Ziarah, Tradisi Mulia Peradaban Islam
Hari Raya Idul Fitri memang telah lama berakhir. Namun, ada salah satu tradisi di hari raya yang menarik untuk diulas. Tidak lain ziarah kubur.
Hari Raya merupakan hari bahagia. Namun, itu tidak menghalangi kaum Muslim pada awal-awal permulaan Islam untuk melakukan ziarah ke makam keluarga mereka. Justru dengan ziarah kubur pada hari bahagia, mereka tetap diingatkan agar tidak terlena. Mereka pun menndoakan ahli kubur pada pagi hari di Hari Raya setelah mereka pulang dari tempat shalat Id berjamaah.
Perubahan dalam merayakan Hari Raya, yang kelihatan mencolok, terjadi pada zaman Khilafah ‘Abbasiyah. Ketika itu, selain tradisi yang dilakukan di zaman Nabi dan para Sahabat, termasuk ziarah kubur, juga dilakukan tradisi baru, yakni saling mengunjungi di antara sanak kerabat.
Jamuan-jamuan makan pun diadakan di rumah-rumah orang yang berkecukupan. Anak-anak mendatangi rumah-rumah masyarakat dengan membawa atau meminta hadiah. Kebanyakan makanan yang disajikan pada Hari Raya adalah kue dan manisan. Umumnya diproduksi dari Iran. Semuanya itu merupakan tanda-tanda kemakmuran yang menandai mayoritas penduduk di era Khilafah ‘Abbasiyah.
Perkembangan besar lainnya terjadi pada era Bani Fathimiyah di Mesir. Idul Fitri telah dijadikan sebagai salah satu hari raya terbesar. Keramaian massa yang berkumpul pada Idul Fitri pun bisa dianggap terbesar dan termegah. Pada penguasa Fathimiyah umumnya mendirikan tempat-tempat makan malam, pada malam Idul Fitri. Panjangnya diperkirakan mencapai 200 meter, dengan lebar 4 meter. Pada awal Subuh 1 Syawal, penguasa Fathimiyyah pun keluar di kerumunan massa untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Setelah itu, diikuti dengan membentangkan meja makan yang besar.
Pada zaman Ikhsyidiyah di Mesir, tradisi tersebut tetap berlanjut. Diikuti dengan parade militer yang sangat besar. Emir Ikhsyidiyah pun duduk di gerbang Keemiran untuk menyambut tentara yang lewat di depannya. Setelah itu, diikuti dengan jamuan makan dengan menyediakan meja besar untuk para hadirin dan penduduk setempat. Boleh jadi hidangan para penguasa Fathimiyah dan Emir Ikhsyidiyah ini merupakan makanan yang disajikan ke seluruh kota di wilayah Arab dan Islam pada pagi Hari Raya.
Najed, yang merupakan wilayah terbesar di Jazirah Arab, tetap mempertahankan tradisi ini. Tak ada satu negeri, besar maupun kecil di Najed, kecuali mengenal tradisi menghidangkan makanan di jalan-jalan pada pagi Hari Raya. Orang-orang Najed menambahkan tradisi ini dengan tradisi lain, seperti pembuatan kue bolu atau donat. Di wilayah tersebut pun banyak tersedia tempat-tempat menyantap makanan.
Di setiap sudut gang, masyarakat berkumpul di salah satu jalan utamanya. Penduduk kampung datang dengan membawa makanan yang dibuat di rumah-rumah mereka.
Begitulah penguasa kaum Muslim merayakan Idul Fitri mereka. Selain apa yang telah dicontohkan oleh Nabi saw. sebelumnya. [Abu Inas ; (Tabayyun Center)]