Urgensi Peran Ulama
Ulama adalah waratsatul anbiya’. Penting bagi ulama dan umat ini membangun kembali kesadaran ideologis dan politis Islam. Tentu peran ulama sangatlah besar. Jika ulama sukses menanamkan kesadaran ideologis dan politis Islam pada diri umat, tanpa dikomando ulama pun, umat pasti akan selalu menjatuhkan pilihannya pada Islam, partai Islam maupun syariah Islam.
Peran ulama bukan hanya sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam. Lebih dari itu, bersama umat ulama harus berupaya menerapkan akidah dan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan (ekonomi, politik/pemerintahan, pendidikan, sosial, hukum/peradilan, politik luar negeri dll); bukan hanya dalam tataran spiritual, moral dan ritual belaka. Karena itu ulama harus selalu terlibat dalam perjuangan untuk mengubah realitas rusak yang bertentangan dengan warisan Nabi saw. Hal itu tidak mungkin terjadi jika syariah Islam tidak diterapkan oleh negara. Negara pasti mau menerapkan syariah Islam jika ada dukungan dan dorongan kuat dari para ulama.
Ulama hendaknya menjadi pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ulama juga harus mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat hingga fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada ideologi-politik. Dengan demikian, fatwa-fatwa ulama mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim.
Di samping perlu meneladani ulama dari generasi para Sahabat Nabi saw., ulama saat ini perlu meneladani para ulama sebelum mereka. Kita, misalnya, bisa belajar dari dua ulama Ahlus-Sunnah, seperti Abu Hanifah dan Ibn Taimiyyah. Sejarah tidak pernah melupakan kedua sosok ulama mulia ini. Sebagaimana diketahui, kaum Muslim mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50 tahun. Akhirnya, di bawah pimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem setelah dikuasai Pasukan Salib selama 88 tahun. Menurut Dr. Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Zhahara Jîlu Shalahuddin wa Hakadza Adat al-Quds, Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang ‘turun dari langit’ dalam mengangkat keterpurukan umat Islam. Ia adalah produk dan bagian sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat.
Dalam lingkup nasional, sejarah juga tidak bisa melupakan peran ulama. Peristiwa 10 November 1945, misalnya, jelas tidak bisa dilepaskan dari peran KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo saat itu segera datang berkonsultasi pada KH Hasyim Asy’ari guna meminta restu bagi dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris.
Alhasil, ulama maupun umat harus kembali menyadari bahwa ‘kekalahan politik’ Islam yang terus-menerus terjadi dan keterpurukan umat ini tidak terlepas dari kelalaian kita untuk terus berjuang menegakkan syariah Islam. Ulama harus terus istiqamah membina umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan begitu, umat memiliki kepribadian Islam yang kuat. Mereka juga berani mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa. [M. Arifin ; Tabayyun Center]