
Menanamkan Kebanggaan Sebagai Muslim Pada Anak
Euforia menyambut kedatangan Paus di Indonesia beberapa waktu lalu dirasakan juga oleh anak-anak dan remaja kita. Apalagi memang momen ini ditayangkan di semua media massa dan menjadi trending di media sosial. Masalahnya, opini yang lantas tersebar adalah betapa santun dan sederhananya Sang Paus. Betapa juga beberapa tokoh Muslim begitu memuliakan dia. Gambaran yang tampak begitu harmonis.
Boleh jadi hal ini akan menyihir anak-anak kita, lantas menjungkirbalikan akidah yang sudah kita tanam selama ini. Padahal, permasalahan yang ada tidak bisa dilihat secara hitam putih sebagaimana yang ditampakkan dan diopinikan.
Anak-anak dan remaja, dengan keterbatasan maklumat yang mereka miliki, cenderung akan lebih mudah menelan informasi apa saja yang mereka lihat dan mereka dengar. Tanpa filter yang cukup. Ini sangat berbahaya sehingga orangtua harus meluruskannya. Namun, bagaimana jika yang tampil mempropagandakan kesalahan justru tokoh-tokoh muslim yang dianggap ulama?
Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, setelah kedatangan Paus, dalam Seminar Nasional yang mengusung tema “Agama dan Kemanusiaan, Lintas Keyakinan Menuju Persaudaraan Sejati” di Kampus Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Rabu (28/8/2024) mengatakan, “Sudah waktunya kita membangun kebersamaan yang hakiki, (karena) kita semua sama.” (Istiqlal.or.id, 28/08/2024).
Benarkah semua agama sama? Tentu tidak. Namun menyampaikan hal itu kepada anak di tengah gencarnya arus moderasi bukan perkara mudah bagi ayah dan bunda. Apalagi moderasi beragama sudah resmi masuk dalam kurikulum pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi.
Dari TK? Benar. Saat ini anak-anak TK sudah dikenalkan dengan berbagai agama, tempat ibadah dan hari raya mereka. Bahkan ada TK yang melabeli diri dengan TK Islam, mengajak para siswa untuk berkunjung ke tempat-tempat ibadah agama lain (https://www.youtube.com/shorts/nSi4-1YV6iw). Kalau kita browsing, agenda semacam ini ternyata banyak dilakukan sekolah-sekolah lain; dari SD, SMP dan SMA, bahkan mahasiswa di perguruan tinggi. Yang memprihatinkan, ternyata ada juga orangtua yang setuju, bahkan mendukung acara seperti ini.
Inilah ajaran moderasi beragama, yang menganggap bahwa semua agama adalah sama. Tidak boleh ada yang mengklaim kebenaran. Bahkan antar umat beragama harus saling toleransi dengan saling membantu perayaan hari besar agama lain, juga saling bekerjasama dan saling berkasih sayang.
Jika jiwa moderasi ini terbentuk pada anak-anak kita, mereka tidak akan berpegang teguh lagi pada Islam. Murtad dan menikah dengan pemeluk agama lain menjadi hal yang tidak dianggap salah. Kalaupun bertahan dengan keislamannya, anak akan meninggalkan banyak ajaran Islam yang dia anggap terlalu ekstrem dan radikal.
Lantas apa yang bisa ayah dan bunda lakukan? Tips di bawah ini semoga bisa membantu.
- Membangun Kepercayaan Anak pada Orangtua.
Berhadapan dengan pengajaran yang disampaikan guru, tentu bukan hal yang mudah bagi ayah bunda untuk mendapat kepercayaan anak. Biasanya, anak lebih percaya kepada guru daripada orangtua. Maka dari itu, kunci menanamkan pemahaman yang lurus pada anak adalah membangun rasa percaya anak pada orangtuanya.
Orangtua, dari awal kehidupan anak, harus membangun kepercayaan ini. Jangan pernah sekali-kali berbohong kepada anak atau menjawab pertanyaan anak secara asal-asalan. Benar. Anak-anak suka menanyakan hal-hal yang sulit dan kadang di luar nalar. Rasa ingin tahu mereka begitu besar. Dalam menghadapi anak-anak seperti ini, orangtua perlu banyak membaca dan mencari tahu agar tidak menjawab salah. Bila memang belum tahu, jangan segan mengakuinya.
“Maaf sayang, pertanyaanmu luar biasa. Ayah-Bunda tidak terpikir ke sana. Ayo kita cari bersama ya jawabannya.”
Sikap seperti ini akan membuat anak tahu, ayah-bundanya selalu berusaha menjawab dengan benar. Beda halnya kalau kita jawab asal. Suatu saat anak akan tahu kesalahan jawaban kita, dan itu membuat mereka tidak percaya. Apalagi kalau mereka tahu orangtuanya suka berbohong dalam menjawab.
Bila kepercayaan ini telah terbentuk, maka akan lebih mudah bagi kita untuk mengajak mereka bicara memberi masukan dan pemahaman.
- Ajak anak Berpikir sesuai Tingkat Umur dan Akalnya.
Dari awal kita harus sering mengajak anak berdiskusi. Ayah-Bunda bisa menunjukkan langsung ayat dan hadis untuk memperkuat argumen kita sehingga anak tahu persis bahwa standar kebenaran adalah al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Semakin anak bertambah umur, tunjukkan buku-buku referensi yang bisa ia baca.
Terkait dengan pendapat semua agama sama, Ayah-Bunda bisa menjelaskan konsep ketuhanan Islam yang hanya mengenal Allah sebagai satu-satunya tuhan. Allah tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Allah tidak sama wujud-Nya dengan manusia. Bahkan manusia tidak mampu melihat wujud-Nya. Manusia hanya bisa melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.
Coba kita bandingkan dengan agama Nasrani yang menganut trinitas. Tuhan mereka beranak Yesus. Yesus adalah tuhan yang dilahirkan oleh perawan Maria. Bagaimana bisa tuhan kita dianggap sama dengan tuhan mereka yang melahirkan dan dilahirkan?
Anak yang telah mampu berpikir bisa kita ajak juga untuk menelaah kitab Sirah Rasulullah saw. Bagaimana Rasulullah saw. berkomitmen melindungi agama-agama lain, namun beliau tidak mengakui kebenarannya. Beliau berdialog dengan mereka dalam rangka mengajak mereka masuk Islam tanpa memaksa mereka dan tidak berkompromi dengan keyakinan mereka. Rasulullah saw. juga mengirim surat kepada para penguasa di sekitar Arab, mengajak mereka masuk Islam. Bisa kita simpulkan bahwa Rasulullah saw. sama sekali tidak mengajarkan semua agama sama, lantas membebaskan mereka memeluk agama apa saja.
- Selalu menjalin komunikasi dengan anak dan membilas pemahamannya.
Bila anak sudah percaya dengan Ayah-Bunda, anak kita biasakan untuk menceritakan pelajaran-pelajaran yang didapatnya di sekolah. Mana yang harus kita luruskan dan mana yang harus kita bilas. Anak juga selalu kita ajak untuk berdiskusi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi seperti kunjungan Paus ke Indonesia dan dampaknya terhadap umat.
Hal ini akan terasa lebih berat bagi Ayah-Bunda yang anak-anaknya belajar di sekolah negeri atau madrasah dan sekolah Islam, tetapi mengambil kurikulum dari Kemendikbud dan Kemenag. Namun, inilah perjuangan orangtua untuk menjaga kelurusan aqidah anak agar tidak rusak oleh moderasi. Allah SWT telah membebankan kelurusan aqidah anak ini pada orangtua dengan firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ ٦
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS at Tahrim [66]: 6).
- Sampaikan konsep toleransi yang benar dalam Islam.
Islam menerapkan batasan-batasan toleransi dalam kehidupan sebagai berikut:
Pertama, seorang Muslim wajib menyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sedangkan di luar Islam salah (kufur). Tidak ada toleransi, kompromi dan pengakuan atas klaim kebenaran agama selain Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 85).
Kedua, dalam urusan ibadah, pernikahan, makanan, minuman dan pakaian, orang kafir dibiarkan melakukan semua itu sesuai agama mereka. Mereka tidak dipaksa meninggalkan peribadahan, tatacara pernikahan dan urusan-urusan privat mereka. Sebagaimana saat menaklukkan Mesir, para Sahabat menyaksikan dan membiarkan kaum kafir minum khamr dan beribadah menurut agama mereka.
Hanya saja, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadahan orang kafir dengan alasan toleransi. Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka (HR Ahmad).
Dari ‘Atha’ bin Dinar bahwa Umar ra. pernah berkata, ”Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sungguh murka Allah SWT turun kepada mereka pada hari itu.” (HR al-Baihaqi).
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Kaum Muslim haram merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslim juga haram memasuki gereja dan tempat-tempat ibadah mereka.” (Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm, hlm. 201).
Adapun dalam muamalah, seorang Muslim boleh bermuamalah dengan orang kafir, asalkan sejalan dengan syariah Islam. Seorang Muslim juga tidak dilarang menjalin hubungan baik, berteman, berjual beli atau melakukan interaksi-interaksi sosial positif dengan orang kafir.
Kita perlu juga mengajak anak melihat penerapan Islam dalam sejarah. Bagaimana Islam benar-benar membuktikan bahwa berbagai agama bisa menyatu di bawah Negara Islam. Hal ini diakui juga oleh para sejarahwan Barat non-Muslim. Max I. Dimon, telah melukiskan kerukunan hidup antarumat beragama di Spanyol selama 500 tahun di bawah naungan Negara Islam. Bahkan Maria Rosa Menocal (2006), seorang intelektual Barat, menyebut Andalusia sebagai sepotong surga karena tiga agama besar: Islam, Nasrani dan Yahudi bisa hidup berdampingan secara damai.
- Penyampaian kepada anak menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Dalam berdiskusi dengan anak, kita harus memperhatikan teknik komunikasi dan bahasa yang sesuai tingkat pemikiran anak. Orangtua sebaiknya menghindarkan diri dari sikap seolah paling tahu, tidak mau dibantah atau sikap-sikap buruk lainnya. Bila anak terlihat menolak yang kita sampaikan, kita bisa ajak anak untuk melihat referensi langsung dari al-Quran, al-Hadis atau kitab-kitab ulama yang terpercaya.
- Ajarkan anak untuk istiqamah dalam keyakinan.
Boleh jadi anak akan berhadapan dengan sistem pendidikan yang bertentangan dengan nuraninya. Maka dari itu kita perlu mengenalkan pada anak sampai batas mana ia boleh mengikuti pendapat gurunya dan mana yang tidak boleh. Misal anak diajak mengikuti kunjungan ke tempat ibadah agama lain. Anak kita, kita ajari untuk menolak menggunakan argumentasi yang kuat dari dalil-dalil syariah.
- Senantiasa mengajarkan Islam kaaffah pada anak
Sebenarnya merupakan tugas dari seluruh pihak yang terkait dengan anak, baik orangtua, guru, berbagai lembaga dan media massa, untuk mengajarkan pada anak tentang Islam kaaffah. Minimal orangtua harus mengupayakan. Menanamkan aqidah yang lurus dan membentuk kepribadian Islam. Mengajarkan bahwa makna toleransi adalah “lakum diinukum waliya ad-diin”. Mengajarkan untuk menerima pluralitas, tetapi menolak pluralisme. Mengajarkan untuk menerima Islam secara keseluruhan dan memperjuangkannya, bukan menerima sebagian dan menolak sebagiannya.
Anak-anak yang dididik dengan Islam kaaffah seperti ini akan menjadi anak-anak yang shalih dan memiliki keimanan yang lurus.
Tak perlu takut anak-anak menjadi radikal dengan menjalankan Islam secara kaaffah. Justru inilah yang akan menghantarkan anak-anak kita menjadi generasi umat terbaik yang pernah dilahirkan bagi manusia, sebagaiman dinyatakan dalam al-Quran (QS Ali Imran [3]: 110).
- Terakhir, sampaikan apa yang disampaikan Rasulullah saw.:
اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى
Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya (HR ad-Daruquthni).
Kebanggaan sebagai seorang Muslim harus kita tanamkan pada anak. Sebabnya, Islamlah satu-satunya agama yang benar dari Allah. Karena itu tidak selayaknya seorang Muslim merendahkan diri di hadapan non-Muslim atau memuliakan orang non-Muslim sedemikian rupa seolah ia layak menjadi teladan bagi umat Muslim. Sungguh terbalik. Inilah yang diinginkan non-Muslim dengan program moderasi beragama yang mereka cangkokkan ke tubuh umat.
Ini tugas berat, namun akan menentukan masa depan Islam dan membuktikan bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Arini Retnaningsih]