Fikih

Bagaimana Kedudukan Kaidah: Mâ Lâ Yudraku Kulluhu Lâ Yutraku Mâ Tayasara Minhu

Soal:

Sejauh mana kesahihan kaidah syar’iyyah: “Mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku mâ tayasara minhu (Apa yang tidak dapat diraih semuanya tidak ditinggalkan apa yang mudah darinya)?” Apakah boleh ber-istidlal dengan kaidah ini atas at-tadarruj (bertahap) dalam menerapkan hukum syariah?

 

Jawab:

Pertama: Berkaitan dengan kesahihan kaidah “mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku mâ tayasara minhu” maka kaidah ini dinyatakan dalam beberapa redaksi sebagaimana beredar di kitab-kitab para ulama. Semuanya saling berdekatan: “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya)”, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku jalluhu  (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan totalnya)”, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku qilluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan yang sedikitnya)”, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku aqalluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan yang paling kecilnya)”, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku ba’dhuhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka sebagiannya tidak ditinggalkan)”. Tentu selain redaksi yang ada dalam pertanyaan di atas.

Sebagian menyebutnya pepatah (matsal[un]) atau ujar-ujar (maqûlat[un]). Sebagian yang lain mensifatinya sebagai kaidah syar’iyyah. Bahkan seolah-olah kata-kata tersebut sebagai Hadis Nabi saw. Seorang muhaddits  Syam pada masanya, Ismail bin Muhammad bin Abdul Hadi al-Jirahiy al-‘Ajluni ad-Dimasyqi, Abu al-Fida’ (w. 1162 H) menyebutkan di dalam kitabnya, Kasyfu al-Khafâ` wa Muzîlu al-Ilbâs ‘ammâ isytahara min al-Ahâdîts ‘alâ Alsinati an-Nâs, kaidah mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu dalam makna ayat:

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦

Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu (QS at-Taghabun [64]: 16).

 

Juga dikaitkan dengan hadis:

اتَّقِ اللهَ مَا اسْتَطَعْتَ

Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.

 

Lafal terjamah itu merupakan kaidah dan bukan hadis]. Demikian juga Ahmad bin Abdul Karim al-‘Ghaziy al-‘Amiriy (w. 1143 H). Ia menyebutkannya di dalam kitanya, Al-Jiddu al-Hatsîts fî Bayâni mâ laysa bi Hadîtsin. Ia mengatakan: mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu merupakan kaidah dan bukan hadis dan itu dalam makna ayat:

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦

Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu (QS at-Taghabun [64]: 16).

 

Dengan mendalami perkara tersebut, menjadi jelas bahwa rujukan ujar-ujar “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu” adalah kaidah syar’iyyah yang mengatakan: “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (yang mudah tidak gugur karena yang sulit)”. Ujar-ujar itu merupakan ungkapan lain dari kaidah: “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr.”

Kaidah paling akhr ini merupakan kaidah yang disebutkan di dalam banyak kitab kaidah syar’iyyah disertai dengan dalil-dalilnya. Misalnya, As-Suyuthi mengatakan di dalam Al-Asybâh wa an-Nazhâ‘ir: kaidah ke tiga puluh delapan: “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (apa yang mudah tidak gugur karena yang sulit)”.

Ibnu as-Subki mengatakan: itu merupakan kaidah paling masyhur yang di-istinbath dari sabda Rasul saw.:

إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah menurut kesanggupanmu.

 

Az-Zarkasyi menyebutkan di kitabnya, Al-Mantsûr fî al-Qawâ‘id: al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr ini kembali pada kaidah kemampuan menurut beberapa asal.

Az-Zarkasyi telah men-syarah-nya dan menjelaskan batasan-batasannya ketika membicarakan topik: “al-ba’dhu al-maqdûr ‘alayhi hal yajibu (sebagian yang mampu dilakukan apakah wajib)”.

Para ulama ber-isidlal untuk kaidah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr  (apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit)”, atau padanannya yang lain, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu  (apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak ditinggalkan semuanya)”, atau topik, “al-ba’dhu al-maqdûr ‘alayhi hal yajibu  (sebagian yang mampu dilakukan, apakah wajib)”. Mereka ber-istidlal untuk kaidah tersebut dengan firman Allah SWT:

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦

Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu (QS at-Taghabun [64]: 16).

 

Juga dengan sabda Rasul saw.:

إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah menurut kesanggupanmu (HR al-Bukhari).

 

Mereka memberikan contoh-contoh rinci untuk menjelaskan realita kaidah ini. As-Suyuthi menyebutkan banyak cabang di dalam Al-Asybâh wa an-Nazhâ‘ir. Kami menyebutkan sebagiannya sebagai berikut:

Al-Maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (Apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit). Cabangnya banyak. Di antaranya: Jika sebagian anggota tubuh telah diamputasi, secara pasti wajib membasuh organ yang masih tersisa; orang yang mampu atas sebagian sutrah (penutup aurat) maka secara pasti (qath’[an]) dia wajib menutupi yang dapat dia tutupi dengan sutrah itu; siapa yang mampu membaca sebagian al-Fatihah maka tanpa ada perbedaan pendapat, dia harus membaca yang dia mampu itu; seandainya orang tidak mampu rukuk dan sujud tanpa berdiri maka dia harus melakukan itu tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami; siapa yang mendapati sebagian sha’ (tidak sampai satu sha’) dalam zakat fitrah, dia harus mengeluarkannya (pada kadar itu) dalam pendapat yang lebih sahih; dst.

Dari pengkajian contoh-contoh yang diberikan oleh para ulama untuk kaidah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit)” dan padanan-padanannya, menjadi jelas bahwa yang mereka maksudkan bahwa hukum tertentu yang diperintahkan secara syar’i, jika seorang mukallaf tidak mampu melakukan sebagiannya karena tidak adanya kemampuan dia atasnya, yakni karena kesulitannya, maka pelaksanaannya atas semua perbuatan yang diperintahkan itu tidak gugur darinya, tetapi dia harus menunaikan apa yang mampu dia lakukan dari perbuatan yang diperintahkan itu. Sebabnya, seorang mukallaf dituntut secara syar’i untuk menunaikan apa yang diperintahkan menurut kemampuannya sesuai dengan nas-nas al-Kitab dan as-Sunnah.

Misalnya, orang yang menunaikan shalat, dia wajib membaca al-Fatihah secara lengkap dalam setiap rakaat. Jika seseorang masuk Islam dan dia ingin shalat, tetapi dia tidak mengetahui kecuali hanya sebagian al-Fatihah saja, lalu apakah dia wajib di dalam shalatnya itu membaca ayat-ayat al-Fatihah yang dia ketahui atau dia harus meninggalkan membaca al-Fatihah semuanya karena dia tidak mengetahui sebagian ayat-ayat al-Fatihah? Jawaban atas hal itu sesuai dengan kaidah tersebut. Dia harus membaca ayat dari al-Fatihah yang dia ketahui dan tidak boleh dia meninggalkan semuanya. Sebabnya, apa yang mudah (yakni membaca ayat-ayat al-Fatihah yang dia ketahui) tidak gugur karena apa yang sulit (yakni membaca ayat-ayat al-Fatihah yang tidak dia ketahui).

Contoh lain: Seorang mukallaf dalam berwudhu wajib membasuh kedua tangannya sampai siku, tetapi telapak tangannya diamputasi, apakah dia wajib membasuh semua tangannya atau membasuh semua tangan itu gugur darinya karena dia tidak mampu membasuh sebagian tangan (telapak tangan)? Jawaban atas hal itu sesuai dengan kaidah tersebut, yakni membasuh seluruh tangan (yang mudah/al-maysûr) adalah harus hingga seandainya membasuh telapak tangan terhalang (sulit/al-ma’sûr). Demikian seterusnya.

Sesungguhnya kaidah “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit)” dan padanannya merupakan kaidah yang tidak berlaku secara terus-menerus. Kaidah itu sah pada sebagian bidang dan tidak sah pada bidang lainnya. Misalnya, siapa yang tidak mampu berpuasa sehari penuh pada bulan Ramadhan maka dia tidak wajib menahan dari seluruh hari itu dan seolah-olah dia berpuasa hari itu, dengan alasan apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit (al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr). Namun, dia berbuka dan wajib meng-qadha sejumlah hari yang dia lewatkan itu.

Jadi kaedah ini, implementasinya memerlukan kesungguhan dalam mengkaji realita yang ingin diterapkan dan mengetahui hukum-hukum syariah terkait. Para ulama telah memperingatkan bahwa keberadaan kaidah ini tidak berlaku secara terus-menerus.

Kedua: Berkaitan dengan istidlal menggunakan kaedah “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku mâ tayasara minhu (apa yang tidak dapat diraih/dilakukan semuanya maka tidak ditinggalkan apa yang mudah darinya)” atau “al-maysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr (apa yang mudah tidak gugur karena apa yang sulit)” terhadap topik bertahap dalam penerapan hukum-hukum syariah adalah sebagai berikut:

Istidlal dengan kaidah ini terhadap topic gradual dalam penerapan hukum-hukum syariah adalah dari sisi at-talbîs (membuat bingung) orang-orang dan dari sisi kebohongan terhadap agama Allah. Hal itu karena tidak ada ruang sama sekali untuk ber-istidlal dengan kaidah ini atas at-tadarruj (bertahap) dalam penerapan syariah. Hal itu dari sejumlah aspek:

1- At-Tadarruj (bertahap) dalam penerapan hukum-hukum syariah adalah menerapkan sebagian dari hukum-hukum syariah pada sebagian perkara dan pada perkara-perkara yang lain diterapkan hukum-hukum kufur. Hal itu seperti: akad pernikahan dijadikan sesuai hukum-hukum Islam, tetapi riba, zina dan minum khamr diperbolehkan; hukuman pencuri dibuat berupa potong tangan, sementara hukuman orang yang berzina dan orang yang meminum khamr tidak diterapkan.  Jadi makna hakiki at-tadarruj (bertahap) dalam penerapan hukum-hukum syariah adalah berhukum dengan hukum-hukum kufur pada masalah-masalah tertentu dan bukannya berhukum dengan hukum syariah. Ini jelas sangat jauh dari kaidah dimaksud. Sebabnya, kaidah ini mengatakan bahwa perbuatan yang diperintahkan secara syar’i wajib dilakukan sebagiannya yang mudah (mungkin) jika pelaksanaan sebagian lainnya tidak mudah (tidak mungkin) karena tidak ada kemampuan. Jadi kaidah itu tidak mengatakan bahwa boleh melaksanakan keharaman atau menerapkan kekufuran ketika tidak mampu menunaikan apa yang diperintahkan.

2-       Kaidah ini berbicara tentang perbuatan yang diperintahkan, bukan tentang perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang diperintahkan adalah menerapkan syariah. Adapun penerapan selain syariah maka jelas dilarang, bahkan merupakan bagian dari dosa paling besar. Lalu bagaimana bisa berdalil dengan kaidah ini atas kebolehan menerapkan hukum-hukum kufur? Bukankah ini merupakan perkara yang aneh?!

3-       Sesungguhnya orang-orang yang membolehkan bertahap dalam penerapan hukum, yang mereka maksudkan adalah bertahapnya penguasa dalam menerapkan syariah. Padahal penguasa itu tidak dihalangi oleh sesuatu pun dari penerapan syariah. Jadi tidak ada pada penguasa itu topik tidak adanya kemampuan, sebab dia adalah penguasa. Misalnya, apa yang menghalangi penguasa Muslim dari penerapan hukum-hukum syariah semuanya daripada menerapkan hukum-hukum kufur pada sebagian besar bidang kehidupan? Bukankah dia adalah penguasa riil di negeri itu? Lalu mengapa dia tidak menerapkan hukum-hukum syariah seluruhnya, sebaliknya malah mengedepankan hukum-hukum kufur?

4-       Nas-nas syar’i yang dijadikan dalil untuk kaidah-kaidah ini tidak menunjukkan kebolehan at-tadarruj sama sekali. Allah SWT berfirman:

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦

 

Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu (QS at-Taghabun [64]: 16).

 

Ayat ini tidak memiliki mafhum mukhalafah. Artinya, dari ayat tersebut tidak bisa dipahami bahwa ketakwaan itu tidak diperintahkan ketika ada ketidakmampuan. Justru sebaliknya, ayat tersebut menunjukkan atas kewajiban mengerahkan segenap usaha dalam merealisasi ketakwaan serta berpegang teguh dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam ath-Thabari di dalam Tafsîr ath-Thabarî, juga oleh Ibnu ‘Asyur di dalam At-Tahrîr wa at-Tanwîr, ketika menjelaskan ayat tersebut.

Jadi ayat yang mulia itu menunjukkan dengan jelas atas keharusan mengerahkan segenap kemampuan dalam bertakwa kepada Allah SWT;  tidak menyimpang dari perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya menurut kesanggupan seorang Muslim. Ayat yang mulia itu tidak menunjukkan sama sekali kebolehan at-tadarruj (bertahap) dalam menerapkan hukum-hukum kufur di samping hukum-hukum syariah.

Demikian pula terkait hadis mulia yang digunakan untuk ber-istidlal atas kaidah yang dimaksud, seperti hadis riwayat Imam al-Bukhari yang disebutkan di atas. Hadis tersebut mengatakan bahwa apa saja yang dilarang harus dijauhi. Adapun apa yang diperintahkan dikaitkan dengan kesanggupan. Tidak diragukan lagi, penerapan hukum kufur (di samping hukum-hukum Islam) dengan dalih bertahap adalah termasuk perkara yang dilarang oleh syariah berdasarkan dalil-dalil yang qath’I (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45 dan 47; QS al-Ahzab [33]: 36).

Oleh karena itu, hadis tersebut sama sekali tidak menunjukkan kebolehan penelantaran dalam berhukum pada syariah dan kebolahan menerapkan hukum-hukum kufur dengan dalih at-tadarruj (bertahap). Sebabnya jelas, berhukum dengan selain hukum Allah termasuk keharaman  wajib ditinggalkan.

Atas dasar itu, istidlal dengan kaidah tersebut untuk tindakan at-tadarruj (bertahap) dalam menerapkan hukum-hukum syariah adalah istidlal yang batil dan sama sekali tidak menjadi hujjah.

 

[Disarikan dari Soal-Jawab Syaikh ‘Atha Abu Rasytah, 05 Rabi’ul Akhir 1443 H/10 November 2021 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/78643.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/3060118987567438

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + eighteen =

Back to top button