Penguasa Adalah Pelayan Rakyat, Bukan Pedagang
Terbongkarnya kasus bisnis para pejabat dalam layanan tes Kesehatan tes PCR dan Antigen menambah deretan bukti yang sangat memalukan sekaligus memilukan dari perilaku para pejabat atau penguasa di negeri ini. Rakyat sedang dilanda bencana pandemi Covid 19 maupun krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga banyak yang mengalami kesulitan ekonomi. Pada saat yang sama dengan berbagai keperluan, rakyat harus berkali kali melakukan tes PCR dengan biaya cukup mahal. Ironisnya, kondisi ini dmanfaatkan oleh oknum pejabat yang bekerjasama dengan para kapitalis untuk mencari cuan atau keuntungan dengan menetapkan harga test PCR yang sangat mahal. Padahal di negara negara lain itu lebih murah, Di India, Pemerintah menetapkan harga PCR di India sebesar 500 rupee atau senilai Rp 96.000. Di Malaysia Semenanjung Malaysia dihargai RM150 atau senilai Rp 509.000. Harga PCR di Filipina adalah PDP 1.500 atau sekitar Rp 427.000. Di Vietnam, harga PCR juga tergolong lebih rendah dibandingkan di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 1 Juli 2021, harga PCR dipatok 734.000 Dong atau sekitar Rp 460.000. Di Turki tes PCR hanya dikenakan biaya 250 Lira atau setara Rp 422.000.
Di Indonesia, pada awal pandemi layanan tes PCR ini mencapai jutaan rupiah, turun Rp 900.000, turun lagi 450.000 dan setelah banyak diprotes dari masyarakat, harganya turun sekitar Rp 275.000. Dengan harga yang sangat mahal, sebagian pengamat menilai keuntungan yang didapatkan para kapitalis termasuk pejabat yang ikut bisnis selama masa pandemi sudah mencapai Rp 30-Rp 50 Triliun.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy Teguh mengatakan mahalnya tes PCR disebabkan oleh 3 faktor: Alat Reagen PCR Masih Impor, harga tes, termasuk operasional. Harga tes PCR tidak hanya terkait komponen alatnya saja. Namun ada biaya lain yang dimasukan dalam melakukan tes tersebut. Di antaranya, biaya alat pelindung diri (APD), biaya dokter, perawat, administrasi dan sebagainya.
Investasi Mesin PCR Mahal Randy menjelaskan kisaran harga reagen itu mulai dari Rp 150 ribu – Rp 500 ribu tergantung asal dan kualitas barang. Semakin mahal tentu tingkat akurasinya akan semakin bagus. Lalu ntuk biaya investasi mesin PCR itu mulai dari ratusan juta hingga Rp 2 miliar. Namun, masih menurut Randy, meskipun harga tes PCR turun hingga Rp 275 ribu di Jawa Bali dan Rp 300 ribu di luar Jawa Bali, usaha jasa klinik dan laboratorium PCR tetap masih mendapatkan keuntungan.
“Meski harga turun masih diuntungkan. Demikian kata Randy saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Sabtu (30/10/2021).
Kapitalisme: Akar Masalah Mahalnya Layanan Kesehatan
Mahalnya biaya layanan kesehatan, termasuk tes PCR, sebenarnya akibat dari pengelolaan layanan kesehatan yang diserahkan kepada swasta atau (Corporate Based Management) dengan paradigma bisnis. Hal ini muncul dari sistem ekonomi kapitalis ditambah dengan perilaku para pejabat yang tidak memiliki nurani. Mereka bekerjasama dengan para kapitalis untuk meraup keuntungan dengan menjadikan layanan kesehatan sebagai obyek bisnis. Pasalnya, dalam pandangan sistem ekonomi kapitalis dan politik liberal, hubungan antara rakyat dan negara adalah hubungan bisnis; yaitu hubungan antara pembeli dan penjual. Karena itulah, selalu digembar gemborkan subsidi terhadap rakyat merupakan beban yang harus dihapus.
Secara ekonomi, layanan kesehatan merupakan barang pokok atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan masuk kategori pasar inelastic sempurna. Artinya, harga tidak berpengaruh terhadap permintaaan. Berapa pun harganya masyarakat akan membeli jasa tersebut ketika mereka membutuhkan. Karena itu jika pengelolaannya oleh swasta akan menciptakan pasar monopoli yang menyebabkan harga dikendalikan oleh para pengusaha atau para kapitalis. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, termasuk pengelolaan alat kesehatan untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen didominasi sepenuhnya oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-Pemerintah. Berdasarkan dokumen impor, kelompok korporasi non-Pemerintah memegang 77,16 persen aktivitas impor alat kesehatan yang diperuntukkan untuk penanganan Pandemi Corona di Tanah Air. Pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.
Importir itu didominasi oleh 10 importir besar. Ironisnya, ada importir yang sebenarnya bukan perusahaan yang bergerak di bidang kesehtan seperti perusahaan ketel uap dan alat kecantikan.
Kondisi ini diperparah lagi oleh para pejabat yang didominasi pengusaha atau mereka menjadi pejabat dibiayai oleh pengusaha. Semua baiaya bpolitik yang mereka keluarkan merupakan modal yang harus Kembali dan mendapatkan keuntungan. Karena itu pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir bahwa kebijakan penentuan harga hingga pelaksanan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ditetapkan secara transparan. Kebijakan itu, kata Erick, dibahas dalam rapat terbatas antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah Menteri di Kabinet Indonesia Maju. Pernyatakan ini tidak usah diragukan lagi. Yng perlu diragukan bahkan diduga bohong adalah pernyataan Erick Tohir yang mengatakan tidak mungkin saya mengambil keuntungan karena faktanya yang mendominasi impor alat kesehatan untuk tes PCR itu adalah para pengusaha yang tujuan kegiatannya mencari keuntungan.
Kesehatan: Kebutuhan Pokok Masyarakat
Badan yang sehat merupakan dambaan setiap Muslim. Badan yang sehat, selain merupakan nikmat yang besar, juga bisa menjadi sarana bagi seorang Muslim untuk bisa optimal dalam melaksanakan fungsi sebagai hamba Allah SWT. Karena itulah besarnya nikmat kesehatan dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافىً فِي جَسَدِه آمِنًا في سِرْبِه عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Siapa saja di antara kalian yang masuk waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman dalam rumahnya dan punya makanan pokok pada hari itu maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuk dirinya (HR Ibnu Majah).
Islam pun memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga kesehatan. Jangan sampai seorang Muslim mengabaikan kesehatan walaupun dengan alasan ibadah kepada Allah SWT. Rasulullah saw. pernah menegur Sahabat Abdullah bin Amru bin al-Ash ra. yang beribadah terus-menerus:
فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ عَيْنُكَ وَنَفِهَتْ نَفْسُكَ وَإِنَّ لِنَفْسِكَ حَقًا وَلِأَهْلِكَ حَقًّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ
Sungguh jika kamu melakukan hal itu terus-menerus maka nanti matamu letih dan jiwamu lemah. Sungguh untuk dirimu ada haknya. Keluargamu juga punya hak. Karena itu berpuasalah dan berbukalah; bangunlah (untuk shalat malam) dan tidurlah (HR al-Bukhari).
Layanan Kesehatan Tanggung Jawab Negara
Ketika sakit kaum Muslim diperintahkan untuk berobat. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الله أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاء وَجَعَلَ لِكُلِّ دَا ء دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
Sungguh Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dia telah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Karena itu berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram! (HR Abu Dawud).
Bahkan kita diperintah untuk menjaga agar bisa terbebas dari penyakit dan menghindari wabah penyakit. Nabi saw. bersabda:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ
Larilah dari wabah penyakit kusta seperti engkau lari dari singa (HR Muslim).
Faktanya tidak semua rakyat memiliki kemampuan finansial untuk berobat. Karena itulah dalam politik ekonomi Islam, Negara atau Pemimpin wajib secara langsung menjamin kesehatan seluruh warga negara (Muslim dan non-Muslim). Negara wajib menyediakan sarana pengobatan dan kesehatan secara murah bahkan gratis. Negara wajib mengelola layanan kesehatan dengan para Paradigma Ri’ayah, bukan Paradigma Bisnis. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan dengan sumber dana langsung dari Baitul Mal, bukan dengan Sistem Asuransi seperti yang ada dalam sistem kapitalis.
Dalam pandangan Islam haram menyerahkan penguasaan dan pengelolan layanan kesehatan sepenuhnya kepada swasta baik lokal apalagi asing. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Salah satu tanggung jawab pemimpin negara adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma alias gratis. Dalilnya adalah kebijakan Nabi Muhammad saw.—dalam posisi beliau sebagai kepala negara—yang pernah mengirim dokter gratis untuk mengobati salah satu warganya, yakni Ubay bin Kaab, yang sakit. Diriwayatkan, ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat umum (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kebijakan ini pun dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Sepeninggal Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara Islam pada layanan kesehatan, pengobatan, juga riset kesehatan dan obat-obatan semakin pesat. Misalnya sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermic. Dengan itu dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata. Ada pula Abu al-Qasim az-Zahrawi. Ia dianggap bapak ilmu bedah modern. Pasalnya, ia menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bidang pembedahan, termasuk plester dan 200 alat bedah.
Sepanjang sejarahnya Khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705-715 M) pada era Khilafah Bani Umayah. Pada masa berikutnya beragam rumah sakit di berbagai kota dibangun dengan fasilitas yang bermutu. Bahkan sebagian dilengkapi sekolah kedokteran dan perpustakaan yang lengkap. Untuk melayani warga di pedalaman, para khalifah membangun rumah sakit keliling. Ini terjadi seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H).
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Keempat: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.
Penutup
Pemberian jaminan layanan kesehatan oleh negara sepenuhya tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Sistem layanan Kesehatan ini mengharuskan pengelolaan APBN sesuai dengan sistem eknomi islam. Sumber utama APBN dalam sistem ekonomi islam berasal dari pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya dan pungutan lain dari masyarakat sesuai dengan syariah seperti kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.
Syariah Islam tegas melarang para pejabat negara dan kerabatnya berbisnis ketika mereka menjadi penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah merampas kambing-kambing harta perniagaan milik putranya, Abdullah, karena digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Hewan-hewan itu lalu dijual. Lalu sebagian hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar menilai itu sebagai tindakan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Semua itu tentu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariah Islam. Karena itu penerapan seluruh syariah Islam, termasuk di bidang layanan kesehatan, adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam. [Anas/LM]