Fikih

Bagaimana Hukum Vaksinasi Covid-19?

Soal:

Berkaitan dengan vaksin baru yang mulai diberikan oleh berbagai negara untuk rakyatnya, vaksin Covid-19. Kita melihat banyak kekhawatiran di tengah masyarakat seputar bahaya vaksin tersebut. Bahkan ada yang menduga vaksin Covid-19 itu merupakan konspirasi kapitalis terhadap bangsa-bangsa. Pertanyaannya: Apakah merupakan kewajiban syar’i mendapatkan vaksin (divaksin) di tengah penyebaran wabah ini?

 

Jawab:

Kami telah mempublikasikan Jawab-Soal tentang berobat. Kami katakan di situ:

Obat itu, jika di dalamnya ada dharar, maka haram. Ini sesuai Hadis Nabi saw.:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.

 

Jika obat itu di dalamnya tidak ada dharar tetapi mengandung bahan yang haram atau najis, maka hukumnya makruh, bukan haram. Artinya, boleh digunakan disertai dengan ketidaksukaan (al-karâhah) jika pasien tidak menemukan obat yang mubah/halal.

Adapun jika obat itu di dalamnya tidak ada dharar dan tidak mengandung bahan yang haram atau najis maka hukumnya mandub/sunnah.

Saya kutipkan potongan dari Jawab-Soal itu yang diperlukan:

Pertama, Jawab-Soal tanggal 26/1/2011 seputar pemanfaatan barang yang haram dan najis serta berobat dengan keduanya (Jawab-Soal Pemanfaatan Darah dan Virus). Di situ dinyatakan:

Dari keharaman itu dikecualikan berobat.  Berobat dengan sesuatu yang haram dan najis tidak haram. Ini berdasarkan Hadis Nabi saw. dari Anas ra.:

رَخَّصَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ رُخِّصَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ كَانَتْ  بهما

Rasulullah saw. memberi keringanan atau diberikan keringanan (rukhshah) kepada Zubair bin al-‘Awam dan Abdurrahman bin ‘Awf untuk memakai sutera karena penyakit kulit keduanya.

 

Memakai sutera bagi laki-laki adalah haram.  Namun, hal itu diperbolehkan dalam hal berobat.

Demikian pula boleh berobat dengan yang najis. Ini berdasarkan Hadis Nabis aw. dari Anas ra.:

أَنَّ ناسا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَا نها وَأَبْوَالِهاَ فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِن أَلْبَا وَأَبْوَالِهاَ

Ada orang-orang yang ijtawaw di Madinah. Lalu Nabi saw. menyuruh mereka untuk menyusul penggembala beliau, yaitu (penggembala) unta sehingga mereka bisa meminum susunya dan air kencing unta itu. Lalu mereka menyusul penggembala itu dan mereka meminum susu dan air kencing unta itu (HR al-Bukhari).

 

Ijtawaw artinya makanannya tidak cocok dengan mereka sehingga mereka sakit.  Rasul saw. membolehkan “air kencing” untuk mereka dalam hal berobat padahal “air kencing” itu adalah najis.

Kedua, dinyatakan di dalam JawabSoal tanggal 19/09/2013 M (Seputar Alkohol dan Penggunaannya) sebagai berikut:

Jawabannya adalah bahwa penggunaan khamr dalam pengobatan, juga obat yang didalamnya ada alkohol,  hukumnya boleh disertai ketidaksukaan (karâhiyah). Dalilnya adalah sebagai berikut:

Ibnu Majah telah mengeluarkan hadis dari jalur Thariq bin Suwaid al-Hadhrami. Ia berkata:

قُلْتُ يا رسول الله إِنَّ بِأَرْضِنَا أعنابا نَعْتَصِرُهَا فَنَشْرَبُ مِنْهَا قَالَ لَا فَرَاجَعْتُه قُلْتُ إِنَّا نَسْتَشْفِي بِه لِلْمَرِيضِ قَالَ إِنَّ ذَلِك لَيْس بِشِفَاءٍ وَلَكِنَّه دَاءٌ

Aku berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya di tanah kami ada anggur yang kami peras dan kami minum.”  Rasul menjawab, “Jangan.” Lalu aku kembali kepada beliau dan aku katakana, “Kami memberikannya untuk minum orang sakit.”  Rasulullah menjawab, “sesungguhnya itu bukan obat melainkan penyakit.” 

 

Ini merupakan larangan penggunaan najis atau zat haram “khamr” sebagai obat.  Akan tetapi, Rasulullah saw memperbolehkan berobat menggunakan najis “air kencing unta”.

Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari jalur Anas ra.:

أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لهَمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانها وَأَبْوَالِهاَ

Ada orang-orang dari Urainah. Makanan Madinah tidak cocok untuk mereka sehingga mereka sakit. Lalu Rasulullah saw. memberi mereka rukhshah untuk mendatangi unta sedekah. Lalu mereka meminum air susunya dan air kencingnya (HR al-Bukhari).

 

Jadi Rasulullah saw. memperbolehkan mereka berobat dengan air kencing unta yang najis.  Demikian juga Rasul saw memperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram, yakni memakai sutera.  Anas r. berkata:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْف وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ شَكَيَا الْقَمْلَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي غَزَاة لَهُمَا، فَرَخَّصَ لَهُمَا فِي قُمُصِ الْحَرِيْرِ. قَال: وَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا

“Abdurrahman bin ‘Awf dan az-Zubair bin al-‘Awwam mengadukan kutu kepada Nabi saw. pada perang keduanya. Lalu Nabi saw. memberi kedunya rukhshah untuk memakai sutera.”  Anas berkata, “Aku melihat keduanya memakai sutera tersebut.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

 

Dua hadis ini merupakan indikasi (qarinah) bahwa larangan dalam hadis Ibnu Majah itu bukanlah haram.  Artinya, berobat menggunakan najis dan zat haram adalah makruh.

Ketiga, Jawab-Soal tanggal 18/11/2013 seputar Realita Vaksinasi dan Hukumnya. Di situ dinyatakan:

Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub/sunnah, bukan wajib.  Dalilnya adalah sebagai berikut:

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَا أَنْزَلَ الله دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah menurunkan obat untuknya (HR al-Bukhari).

 

Jabir bin Abdullah ra. juga bertutur bahwa Nabi saw. bersabda:

لِكُل دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاء الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ الله عَز وَجَلَّ

Untuk setiap peyakit ada obatnya. Jika obat itu mengenai penyakit, penyakit itu sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla (HR Muslim).

 

Abdullah bin Mas’ud ra. pun bertutur:

مَا أَنْزَلَ الله دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obatnya. Itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya (HR Ahmad).

 

Hadis-hadis ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obatnya.  Hal itu agar menjadi dorongan untuk berupaya berobat yang mengantarkan pada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah.  Ini adalah arahan dan bukan wajib.

Anas ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ الله حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا

Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya. Karena itu berobatlah (HR Ahmad).

 

Usamah bin Syarik ra. berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku mengucapkan salam, kemudian aku duduk.  Lalu seorang Arab badui datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, apakah kita berobat? Rasul saw. bersabda:

تَدَاوَوْا فَإِنَّ الله عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَه دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ

Berobatlah kalian karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak membuat penyakit kecuali Allah pun membuat obatnya, kecuali satu penyakit al-harm, yakni kematian (HR Abu Dawud).

 

Di dalam hadis pertama, Rasul memerintahkan berobat.  Di dalam hadis kedua, beliau menjawab seorang Arab badui dengan jawaban berobat.  Seruan kepada para hamba agar berobat karena Allah tidaklah membuat penyakit kecuali Allah membuat obatnya.  Seruan di dalam kedua hadis itu disampaikan dalam redaksi perintah.  Perintah memberi pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas.  Ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itiu di dalam kedua hadis tersebut yang menunjukkan wajib.  Apalagi ada hadis-hadis yang menyatakan kebolehan tidak berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadis tersebut.  Imran bin Hushain ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

يَدْخُلُ الْجَنَّة مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يا رَسُولَ للهِ؟ قَال: هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبهم يَتَوَكَّلُونَ

 “Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.”  Mereka (para Sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta di-ruqyah (dijampi-jampi).” (HR Muslim).

 

Kay dan ruqyah termasuk pengobatan.

Ibnu Abbas ra. juga berkata: Ada seorang perempuan hitam datang kepada Nabi saw. lalu berkata:

إِني أُصْرَعُ، وَإِنِيّ أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ الله لي قال: إن شِئْت صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ الله أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَت: أَصْبِرُ، فَقَالَت: إِني أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ الله لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لهَاَ

“Aku sakit epilepsi dan auratku sering tersingkap (jika sedang kambuh). Karena itu  berdoalah kepada Allah untukku.”  Rasul bersabda, “Jika engkau mau, engkau bersabar dan untukmu surge. Jika engkau mau, aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.”  Perempuan itu menjawab, “Aku bersabar saja.”  Lalu ia melanjutkan, “Namun, auratku sering tersingkap (ketika kambuh). Karena itu berdoalah kepada Allah untukku agar auratku tidak tersingkap.” Rasul lalu berdoa untuk dirinya.” (HR al-Bukhari).

 

Kedua hadis ini menunjukkan kebolehan tidak berobat.

Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan bermakna wajib.  Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub. Kuatnya dorongan dari Rasul saw. untuk berobat menjadikan perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadis-hadis itu mandub/sunnah.

Atas dasar itu, vaksinasi hukumnya mandub. Sebabnya, vaksinasi adalah obat. Berobat adalah mandub/sunnah.  Namun, jika terbukti bahwa jenis vaksinasi tertentu membahayakan, seperti bahannya rusak atau karena suatu sebab tertentu, maka vaksinasi dalam kondisi ini menjadi haram. Ini sesuai dengan kaidah dharar yang diambil dari hadis Rasulullah saw.:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri (HR Ahmad).

 

Hanya saja kondisi ini sangat sedikit.

Adapun di dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu seperti penyakit menular dan sejenisnya.  Obat itu akan bersih dari segala kotoran.  Namun demikian, Allahlah Zat Yang menyembuhkan.

وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ ٨٠

Jika aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80).

 

Sudah diketahui secara syar’i bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban Khalifah, termasuk bagian dari ri’âyah asy-syu’ûn sebagai pelaksanaan sabda Rasul saw.:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah laksana penurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

 

Ini adalah nas yang bersifat umum atas tanggung jawab negara atas kesehatan dan pengobatan karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.

Ringkasnya:

  1. Vaksinasi hukumnya an-nadab, yakni mandub (sunnah) dan bukan fardhu.
  2. Jika di dalam vaksin itu ada bahan-bahan yang membahayakan maka hukumnya haram.
  3. Jika di dalamnya tidak ada dharar tetapi mengandung bahan-bahan najis atau haram maka hukumnya boleh (jâ‘iz) disertai ketidaksukaan (al-karâhah) yakni makruh dan bukan haram.
  4. Atas dasar itu, seorang Muslim yang sakit, hendaklah mencari obat yang mubah/halal terlebih dulu. Jika dia tidak menemukannya maka dia boleh menggunakan obat yang makruh.

 

Berikutnya, berdasarkan penjelasan di atas, jawaban atas pertanyaan di awal terkait vaksinasi Covid-19 adalah sebagai berikut:

Vaksinasi dengan vaksin yang mengandung bahan-bahan yang haram atau najis adalah boleh disertai ketidaksukaan (al-karâhah) sebab vaksin itu masuk di bawah bab berobat. Berobat dengan yang haram dan najis sebagaimana yang dijelaskan di atas adalah boleh disertai ketidaksukaan (al-karâhah); kecuali jika telah jelas bahwa di dalamnya ada dharar maka tidak boleh.

Sampai sekarang saya tidak sampai pada kepastian pendapat seputar dharar akibat dari obat ini (vaksin Covid-19). Oleh karena itu, saya menyerahkan perkara tersebut kepada Anda semua sesuai dengan apa yang Anda percayai kebenarannya menurut petunjuk di atas.

Kami memohon kepada Allah SWT agar melindungi kita dan kaum Muslim seluruhnya dari semua penyakit. Allah SWT Maha Mendengar lagi Maha Menjawab doa. [Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah – 09 Jumada al-Akhirah 1442 H/22 Januari 2021 M]

 

Sumber:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/72921.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2845116135734392

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven − ten =

Back to top button