Seruan Kepada Rasulullaah saw. Pada Awal Kenabian (Bagian 1)
QS al-Muddatstsir [74]: 1-7
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢ وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤ وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ ٥ وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ ٦ وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ ٧
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah! Lalu berilah peringatan! Tuhanmu, agungkanlah! Pakaianmu, bersihkanlah! Perbuatan dosa, tinggalkanlah! Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak! Untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah! (QS al-Muddatstsir [74]: 1-7).
Surat ini dinamai dengan Surat al-Muddatstsir. Diambil dari ayat pertamanya. Artinya, orang yang berselimut. Tak ada perbedaan pendapat bahwa surat ini termasuk Makkiyyah. Menurut Ibnu Abbas, surat ini turun sesudah al-Muzzammil.1
Ayat sebelumnya, pada surat sebelumnya, diawali dengan panggilan kepada Nabi saw. dengan menyebut beliau sebagai al-muzzammil (orang yang berselimut), dalam surat ini beliau kembali dipanggil dengan makna serupa, al-muddatstsir (orang yang berselimut). Menurut Abdurrahman as-Sa’di, dua kata itu maknanya sama.2
Jika pada awal surat sebelumnya beliau diperintahkan untuk mendirikan shalat malam, dalam surat ini beliau diperintahkan untuk menyampaikan peringatan kepada manusia.
Sabab Nuzul
Jabir bin Abdullah ra. mendengar Rasulullah saw. pernah menceritakan tentang masa terhentinya wahyu: “Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit, aku melihat ke arah langit. Tiba-tiba malaikat yang pernah datang kepadaku di Hira. datang kepadaku. Ia duduk di atas sebuah kursi di antara langit dan bumi. Aku pun merasa takut dengannya hingga aku terjatuh ke tanah. Kemudian aku pulang ke rumah keluargaku dan kukatakan, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku!’ Lalu turunlah firman Allah SWT: Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! (QS al-Muddatstsir [74]: 1-2). Sampai dengan firman-Nya: Perbuatan dosa, tinggalkanlah! (QS al-Muddatstsir [74]: 5).” (HR Muslim).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Ya ayyuha al-muddatstsir (Wahai orang yang berselimut). Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada al-muddatstsir (orang yang berselimut). Para ulama sepakat bahwa yang dipanggil dengan sebutan tersebut adalah Nabi saw.3
Kata al-muddatstsir merupakan ism al-fâ’il dari kata tadatstsara (mengenakan selimut). Dengan demikian asal kata tersebut adalah al-mutadatstsir (dengan menggunakan huruf at-tâ‘). Huruf at-tâ‘ itu lalu di-idgham-kan ke dalam huruf ad-dâl yang terletak sesudahnya karena keduanya memiliki kedekatan makhraj-nya (tempat keluarnya huruf).4
Menurut Wahbab az-Zuhaili, huruf ad-dâl tidak di-ighmam-kan dengan huruf at-tâ‘. Pasalnya, huruf al-tâ‘ adalah huruf hams, sementara huruf ad-dâl adalah huruf jahr. Huruf jahr lebih kuat daripada huruf hams. Karena itu idhgham huruf yang lebih lemah ke huruf yang lebih kuat adalah lebih baik daripada sebaliknya.5
Pengertian tadatstsara adalah mengenakan pakaian ad-ditsâr. Kata ad-ditsâr menunjuk pada pakaian yang dikenakan di atas syi’âr. Asy-syi’âr adala pakaian yang menempel pada badan. Makna tersebut sebagaimana terkandung dalam hadis shahih bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دَثَارٌ
Anshar adalah pakaian dalam, sedang orang lain hanyalah pakaian luar (HR al-Bukhari).6
Kata al-muddatstsir juga berarti orang yang berselimut dengan pakaian untuk tidur atau untuk kehangatan.7 Makna ini pula yang disampaikan oleh sebagian besar mufassir. Menurut Qatadah, makna al-muddatstsir adalah orang yang berselimut dalam pakaiannya.8
Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Wahai orang yang berselimut dengan pakaiannya ketika tidur!” Menurut ath-Thabari, Nabi saw. dipanggil demikian karena ketika itu beliau sedang berselimut dengan kain beludru.9 Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibrahim, Qatadah dan Aisyah.10
Penjelasan serupa dikemukakan oleh al-Qurthubi. Menurut al-Qurthubi, ayat ini bermakna: “Wahai orang yang berselimut dengan pakaiannya.” Yakni, yang menutupi diri dengan selimut dan tidur.11
Menurut al-Qurthubi, panggilan tersebut merupakan panggilan yang memperlihatkan kelembutan dari al-Karîm, Zat Yang Mahamulia, yang memanggil kekasih yang Dia cintai. Sebab, Dia memanggil Nabi saw. dengan menyebut kondisi beliau. Allah SWT tidak memanggil beliau, “Wahai Muhammad!” atau “Wahai Fulan!” agar beliau merasakan kelembutan dan kasih sayang dari Tuhannya.12
Menurut al-Qurthubi, panggilan tersebut tidak jauh berbeda dengan panggilan Nabi saw. kepada Ali ra yang sedang tidur di masjid, “Qum Aba Turab (Bangunlah, Abu Turab)!” Sebelumnya Ali ra. keluar dari rumahnya dengan keadaan kesal kepada Fatimah ra. ia lalu tersandung bajunya sendiri dan terjatuh di atas tanah. Tanpa membersihkan bajunya, dia pun tidur di samping masjid.13
Contoh lainnya adalah panggilan Nabi saw. kepada Hudzaifah pada Perang Khandaq. Beliau memanggil Hudzifah dengan panggilan, “Qum, ya Nawman (Bangunlah, wahai orang yang sedang tertidur).”14
Sebagian mufassir lainnya menafsirkan kata berselimut ini dengan makna majazi, bukan hakiki. Maknanya, yang dimaksud dengan ‘orang yang berselimut’ di sini adalah ‘orang yang berselimut dengan kenabian dan kesempurnaan jiwa’. Dalam arti, yang memperindah dengannya dan menghiasi diri dengan jejak-jejaknya.15 Ikrimah berkata tentang makna ayat ini, “Wahai orang yang berselimut dengan kenabian dan berbagai bebannya.”16
Kemudian Allah SWT berfirman: Qum fa andzir (Bangunlah, lalu berilah peringatan!). Ini merupakan perkara yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi saw. Beliau diperintah dengan firman-Nya: Qum (bangunlah). Jika dikaitkan dengan panggilan yang digunakan untuk menyeru beliau, yakni al-muddatstsir (berselimut), maka artinya: bangun dan berdiri dari tidurnya. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Bangunlah dari tidurmu.”17 Al-Khazin juga berkata, “Bangunlah dari tempat tidur dan selimutmu.”18
Kata andzir (peringatkanlah) merupakan fi’l al-amr (kata perintah) dari kata al-indzâr (peringatan). Secara bahasa, kata tersebut berarti pemberitahuan yang disertai dengan ancaman menakutkan).19 Ini lebih khusus daripada pemberitahuan secara mutlak.20
Ini sebagaimana diterangkan Qatadah yang berkata, “Sampaikan peringatan tentang adanya azab Allah dan berbagai peristiwa yang menimpa umat-umat serta dahsyatnya hukuman-Nya.”21
Kata al-indzâr merupakan al-fi’l al-muta‘addiy yang memerlukan dua al-maf’ûl, yakni pihak yang diperingatkan dan perkara yang diperingatkan. Dalam ayat ini, keduanya tidak disebutkan. Oleh karena, keduanya perlu ditelusur sehingga diketahui.
Tentang orang yang diperingatkan, diterangkan oleh ayat-ayat lain bahwa mereka adalah orang-orang kafir (QS Maryam [19]: 97). Kadang juga untuk kaum Mukminin. Sebab, mereka adalah orang yang mendapatkan manfaat darinya (QS Yasin [36]: 11). Kadang pula untuk seluruh manusia (QS Yunus [10]: 2).22
Adapun perkara yang diperingatkan adalah Hari Kiamat.23 Dua perkara itu telah dijelaskan Ibnu Jarir ath-Thabari saat menjelaskan ayat ini. Menurut Ath-Thabari, Allah SWT berfirman kepada Nabi saw.: “Muhammad, bangunlah dari tidurmu, dan sampaikanlah peringatan tentang adanya azab Allah kepada kaummu yang menyekutukan Allah dan menyembah selain-Nya.”24
Hal senada disampaikan oleh al-Qurthubi yang berkata, “Ancamlah penduduk Makkah dan peringatkanlah mereka dengan azab jika mereka tidak mau memeluk Islam.”25
Hal yang sama juga disampaikan asy-Syaukani.26
Menurut az-Zamakhsyari, makna yang benar adalah: “Berikanlah peringatan kepada siapa pun tanpa kecuali!”27
Abu Hayyan al-Andalusi juga mengatakan bahwa peringatan itu bersifat umum untuk seluruh manusia dan diutus untuk semua makhluk.28
Abdurrahman al-Alusi berkata, “(Berikanlah peringatan) kepada manusia dengan perkataan dan perbuatan yang bisa mewujudkan tujuan serta menjelaskan keadaan perkara yang diperingatkan agar hal itu ditinggalkan.”29
Ibnu ‘Asyur juga mengatakan bahwa tidak disebutkannya maf’ûl dalam ayat ini memberikan makna umum, yakni seluruh manusia. Dengan demikian maknanya, “Berikanlah peringatan kepada manusia seluruhnya.” Mereka saat itu adalah seluruh manusia selain Khadijah ra. Sebab, beliau telah beriman dan pantas mendapatkan kabar gembira.30
Menurut Ibnu Katsir, perintah ini merupakan penetapan beliau sebagai rasul, sebagaimana dalam wahyu sebelumnya telah menetapkan beliau sebagai nabi.31
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa Rabbaka fa kabbir (Tuhanmu, agungkanlah!). Huruf al-wâwu men-‘athf-kan kalimat dalam ayat ini dengan kalimat dalam ayat sebelumnya: Qum fa andzir (Bangunlah, lalu berilah peringatan!). Nabi saw. diperintahkan untuk bertakbir kepada Allah SWT. Kata kabbir merupakan fil al-amr (kata perintah) dari kata kabbara yang bermakna ‘azhzhim (agungkanlah). Demikian menurut banyak ahli tafsir.32
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata kabbir dimasuki huruf al-fâ` menunjukkan adanya syarat yang dihilangkan. Dengan demikian kata kabbir merupakan jawaban darinya. Syarat tersebut bersifat umum karena tidak ada dalil yang menunjukkan adanya syarat tertentu. Syarat yang diperkirakan tersebut adalah al-maf’ûl yang didahulukan. Sebab, al-maf’ûl yang didahulukan kadang menempati kedudukan sebagai syarat. Jadi kalimat aslinya diperkirakan, “Menjadi apa pun, agungkanlah Tuhanmu.” Dengan demikian makna ayat ini adalah: “Janganlah berhenti menyatakan pengagungan kepada Allah SWT dan mentauhidkan-Nya dalam setiap waktu dan keadaan.” Ini termasuk al-îjâz atau peringkasan kalimat.33
Hal senada juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi. Huruf at-tâ‘ tersebut memberikan makna syarat. Jadi seolah dikatakan, “Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan bertakbir kepada-Nya.”34
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, Allah SWT berfirman, “Kepada Tuhanmu, wahai Muhammad, fa ‘azhzhim (agungkanlah) dengan penyembahan dan permohonan sungguh-sungguh kepada-Nya dalam segala keperluanmu tanpa menoleh sedikit pun kepada sesembahan dan tandingan-tandingan selain-Nya.”35
Abu Bakar al-Jazairi berkata, “Agungkanlah Tuhanmu dengan pengagungan yang sesuai dengan kemuliaan kesempurnaan-Nya. Karena Dialah Yang Mahabesar. Tak ada yang lebih besar dari-Nya. Dia Yang Mahaagung. Tidak ada yang lebih agung dari-Nya. Karena itu umumkanlah hal itu melalui lisanmu dengan berkata: AlLahu Akbar (Allah Mahabesar) dan perbuatanmu. Janganlah engkau menghinakan dirimu kecuali hanya kepada-Nya dan janganlah engkau mencintai kecuali karena-Nya. Agungkanlah Allah dengan segala perbuatanmu. Karena itu janganlah engkau melakukan sesuatu yang tidak diizinkan Allah atau Dia perintahkan kepadamu.”36
Menurut Ibnu al-‘Arabi, at-takbîr adalah at-ta’zhîm (pengagungan). Artinya, mengingat Allah SWT dengan sifat-Nya yang paling agung dengan hati, memuji-Nya dengan lisan dengan puncak pujian serta ketundukan kepada-Nya dengan puncak ibadah, sebagaimana bersujud kepada-Nya dengan penuh kehinaan dan ketundukan.37
Frasa Rabbaka (Tuhanmu) berkedudukan sebagai al-maf’ûl (objek) dari fi’l (kata kerja perintah) kabbir (agungkanlah, besarkanlah). Kata itu didahulukan memberikan makna al-ikhtishâsh (pengkhususan). Artinya, janganlah kamu mengagungkan yang lainnya. Itu merupakan pembatasan secara khusus. Artinya, bukan patung-patung.38
Kata takbir, yakni Allah Akbar, diperintahkan dalam banyak ibadah, seperti dalam azan, iqamah, shalat, Idul Fithri, Idul Adha, dan lain-lain. Bahkan dalam shalat ia dijadikan sebagai pembukanya dan dibaca setiap memulai gerakan lainnya kecuali sesudah rukuk. (Bersambung).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulû al-Qur`ân, vol. 1 (Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah, 1974), 42
2 al-Sa’di, Taysىr al-Karىm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 895
3 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 696; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 362; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 218
4 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 696. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 59; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 388; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisiyyah, 1984), 294. Lihat juga al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), 308
5 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 218
6 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 323. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 644; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 129; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 294. Maknanya: Orang Anshar adalah orang khusus dan bithânah (orang dalam, teman dekat). Lihat al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmâl Mu’lim bi Fawâid Muslim, vol. 3 (Kairo: Dar al-Wafa’ , 1998), 601
7 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 696; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 326; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 215
8 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 9
9 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 7
10 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 326
11 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 59
12 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 61
13 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 61. Ini diriwayatkan dalam Hadits al-Bukhari.
14 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 61. Ini diriwayatkan dalam Hadits Muslim
15 al-Alusi, Râh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1995), 129
16 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 388
17 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 ,9
18 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4. 362
19 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 797
20 al-Syinqithi, Adhwâ‘ al-Bayân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 361
21 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 9
22 al-Syinqithi, Adhwâ‘ al-Bayân, vol. 8, 361
23 al-Syinqithi, Adhwâ‘ al-Bayân, vol. 8, 361
24 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 9
25 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 61
26 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 388
27 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 645
28 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 325
29 al-Sa’di, Taysىr al-Karىm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 895
30 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 295
31 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibahm 1999), 262
32 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 262; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 362; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2993), 463
33 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 296
34 al-Alusi, Râh al-Ma’ânî, vol. 15, 130
35 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 9
36 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 463
37 Ibnu ‘Arabi, Ahkâm al-Qur`ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 339
38 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 294