Tafsir

Penentang Al-Quran dan Hukumannya (7)

وَمَا جَعَلۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةٗۖ وَمَا جَعَلۡنَا عِدَّتَهُمۡ إِلَّا فِتۡنَةٗ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيَسۡتَيۡقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنٗا وَلَا يَرۡتَابَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَلِيَقُولَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡكَٰفِرُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَمَا يَعۡلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَۚ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡبَشَرِ ٣١

“Kami menjadikan penjaga neraka itu hanyalah dari para malaikat. Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin; agar orang yang beriman bertambah imannya; agar orang-orang yang diberi kitab dan kaum Mukmin itu tidak ragu-ragu; dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), “Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberikan  petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS al-Muddatstsir [74]: 31).

 

Dalam penggalan ayat sebelumnya diberitakan tentang perbedaan sikap kaum Mukmin dengan kaum kafir dan orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit; juga diberitakan malaikat penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas. Jumlah tersebut menjadi fitnah bagi orang-orang kafir. Namun, bagi Ahlul Kitab, penyebutan jumlah tersebut diharapkan membuat mereka yakin terhadap kebenaran al-Quran dan Rasulullah saw.

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya:

وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡبَشَرِ ٣١

Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.  

 

Dhamîr al-ghâib, yakni kata  (dia), kembali pada kata Neraka Saqar beserta gambarannya. Mujahid dan yang lain berkata, “Artinya, neraka yang telah digambarkan sebelumnya.”1

Makna ذِكرَى di sini adalah تذكرة وموعظة وإنذارًا (peringatan, pelajaran dan peringatan keras).2 Penyebutan kata مَا nâfiyyah yang menegasikan kata sesudahnya, kemudian diiringi dengan kata إِلا yang mengecualikan kata sesudahnya, memberikan makna li al-qasyar (pembatasan). Artinya, pemberitahuan tentang Saqar beserta semua sifatnya tak lain kecuali menjadi peringatan dan nasihat bagi manusia.

Asy-Syaukani berkata, “Tidaklah Saqar serta jumlah penjaganya yang disebutkan melainkan sebagai peringatan dan nasihat bagi alam.” 3

Wahbah az-Zuhaili berkata, “Tidaklah Neraka Saqar dan sifat-sifatnya serta para penjaganya yang Kami sebutkan kecuali menjadi peringatan dan nasihat bagi manusia agar mereka mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah SWT, bahwa Dia tidak membutuhkan pembantu dan penolong.”4

Ada yang mengatakan bahwa dhamîr al-ghâib tersebut kembali pada kata berita dan berbagai hujjah yang telah disampaikan. Jadi maknanya, “Petunjuk-petunjuk, bukti-bukti dan al-Quran; melainkan sebagai peringatan untuk manusia.”5

Sebagian lainnya mengatakan, “Tidaklah penyebutan jumlah para penjaga neraka itu melainkan untuk menjadi peringatan bagi manusia, supaya mereka mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah, dan bahwa Allah tidak membutuhkan pendukung dan penolong.”6

 

Beberapa Pelajaran Penting

Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama: Kepastiaan adanya Neraka Saqar dan kedahsyatannya. Ayat ini dengan jelas menyampaikan ancaman kepada orang yang mengingkari dan menentang al-Quran. Orang yang dengan lancang berani mengatakan al-Quran adalah sihir yang dipelajari dan hanyalah ucapan manusia belaka dipastikan akan dimasukkan ke dalam Neraka Saqar.

Dalam ayat ini juga digambarkan sebagian kedahsyatan neraka tersebut. Neraka tersebut tidak meninggalkan satu pun bagian dari organ tubuh manusia untuk dibakar. Semuanya merasakan kobaran api neraka yang amat dahsyat.

Neraka tersebut juga digambarkan sebagai pembakar yang menghanguskan dan melegamkan kulit. Setelah kulit itu matang karena terbakar, diganti dengan kulit baru untuk dibakar kembali agar mereka merasakan sakit yag luar biasa. Begitu seterusnya.

Dahsyatnya siksa Neraka Saqar juga digambarkan dalam ayat lain (Lihat: QS al-Qamar [54]: 48).

Meski gambaran neraka itu sudah sangat mengerikan, namun realitas  yang sesungguhnya jauh lebih dahsyat. Hal itu dipahami dari firman-Nya: وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ

(Tahukah kamu apa Neraka Saqar itu?). Menurut para mufassir, kalimat istifhâm dalam ayat ini memberikan gambaran tentang dahsyatnya neraka itu hingga di luar jangkauan nalar manusia.  

Dahsyatnya Neraka Saqar itu seharusnya membuat takut siapa pun untuk dimasukkan ke dalamnya. Rasa takut pun mendorong pelakunya untuk mengerjakan semua hal yang menyebabkan dia dijadikan sebagai penghuninya.

Dalam ayat tersebut telah dijelaskan tentang siapa saja yang medapatkan azab tersebut. Mereka adalah yang berpaling dari kebenaran dan menyombongkan diri. Mereka pun megingkari al-Quran sebagai wahyu Allah SWT seraya menuduhnya sebagai sihir yang dipelajari dan hanyalah perkataan manusia.

Dalam ayat sesudahnya juga diberitakan bahwa yang menyebabkan orang dimasukkan ke dalam Neraka Saqar adalah karena tidak mengerjakan shalat, tidak memberikan makanan kepada orang miskin, biasa berbincang untuk tujuan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan mendustakan Hari Kiamat hingga ajak menjemputnya.

Kedua: Adanya sebagian perkara dalam al-Quran yang juga diberitakan dalam kitab-kitab sebelumnya. Para malaikat penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas telah diberitakan dalam kitab-kitab sebelumnya. Karena itu ketika al-Quran memberitakan hal yang sama dapat membuat Ahlul Kitab yakin terhadap kebenaran al-Quran dan Rasulullah saw. Itulah yang dimaksudkan dalam firman-Nya: لِيَسْتَيْقِنَ الذِينَ أوتُوا الكِتَابَ  (agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin).

Ini menunjukkan bahwa ada sebagian berita dalam al-Quran yang juga telah diberitakan dalam kitab-kitab samawi sebelumnya. Hanya saja, sebagian berita itu diubah, ditambah atau dihilangkan. Hal ini diberitakan dalam beberapa ayat (Lihat: QS al-Maidah [5]: 157; QS Ali Imran [3]: 788).

Ketiga: Pemahaman tentang petunjuk dan kesesatan. Dalam ayat ini disebutkan: كَذَلِكَ يُضِلُّ الله مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ (Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki). Menurut para mufassir, kata كَذَلِكَ (seperti itu) menunjuk pada penyesatan orang-orang kafir, Ahlul Kitab dan orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit. Demikian juga pemberian petunjuk kepada kaum beriman.

Allah SWT telah memberikan petunjuk dan pemberitaan yang sama tentang adanya malaikat penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas kepada semua manusia. Pemberitaan tentang jumlah itu merupakan dzikrâ (peringatan dan pekajaran) bagi seluruh manusia. Meskipun demikian, sikap manusia berbeda-beda dalam meresponnya.

Kaum kafir mengingkari pemberitaan tersebut. Bahkan mereka meremehkan dan menjadikan sebagai bahan tertawaan. Seolah mereka akan dapat mengalahkan malaikat yang jumlahnya sembilan belas. Pemberitaan jumlah malaikat itu pun membuat mereka semakin kufur dan lancang kepada Allah SWT. Ibnu Rajab al-Hambali ra. berkata, “Sudah masyhur di kalangan para ulama salaf dan khalaf, bahwa fitnah yang dimaksud dalam ayat adalah fitnah berupa jumlah malaikat penjaga nereka, yang telah membuat orang-orang kafir terpedaya. Mereka mengira mampu melawan dan melindungi diri mereka dari penjaga neraka  itu. Orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa satu malaikat saja tidak mungkin terkalahkan oleh kekuatan seluruh manusia.9

Adapun Ahlul Kitab sesungguhnya telah mendapatkan berita dalam al-Kitab tentang jumlah malaikat penjaga neraka sebanyak sembilan belas. Kesamaan berita itu seharusnya membuat mereka lebih mudah meyakini kebenaran al-Quran dan Rasulullah saw. Memang di antara mereka ada yang memilih beriman, seperti Abdullah bin Salam dan lain-lain. Akan tetapi, sebagian besar lainnya justru ingkar. Padahal mereka sebelumnya sangat menantikan kehadiran rasul terakhir itu (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 89).

Mereka kufur bukan karena tidak mengetahui tentang kebenaran al-Quran dan Rasulullah saw, namun disebabkan oleh rasa dengki yang memenuhi jati mereka. Mereka mengingingkan nabi terakhir itu berasal dari bangsa mereka, namun realitasnya dari bangsa Arab (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 90).

Sikap serupa juga terjadi pada orang-orang kafir. Al-Walid bin al-Mughirah sesungguhnya mengetahui kebenaran al-Quran. Hal itu dengan jelas dia katakan sesudah mendengarkan al-Quran secara langsung dari Rasulullah saw. Akan tetapi, ia diancam oleh Abu Jahal, jika dia tidak meralat perkataannya, dia akan ditinggalkan kaumnya. Ketakutan terhadap hilangnya pengaruh di tengah kaumnya membuat dia mengubah perkataannya tentang al-Quran. Sebelumnya dia katakan bahwa al-Quran bukanlah syair buatan manusia atau mantra dukun, manusia dan jin. Kemudian dia mengatakan al-Quran hanyalah sihir dan perkataan manusia. Perubahan sikap itu jelas bukan dilandasi kebenaran, tetapi kebencian dan ketakutan akan hilangnya kesenangan duniawi.

Orang-orang beriman berbeda lagi. Mendengar berita tentang adanya malaikat penjaga malaikat yang berjumlah sembilan belas orang, sama sekali tidak mengurangi keimanan mereka. Ketika berita berasal dari Allah SWT, mereka pun meyakini bahwa itu pasti benar. Sikap mereka sebagaimana diberitakan dalam firman Allah SWT ketika mendapatkan perumpamaan tentang seekor nyamuk (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 26).

Bahkan berita tentang jumlah malaikat penjaga neraka itu semakin menambah keimanan mereka (Lihat: QS al-Taubah [9]: 124).

Sebagai balasannya, Allah SWT memberikan taufik kepada mereka dan mengokohkan keimanan mereka. Allah SWT berfirman:

وَٱلَّذِينَ ٱهۡتَدَوۡاْ زَادَهُمۡ هُدٗى وَءَاتَىٰهُمۡ تَقۡوَىٰهُمۡ ١٧

Orang-orang yang mendapat petunjuk itu, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya (QS Muhammad [47]: 17).

 

Artinya, orang-orang yang mencari hidayah, Allah memberi taufik mereka. Lalu Dia memberikan petunjuk kepada mereka, meneguhkan pendirian mereka pada jalan hidayah itu, dan menambah kepada mereka hidayah. Firman-Nya:   bermakna: memberikan kepada mereka ilham yang membimbing mereka pada ketakwaan. Demikian menurut Ibnu Katsir.10

Begitulah al-hidâyah (petunjuk) dan adh-dhalâh (kesesatan) yang diberikan kepada manusia. Allah SWT telah menurunkan al-Quran yang berisi hudâ (petunjuk) dan mengutus Rasulullah saw. untuk menyampaikan petunjuk kepada manusia. Akan tetapi, sikap menerima atau menolaknya bergantung pada manusia. Manusia diberi daerah ikhtiar untuk memilih. Ada yang memilih untuk meyakini. Ada juga yang memilih untuk mengingkari. Manusia tidak dipaksa menjadi Mukmin atau kafir. Namun harus dingat, bahwa pilihan ada konsekuensinya. Mereka yang memilih iman diganjar dengan surga. Sebaliknya, yang lebih memilih kekufuran akan dimasukkan ke dalam neraka.

Ini pula yang dijelaskan Wahbah az-Zuhaili tentang penggalan ayat ini: “Makna penyesatan dan hidayah di sini bukanlah Allah SWT memaksa masing-masing kelompok berada dalam kesesatan dan petunjuk. Sebab, hal itu menafikan keadilan Ilahi dan hikmah tasyri’ yang dikandung oleh taklif. Sesungguhnya kehendak dan ikhtiar memiliki peran yang sangat penting dalam merespon taklif dan kelayakan mendapatkan hukuman dan pahala. Hal itu tidak terjadi secara paksaan dari Allah SWT. Sesungguhnya sesuai dengan keinginan-Nya, sekalipun hamba itu menyalahi dan membangkang terhadap apa yang diperintahkan dan dicintai Allah SWT. Hal itu juga tidak keluar dari kehendak Allah SWT. Allah SWT memang memaksa atau menguasai segala sesuatu. Akan tetapi, Dia melonggarkan tali kekang pada perkara dalam ikhtiar manusia.”11

Kelima: Keimanan kepada malaikat dan jumlahnya. Ayat ini mengukuhkan adanya makhluk gaib bagi manusia. Itulah malaikat. Di antara  malaikat itu ada yang ditugaskan untuk menjaga neraka. Hal ini jelas disebutkan dalam firman-Nya: وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَة (Kami menjadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat).

Jumlah malaikat sangat banyak. Demikian banyaknya hingga tak ada seorang pun mengetahui kecuali Allah SWT. Tentang banyaknya jumlah malaikat juga diriwayatkan dalam hadits tentang Isra’ Mi’raj. Ketika Rasulullah saw bertanya tentang Baitul Ma’mur, dijawab Jibril as.:

هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ يَدْخُلُه كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ إِذَا خَرَجُوا مِنْه لمَ يَعُودُوا فِيهِ آخِرُ مَا  عَلَيْهِمْ

Baitul Ma’mur ini setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat. Jika keluar darinya, tidak kembali lagi ke dalamnya untuk selama-lamanya (HR Muslim).

 

Keyakinan terhadap malaikat ini semestinya membuat semakin taat kepada Allah Swt dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua la larangan-Nya.

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan Kaki:

1        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 272

2        Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 406

3        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 397

4        Asy-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 236

5        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 397

6        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 397

7        Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Rasul itu akan menjelaskan hal-hal yang mereka ganti, mereka selewengkan, mereka takwilkan, dan mereka dustakan atas  Allah dalam takwil itu, serta membiarkan banyak hal yang mereka ubah, tetapi tidak ada faedahnya bila dijelaskan (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 3, 67-68).

8        Tentang ayat ini, Abdurrahman al-Sa’di berkata, “Alah SWT mengbarkan bahwa  di antara Ahli Kitab ada suatu kelompok yang melakukan:  ?‎يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ>‎. Artinya, memutarbalikkan dan menyelewengkan dari maksudnya. Ini mencakup membengkokkan dan menyelewengkan lafadz dan maknanya.” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 136)

9        Ibnu Rajab, al-Takhwîf min al-Nâr (Thaif: Maktabah al-Muayyad, 1988), 218

10      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 7, 315

11      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 235

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × three =

Back to top button