Virus Corona Hasilkan ‘Virus’ Korupsi di Kenya
Penyidik dari Komisi Etika dan Anti-Korupsi Kenya (EACC) merekomendasikan penuntutan setidaknya 15 pejabat tinggi pemerintah dan pebisnis atas dugaan penyalahgunaan 7,8 juta dolar yang dimaksudkan untuk membeli persediaan medis Covid-19. Mengomentari hal itu, Aktivis Hizbut Taharir Kenya Sya’bani Mu’alim menyatakan penanggulangan virus corona menghasilkan virus lain. “Itulah ‘virus’ korupsi yang menciptakan para milioner Covid-19,” ujarnya seperti diberitakan hizb-ut-tahrir.info, Ahad (4/10/2020).
Sya’bani menyebutkan, dalam masa sulit ketika jutaan orang miskin Kenya diselimuti guncangan virus corona, para pejabatnya malah menjadi para milioner Covid-19. Para pejabat telah mendapat manfaat dari sejumlah kesepakatan curang. Jutaan shilling tidak jelas perhitungannya. Dana Covid-19 yang seharusnya masuk ke publik sudah masuk ke rekening pribadi.
“Tidak dapat dibayangkan seberapa besarnya risiko yang dihadapi masyarakat karena keegoisan dan keserakahan,” bebernya.
Sya’bani menyadari korupsi telah lama melanda Kenya, menghambat perkembangannya, memperburuk ketimpangan dan menekan potensi ekonominya. Monster ini akan terus bercokol selama perang untuk melawannya itu sendiri telah dipolitisasi ketika setiap skandal baru muncul.
“Pejabat Pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi telah dibebaskan dengan jaminan dan kasus tersebut memakan waktu terlalu lama untuk diselesaikan dan akhirnya tidak ada yang dinyatakan bersalah karena kurangnya bukti,” ungkapnya.
Menurut dia, korupsi adalah monster yang memakan semua pemerintahan yang terikat pada sistem kapitalisme yang korup. Dengan kata lain, basis korupsi di rezim-rezim ini terletak pada sistem kapitalisme yang diterapkan di masyarakat. Sistem ini tenggelam dalam pemuasan materialistik sebagai satu-satunya kriteria kehidupan sehingga memicu masyarakat khususnya para penyelenggara negara tergiur dengan keranjingan menumpuk kekayaan melalui kesepakatan-kesepakatan korupsi.
“Karena Kenya menganut ideologi kapitalisme yang dipenuhi dengan keinginan kuat untuk mengumpulkan kekayaan dengan segala cara, maka penjarahan kas publik akan merajalela,” kata Sya’bani.
Ia menegaskan, hanya Islam yang dapat memerangi ancaman korupsi. Karena itu Islam mengutuk semua orang yang terlibat dalam penyuapan dan korupsi. Tanggung jawab dan tugas memberantas korupsi bersifat kolektif pada semua, bukan individu atau komisi tertentu.
Sya’bani menerangkan, Islam menuntut pemimpin negara (khalifah) untuk mengambil tindakan serius terhadap pejabat pemerintah yang terlibat dalam penjarahan dana public, terlepas dari statusnya di masyarakat. Selain itu, Khalifah menerapkan hukum Islam (syariah) yang menentukan bagaimana negara memperoleh dan membelanjakan pendapatannya.
“Selama tiga belas abad Islam menguasai separuh dunia, penipuan dan kecurangan keuangan jarang terjadi. Rupanya hanya Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah yang akan membasmi korupsi dan kejahatan lainnya,” pungkas Sya’bani Mu’alim.