan Islam

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan vital masyarakat yang pelayanannya dijamin oleh negara.  Negara Khilafah menyediakan layanan kesehatan bagi setiap individu rakyat secara gratis.   Paradigma Khilafah dalam mengatur urusan rakyat adalah melayani dan bertanggung jawab sepenuhnya. Khilafah tidak akan mengeksploitasi atau menempatkan rakyat sebagai “pasar” untuk barang dan jasa kesehatan.

Khilafah menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan maksimal kesehatan. Khilafah membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya. Pada masa keemasan Islam, Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis. Khalifah Bani Umayyah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tuna netra. Khalifah Bani Abbasyiah banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling.

Khilafah melalui departemen terkait mensosialisasikan hidup sehat dan menciptakan lingkungan bersih dan asri.  Khilafah juga membudayakan gaya hidup sehat dengan cara membuat aturan-aturan yang menjamin kehalalan dan higienitas makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat, serta bersihnya lingkungan dari polusi.

Apakah kas negara Khilafah mencukupi untuk menjamin pelayanan kesehatan masyarakat secara gratis, termasuk di dalamnya mendanai berbagai macam riset dan pengembangan kedokteran dan farmasi? Tentu, kas negara Khilafah lebih dari mencukupi untuk menjamin pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis bagi setiap individu masyarakat.  Pasalnya, Khilafah mengelola seluruh sumberdaya alam dan harta milik umum, seperti tambang-tambang penting, kekayaan laut, hutan, dan lain sebagainya, untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.  Khilafah menerbitkan kebijakan larangan privatisasi harta-harta milik umum.  Apalagi dalam praktiknya, negara kekurangan dana disebabkan karena privatisasi sumberdaya alam dan harta-harta milik umum.  Belum pemasukan dan pendapatan dari sektor-sektor lain. Atas dasar itu, dana negara Khilafah lebih dari cukup, bahkan berlebih, dalam menjamin kebutuhan-kebutuhan vital masyarakat, di antaranya kesehatan.  Apalagi struktur anggaran pendapatan belanja negara (APBN) Khilafah juga terbebas dari hutang riba luar dalam maupun negeri, yang dalam praktiknya amat membebani anggaran negara.

Selain itu, budaya kaum Muslim adalah budaya tolong-menolong dan saling membantu. Budaya ini tentu memudahkan negara Khilafah dalam menciptakan pelayanan kesehatan bagi setiap individu rakyat.

 

Jaminan Kesehatan Membutuhkan Sistem Pemerintahan dan Kebijakan Yang Benar

Jaminan pelayanan kesehatan rakyat yang memungkinkan setiap individu rakyat bisa mengakses layanan kesehatan terbaik secara gratis, membutuhkan sistem pemerintahan dan kebijakan yang benar.  Sebab, ia terintegrasi dan terkait dengan kebijakan-kebijakan lain.  Dalam hal ketercukupan dana, misalnya, dibutuhkan pemerintahan dan kebijakan yang menjadikan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam ada di tangan pemerintah, bukan swasta.  Dibutuhkan pula aturan dan budaya hidup bersih dan sehat, seperti larangan makanan dan minuman haram, pelacuran, seks bebas, hubungan lawan jenis dan lain sebagainya.

Hal-hal di atas hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan terbaik, yakni akidah dan syariah Islam. Islam adalah agama terbaik yang Allah SWT turunkan. Allah SWT berfirman:

أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ  ٥٠

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

 

Menurut Imam an-Nasafi dalam kitab tafsirnya, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta‘wîl, maknanya, “Sungguh tidak ada hukum yang paling adil dan baik dibandingkan dengan hukum Allah.”

Rakyat negeri ini hanya akan mendapatkan pelayanan terbaik ketika urusan mereka diatur dengan aturan terbaik.   Tidak ada aturan yang lebih baik dibandingkan syariah Islam.  Syariah Islam hanya bisa diterapkan secara kâffah dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas akidah Islam. Sistem pemerintahan tersebut adalah Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Bukan demokrasi-sekuler yang jelas-jelas memusuhi formalisasi syariah Islam. [Gus Syams].

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + 2 =

Back to top button