Tidak Make Sense
Tok. UU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan DPR RI pada 12 April 2022. Dalam Bab I, Pasal 1 UU tersebut disebutkan bahwa “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Dalam definisi ini jelas bahwa UU ini domainnya adalah ‘secara paksa’. Artinya, jika dilakukan ‘secara rela’ atau ‘berdasarkan persetujuan dalam keadaan bebas’ tidak tercakup dalam UU tersebut. Dengan kata lain, kalau dilakukan atas dasar rela dan suka sama suka maka tidak dikategorikan kekerasan seksual.
Karena itu tidaklah mengherankan, sekalipun sudah disahkan, UU tersebut terus dikritisi. Ketua Koalisi Nasional Perlindungan Keluarga Indonesia Prof. Euis Sunarti menyatakan (13/5/2022), “Semua orang normal akan berpikir seperti itu. Namun, ketika membaca draft-nya, terutama naskah akademiknya, ternyata banyak hal yang sangat merisaukan. Selain definisinya multitafsir, landasannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Feminisme itu bukan dari Indonesia.”
“Isme atau paham tersebut dikembangkan oleh para ahli atau perempuan-perempuan dengan semangat sosialis radikalis,” tambahnya.
Beliau menambahkan, kekerasan seksual terhadap anak laki-laki itu kebanyakan adalah karena LGBT dan karena homoseksual. “Tetapi kenapa kemudian menolak pengaturan kejahatan seksual, zina dan cabul sesama jenis di dalam undang-undang ini? Kan tidak masuk akal. Kalau mau mengatakan komprehensif harusnya masukkan juga homoseksual sebagai faktor yang menyebabkan kekerasan seksual. Tapi ternyata mereka tolak mentah-mentah,” tegas Profesor di IPB University ini.
Sebelumnya telah terbit Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Dalam Permendikbud ini intinya sama, yakni ‘tanpa persetujuan korban’ (Pasal 5). Dengan demikian, jika dilakukan dengan persetujuan masing-masing maka tidak ada masalah.
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat pun melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Agung. Namun, pada 19 April 2022 Mahkamah Agung ( MA ) menolak uji materi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ( Permendikbudristek ) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut.
“Kalau melihat kenyataan memang kayaknya yang ingin diselesaikan itu adalah perbuatan seksual karena paksaan. Kalau kedua belah pihak rela, ya dibiarkan,” Pak Tubagus berpendapat.
“Sudah jelas jadinya. Seks bebas kalau suka sama suka tidak apa-apa. Pelacuran, jika mau sama mau, juga tidak apa-apa. Serumah, sekali-pun belum menikah, tidak masalah. Bahkan laki dengan laki dan perempuan dengan perempu-an, kalau suka sama suka, tak boleh ada yang melarang. Itu maunya mereka,” tambahnya.
“Padahal, yang saya pahami zina dan homo itu jelas dilarang. Semua hubungan seksual di luar nikah itu haram. Jadi, mestinya yang dilarang itu bukan sekadar yang dipaksa, namun juga perbuatan asusila yang saling rela,” Pak Anwar berpendapat senada.
Saya sampaikan bahwa kalau kacamatanya ajaran Islam maka semuanya jelas. Di dalam al-Quran dinyatakan (yang artinya), “Janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Suatu jalan yang buruk.” (TQS Al-Isra [17]:32).
“Coba perhatikan, ayat itu digandengkan dengan pembunuhan anak (ayat 31), zina (ayat 32), membunuh manusia secara umum (ayat 33), memakan harta anak yatim (ayat 34), mengurangi timbangan (ayat 35), mengikuti tanpa ilmu (ayat 36), dan sombong (ayat 37). Semuanya itu hukumnya sama. Haram,” tambah saya.
“Apalagi dalam ayat 37 dinyatakan: ‘Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu’. Sangat jelas,” tegas saya.
Begitu juga terkait dengan hubungan sesama jenis yang pada zaman Nabi Luth as. pernah dilakukan oleh masyarakat saat itu (Lihat: QS al-A’raf [7]: 80-81).
Saya sampaikan, “Jelas sekali perbuatan liwaath itu merupakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan sebelum kaum pada jaman Nabi Luth. Jelas haram. Itu kalau menggunakan aturan Islam.”
“Kalau menggunakan demokrasi, termasuk demokrasi Pancasila, lain lagi, ya Pak Ustadz,” Pak Tubagus menyambar pernyataan.
“Zina dan hubungan sejenis atau LGBT, tentu kedua belah pihak sama-sama mau, haram dalam Islam. Namun, perkara yang jelas haram ini, dalam demokrasi harus dibuat dulu naskah akademik. Lalu dibuat rancangan undang-undang. Setelah itu dibuat kelompok kerja. Terus berproses sampai akhirnya rapat paripurna menyetujui atau tidak. Dilalahnya, disepakati hal ini tidak diatur. Artinya, boleh karena tidak ada aturannya. Apalagi ada aturan lain yang menegaskan bahwa itu adalah delik aduan, boleh jika sama-sama rela. Bukan begitu, Ustadz?” Tambahnya.
Pak Amri turut meramaikan obrolan warung kopi ini, “Oh, dari penjelasan tadi, saya baru ngerti apa yang disampaikan oleh Pak Mahfud MD.”
Ungkapan Menkopolhukam Mahfud MD yang dimaksud adalah ucapannya menanggapi ekspose homoseksual dalam salah satu channel You Tube. Mahfud MD menyatakan bahwa kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) termasuk pihak yang menyiarkan tayangan tersebut belum dilarang oleh hukum yang ada di Indonesia. “Coba saya tanya balik: mau dijerat dengan UU nomor berapa Deddy dan pelaku LGBT? Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi hukum. Nah LGBT dan penyiarnya itu belum dilarang oleh hukum,” cuitnya (11/5/2022).
“Jadi, LGBT sekarang tidak dilarang di Indonesia. Artinya, sekarang LGBT dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila. Nah, andai saja dua tahun yang akan datang dibuat hukumnya dan dinyatakan dilarang, berarti dua tahun mendatang LGBT dianggap bertentangan dengan Pancasila. Kok berubah-ubah. Jika demikian, sebenarnya LGBT itu bertentangan dengan Pancasila ataukah tidak sih? Atau sekarang bertentangan, nanti tidak? Tidak make sense…,” ujar Pak Amri sambil memegang keningnya tanda sedikit pusing.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]