Fikih

Hukum Syariah Seputar Ikhtilat

Adanya laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan islami yang dibenarkan oleh Rasul saw. dan dalil-dalil syariah yang mengatur muamalah syar’iyyah antara laki-laki dan perempuan telah dijelaskan dengan jelas.

Kehidupan umum berarti adanya laki-laki dan perempuan di tempat-tempat umum yang siapapun memasukinya tidak memerlukan izin.

Kehidupan khusus adalah di tempat-tempat yang siapa pun memasukinya memerlukan izin, seperti rumah.

Kehidupan khusus seperti di rumah sudah jelas duduk perkaranya. Kehidupan para wanita di dalam rumah itu bersama mahram mereka, bukan bersama orang asing, kecuali jika ada nas dalam kondisi tertentu seperti silaturahmi. Dalam hal ini boleh kerabat menyambung hubungan dengan kerabatnya meski bukan mahram. Misalnya, seseorang mengucapkan salam kepada sepupunya dalam hari-hari raya. Tentu tanpa khalwat dan tanpa tersingkap aurat. Contoh, seseorang pergi bersama bapaknya atau pamannya dan menyambung tali kekerabatannya meski tidak termasuk mahram.

Adapun kehidupan umum, jika di situ ada keperluan yang dibenarkan oleh syariah yang mengharuskan adanya pertemuan pria dan wanita, maka boleh terjadi pertemuan itu sesuai ketentuan syariah. Dalam hal ini hukum-hukum syariah mengatur hal-hal berikut:

Pertama, wajib ada infishâl (pemisahan) barisan pria dari wanita jika keperluan yang syariah membenarkan adanya pria dan wanita untuk keperluan itu. Ini jika keperluannya sama bagi orang-orang yang bertemu (berkumpul). Misal, adanya pria dan wanita untuk shalat atau menghadiri pengajaran ilmu, seminar dakwah atau aktivitas umum dari aktivitas-aktivitas dakwah. Dalam kondisi-kondisi ini boleh adanya pria dan wanita disertai pemisahan shaf. Ini kadang disebut kehidupan umum dengan hukum-hukum khusus. Artinya, di situ ada tatacara khusus untuk pria dan wanita yang ada di situ.

Kedua, tidak ada pemisahan barisan dalam kehidupan umum jika keperluan yang dibenarkan oleh syariah membolehkan adanya pria dan wanita untuk keperluan itu. Ini jika tujuannya berbeda-beda bagi orang-orang yang berkumpul. Misal, adanya pria dan wanita di pasar, di jalan, di taman umum atau ketika naik bus umum. Di sini ada dua jenis:

  • Tujuan-tujuan yang berbeda itu tidak bisa ditunaikan kecuali mengharuskan adanya ikhtilâth, yakni bercampur-baur, bersebelahan dan bercakap-cakap; semisal jual beli di pasar. Di sini boleh terjadi ikhtilâth.
  • Tujuan-tujuan yang berbeda itu bisa ditunaikan tanpa ikhtilâth, yakni tanpa bercampur-baur, bersebelahan dan bercakap-cakap, seperti naik bus umum atau di taman umum dan berjalan di jalan. Di sini boleh adanya pria dan wanita tanpa ikhtilâth, yakni tanpa bercampur-baur, bersebelahan dan bercakap-cakap. Namun, dalam kondiusi demikian dimungkinkan secara bersebelahan; masing-masing dengan tujuannya sendiri, tanpa bercakap-cakap bersama; seperti berjalan di jalan umum, di taman umum, naik bus umum, dll.

 

Kehidupan khusus seperti di “rumah” adalah kehidupan yang siapapun memasukinya memerlukan izin. Adapun kehidupan umum adalah kehidupan yang siapa pun nmemasukinya tidak memerlukan izin. Di antara kehidupan umum ini: Ada yang menuntut pemisahan barisan atau shaf dan ada yang tidak menuntut pemisahan barisan/shaf. Ada yang di situ boleh ikhtilâth secara bersebelahan dan bercakap-cakap dan ada yang tidak boleh bercampur baur, tetapi hanya boleh bersebelahan tanpa bercakap-cakap.

Dalam Jawab-Soal 6 Juni 2011 dinyatakan:

Di dalam tentara itu hendaknya ada personel-personel wanita untuk merawat korban luka perang. Rasul saw. memperbolehkan wanita berada di peperangan untuk merawat dan mengobati. Berkumpulnya pria dan wanita dalam kondisi pengobatan ini adalah boleh. Begitulah. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Adab al-Mufrad dan At-Târîkh ash-Shaghîr dengan sanad yang disahihkan oleh al-Albani dari Mahmud bin Lubaid. Ia berkata:

لَمَّا أُصِيْبَ أَكْحَلُ سَعْدٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ فَثَقُلَ, حَوَّلوهُ عِنْدَ امْرَأَةٍ يُقالُ لهَا: رُفَيْدَة, وَكانَتْ تُداوي الجَرْحى, فَكانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَّبِهِ يَقُوْلُ: كَيْفَ أَمْسَيْتَ, وَإِذَا أَصْبَحَ: كَيْفَ أَصْبَحْتَ, فَيُخْبِرهُ

Tatkala mata Saad terluka pada perang Khandaq sehingga dia merasa berat, mereka membawa dia kepada seorang wanita yang dipanggil Rufaidah. Rufaidah mengobati korban luka dan Nabi saw jika melewatinya di pagi hari, beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” Dan jika beliau melewatinya di sore hari beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu sore ini?” Lalu dia memberitahu beliau (keadaannya).

 

Rufaidah ini adalah seorang wanita dari Aslam yang mengobati orang-orang yang terluka.

Ikhtilâth, seperti yang saya sebutkan, yakni berkumpulnya pria dan wanita asing untuk keperluan yang dibenarkan oleh syariah untuk berkumpul/ bertemu guna menunaikan keperluan itu, sementara keperluan itu tidak bisa ditunaikan kecuali dengan berkumpul/bertemu itu. Ikhtilâth dalam kondisi ini, jika tidak ada keperluan, adalah tidak boleh. Sebaliknya, jika untuk keperluan yang dibenarkan oleh syariah yang mengharuskan berkumpul untuk menunaikan keperluan itu, maka hal itu boleh.

Terdapat dalil-dalil yang membenarkan pria dan wanita berkumpul untuk keperluan yang dijelaskan oleh syariah baik di kehidupan khusus atau di kehidupan umum. Contoh di kehidupan khusus adalah shilaturahmi, makan-makan dan menjenguk orang sakit. Contoh di kehidupan umum adalah mengobati orang terluka dalam peperangan, pergi ke pasar, shalat di masjid, menghadiri majelis ilmu, haji, dsb. Semua itu sesuai dengan hukum-hukum syariah, baik dari sisi pemisahan barisan seperti di masjid dan seminar/pengajian umum atau tanpa pemisahan barisan seperti di pasar dan dalam ibadah haji.

Silaturahmi bukan hanya untuk kerabat yang mahram saja, tetapi juga untuk kerabat yang bukan mahram seperti sepupu. Jadi, boleh antarkerabat menjalin hubungan kekerabatan di hari-hari raya atau berbagai momen dan mereka duduk bersama, tetapi demi tujuan silaturahmi. Misal, untuk menanyakan kesehatan, keadaan, menjenguk yang sakit, menunaikan berbagai kebutuhan dan semacamnya. Bukan untuk duduk-duduk bersama bermain kartu, atau pergi bersama untuk bertamasya dan duduk bersama di taman ngobrol kesana-kemari. Ini tidak boleh.

Begitulah. Mengunjungi kerabat satu sama lain, duduk bersama, pria dan wanita, adalah boleh selama dalam rangka menyambung tali kekerabatan; yakni duduk bersama menurut kadar apa yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan. Jika duduk itu beralih untuk ngobrol kesana-kemari dalam persoalan-persoalan selain silaturahmi, maka wanita duduk di ruangan yang berbeda dengan tempat duduk pria. Boleh bagi mereka ketika makan untuk duduk bersama. Namun, ketika makan telah berakhir maka wanita duduk di satu ruang, sementara pria di ruang lainnya.

فَإِذَا طَعِمۡتُمۡ فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُسۡتَ‍ٔۡنِسِينَ لِحَدِيثٍۚ ٥٣

Jika kalian selesai makan, keluarlah kalian tanpa asyik memperpanjang percakapan (QS al-Ahzab [33]: 53).

 

Alhasil, silaturahmi dan makan ada dalilnya. Tentu wanita menutup auratnya, dengan disertai mahram-nya atau suaminya ada. Demikian seperti dijelaskan di dalam Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ’î.

 

[‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 23 Rabiul Akhir 1440 H/30 Desember 2018 M]

 

Sumber:

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/q-a/57042.html

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/972979866232418/?type=3&theater

https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/Gh5Uq6e3tua

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 − ten =

Back to top button