Fikih

Mengapa Asuransi Haram?

Soal:

Di dalam buku An-Nizhâm al-Iqtishâdî pada pembahasan At-Ta’mîn (Asuransi) ada contoh yang tidak saya pahami, yaitu terkait menyerahkan pakaian kepada tukang cuci (untuk dicuci, red.), lalu  pakaian itu hilang. Di situ ada dhâmin (penanggung) dan madhmûn lahu (yang mendapat pertanggungan). Adapun madhmûn ‘anhu (yang ditanggung), yaitu tukang cuci majhûl (tidak jelas). Dalam hal apa hal itu berbeda dengan kondisi perusahaan asuransi? Di situ juga ada dhâmin (perusahaan asuransi), madhmûn lahu (pemilik mobil) dan madhmûn ‘anhu (mobil yang ada di jalan dan sopir)-nya tidak diketahui, lalu mobil itu tabrakan pada suatu hari.

 

Jawab:

Saudaraku, saya menelaah pertanyaan Anda. Tentu pengharaman asuransi bukan hanya disebabkan masalah al-madhmûn ‘anhu (yang ditanggung), tetapi karena banyak penyimpangan syar’iyyah semisal tidak adanya hak dalam tanggungan yang sudah eksis atau pada nantinya ada. Ini membuat asuransi batil. Di dalam asuransi juga ada kompensasi. Ini juga yang menjadikan asuransi batil. Masih banyak yang lain seperti yang dijelaskan pada babnya.

Saudaraku, kami tidak mengatakan dalam dua keadaan tersebut al-madhmûn ‘anhu adalah majhûl (tidak jelas). Kami hanya menyatakan dalam kondisi tukang cuci al-madhmûn ‘anhu majhûl (tidak jelas) dan dalam kondisi at-ta’mîn al-madhmûn ‘anhu tidak ada. Berikut saya menguutipkan teks dalam dua keadaan tersebut dari kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî:

Terkait tukang cuci, dinyatakan di buku tersebut sebagai berikut:

 

Hanya saja, tidak disyaratkan al-madhmûn ‘anhu harus ma’lûm (jelas). Tidak disyaratkan al-madhmûn lahu juga harus jelas. Jadi sah adh-dhamân meski seandainya keduanya majhûl (tidak jelas). Andai seseorang berkata kepada yang lain, “Berikan pakaianmu kepada tukang cuci itu.” Lalu orang lain itu berkata, “Saya khawatir dia menghilangkan atau merusaknya.” Lalu orang itu berkata kepada dia, “Berikan saja pakaianmu kepada tukang cuci itu. Saya yang menanggungnya untukmu jika hilang/rusak.” Namun, dia tidak menentukan tukang cucinya. Yang demikian sah. Andai orang lain itu memberikan pakaiannya kepada tukang cuci, lalu hilang/rusak, maka orang itu wajib menanggung meskipun al-madhmûn ‘anhu (yang ditanggung) majhûl (tidak jelas).  Demikian juga andai seseorang berkata, “Si Fulan adalah tukang cuci yang mahir. Siapa saja yang menyerahkan pakaian kepada dia (untuk dicuci), saya yang akan menanggung tukang cuci itu dari semua kerusakan.” Ini juga sah meskipun al-madhmûn lahu majhûl.

 

Kemudian buku tersebut menyebutkan dalil:

 

Dalil adh-dhamân adalah jelas. Di dalamnya adh-dhamân itu adalah penggabungan tanggungan kepada tanggungan (dhammu dzimmah ilâ dzimmah). Itu adalah pertanggungan untuk hak yang terbukti ada dalam tanggungan. Jelas di dalamnya ada dhâmin (penanggung), madhmûn ‘anhu (yang ditanggung) dan madhmûn lahu (yang mendapat pertanggungan). Juga jelas dhamân itu tanpa kompensasi. Di dalam dalil itu, al-madhmûn ‘anhu majhûl. Demikan pula al-madhmûn lahu-nya. Dalil ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir yang berkata, “Rasulullah saw. tidak mensalatkan orang yang meninggal, sementara dia punya utang. Lalu didatangkan kepada beliau sesosok jenazah, beliau bertanya, ‘Apakah dia punya taggungan utang?’ Mereka menjawab, ‘Benar. Dua dinar.’ Beliau bersabda, ‘Shalatkan teman kalian.’ Lalu  Abu Qatadah berkata, ‘Biar dua dinar itu menjadi tanggunganku, ya Rasulullah.’ Jabir berkata: Lalu beliau menshalatkannya. Ketika Allah memenangkan Rasulullah, beliau bersabda, ‘Aku lebih utama bagi setiap Mukmin dari dirinya sendiri. Karena itu siapa saja yang meninggalkan utang, itu menjadi tanggunganku. Siapa saja yang meninggalkan warisan, itu untuk ahli warisnya.’

Hadis ini jelas, di dalamnya Abu Qatadah telah menggabungkan tangungannya kepada tanggungan si mayit dalam keharusan menunaikan hak finansial yang telah wajib bagi debitur (si mayit). Jelas pula di dalam adh-dhamân itu ada dhâmin (penanggung), madhmûn ‘anhu (yang ditanggung) dan madhmûn lahu (yang mendapat pertanggung-an). Adh-Dhamân yang ditanggung masing-masing dari keduanya adalah keharusan menunaikan hak yang ada di dalam tanggungan tanpa kompensasi. Jelas juga, al-madhmûn ‘anhu (yang ditanggung), yaitu si mayit dan al-madhmûn lahu (kreditur), keduanya adalah majhûl pada saat (akad) dhamân tersebut. Jadi hadis tersebut telah mencakup syarat-syarat sah dhamân dan syarat-syarat in’iqâd-nya.

 

Jelas dari ini, bahwa ke-majhûl-an pada al-madhmûn ‘anhu dan al-madhmûn lahu bukan pada ketiaadaannya, tetapi pada ketiadaan nama dan informasinya dsb.  Namun, si mayit, yaitu al-madhmûn ‘anhu, jelas ada. Hanya saja, adh-dhâmin tidak mengetahui nama dan nasabnya, tetapi al-madhmûn ‘anhu itu juga ada.

Jadi ketidakjelasan tersebut ada pada penjelasan al-madhmûn ‘anhu dan bukan pada tidak adanya al-madhmûn ‘anhu. Oleh karena itu, adh-dhamân tersebut sah sebab al-madhmûn ‘anhu ada, namun tidak jelas identitasnya. Begitu pula tukang cuci itu. Dia ada di kampung tersebut, tetapi tidak jelas namanya. Ini tidak mempengaruhi adh-dhamân sesuai dalil adh-dhamân yang dijelaskan di dalam hadis Abu Qatadah dari Jabir di atas.

Kemudian terkait kondisi asuransi, maka dinyatakan di buku yang sama:

 

Perusahaan asuransi telah menjamin sesuatu yang tidak wajib saat itu dan juga tidak wajib nantinya. Karena itu adh-dhamân itu tidak sah. Berikutnya asuransi itu menjadi batil. Apalagi di dalam asuransi tidak ada madhmûn ‘anhu. Pasalnya, perusahaan asuransi tidak menjamin dari seseorang pun yang memiliki kewajiban menunaikan hak sehingga bisa disebut dhamân. Jadilah akad asurasi telah kosong dari unsur mendasar di antara unsur-unsur adh-dhamân yang mesti ada secara syar’i, yaitu adanya madhmûn ‘anhu. Dalam adh-dhamân jelas harus ada dhâmin, madhmûn ‘anhu dan madhmûn lahu. Karena dalam akad asuransi itu tidak ada madhmûn ‘anhu maka jadilah akad asuransi itu batil secara syar’i.

 

Jadi al-madhmûn ‘anhu dikatakan “tidak ada” ketika akad. Di situ tidak ada kejadian bagi mobil yang akan menimpakan kepada sopirnya kewajiban membayar ganti rugi dan berikutnya ditanggung oleh perusahaan asuransi. Artinya, al-madhmûn ‘anhu di sini tidak ada sama sekali. Bukan al-madhmûn ‘anhu itu ada, namun tidak diketahui nama dan nasabnya. Oleh karena itu akad tersebut batil sebab al-madhmûn ‘anhu tidak ada dan bukan hanya tidak jelas (majhûl). Seolah Anda beranggapan bahwa “tidak ada” semakna dengan “tidak jelas (majhûl)”. Ini yang menjadikan Anda rancu memahami sehingga Anda bertanya-tanya: mengapa pada kondisi pertama sah, sedangkan pada kondisi kedua batil?

Saya berharap penjelasan ini sudah mencukupi [Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah]

 

Sumber: http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/52954.html

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/826011784262561/?type=3&theater

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =

Back to top button