Analisis

Dari Terorisme Ke Radikalisme

Luthfi Affandi, S.H., M.H.

Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah

Perang melawan terorisme (war on terrorism) yang digulirkan Amerika Serikat dengan mengambil momentum keruntuhan Gedung WTC pada 11 Maret 2001 lalu sejatinya adalah perang melawan Islam. Indikasinya sangat jelas. Pertama: Jika dilihat dari korbannya, sebagian besar adalah negeri Muslim, kelompok Muslim dan orang yang beragama Islam. Irak dan Afganistan, misalnya, menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika, dengan alasan yang dibuat-buat. Korbannya, jelas sekali umat Islam. HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel masuk dalam daftar kelompok teroris. Sebaliknya, Israel, walaupun nyata-nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan.

Kedua: Dari narasi dan label yang disematkan, mereka menggunakan istilah teroris Islam, militan Islam, radikal Islam. Namun, mereka tidak pernah menyebut teroris Yahudi (Israel), teroris Hindu (Macan Tamil) atau teroris Kristen (Amerika, dkk).

Indonesia dan Perang Melawan Terorisme

Indonesia adalah negara yang sangat aktif menjalankan berbagai program perang melawan terorisme yang didagangkan Amerika. Mengambil momentum Bom Bali tahun 2002, Indonesia langsung mengeluarkan Perppu No I tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No. 15 tahun 2003. Berikutnya, pada tahun 2003 dibentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 yang dibentuk dengan SK Kapolri No. 30/VI/2003. Pada tahun 2010, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dalam penanggulangan terorisme, paling tidak ada dua pendekatan yang dilakukan Pemerintah” “hard power” dan “soft power”. Pendekatan “hard power” lebih menekankan pada “law enforcement”, yakni penegakkan hukum terhadap pelaku tindak terorisme. Selama ini, pendekatan “hard power” lebih direpresentasikan oleh Densus 88. Adapun pendekatan “soft power”, selain menguatkan legal frame yakni dengan disahkannya UU Intelijen Negara, UU Ormas, penyusunan RUU Kemanan Nasional, serta rencana revisi UU Terorisme, juga dengan melakukan program deradikalisasi. “Keseriusan” Pemerintah menjalankan program deradikalisasi yang dimulai sejak pembentukan BNPT (2010), menandai perluasan objek sasaran war on terrorism (WOT): dari perang melawan terorisme menjadi perang melawan radikalisme.

Radikal, Radikalisme dan Deradikalisasi

Radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar. Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar. Ini bisa berarti positif atau negatif. Dalam KBBI, kata radikal memiliki arti; mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak.

Radikal, jika ditambah akhiran isme, yakni “radikalisme”, berarti paham yang sifatnya mendasar, atau paham politik yang menuntut perubahan yang fundamental. Dalam pengertian ini, sikap “radikal” atau “radikalisme” adalah istilah yang netral, bisa baik atau buruk; tergantung konteksnya atau nilai yang melekat padanya. Sikap dan paham ini pun bisa tumbuh dalam entitas apapun; tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainya.

Kata radikal, jika diimbuhi awalan “de” dan akhiran “isasi” yakni “deradikalisasi” maknanya menjadi proses yang meniadakan atau menghilangkan sifat radikal.

Namun, dalam konteks isu perang melawan terorisme, pemaknaan radikal dan radikalisme menjadi stereotif dan sangat subyektif. Label radikal sering disematkan kepada individu atau kelompok yang memperjuangkan formalisasi syariah Islam dalam negara, menyerukan jihad fi sabiilillah, menganggap Amerika sebagai musuh kaum Muslim, memiliki tujuan menegakkan Khilafah Islam, dan lain sebagainya.

Adapun deradikalisasi, dalam konteks isu terorisme, adalah upaya untuk mengubah cara pandang dan sikap orang atau kelompok yang memiliki ciri radikal sebagaimana yang mereka definisikan sendiri, menjadi orang atau kelompok yang lunak, toleran, pluralis, moderat dan liberal.

Dari Terorisme ke Radikalisme

Apa alasan perang melawan terorisme beralih menjadi perang melawan radikalisme?

Pada awal tulisan ini saya menjelaskan, bahwa perang melawan terorisme sejatinya merupakan perang melawan Islam. Peralihan isu dari terorisme ke radikalisme tentu tidak bisa dilepaskan dari hal tersebut.

Paling tidak ada dua alasan utama. Pertama: Dari aspek sasaran. Jika yang dimaksud Barat bahwa sasaran mereka adalah Islam ideologi, maka pelaku tindak terorisme terlalu sempit dan spesifik, yakni hanya mereka yang melakukan tindak kekerasan seperti halnya penembakan, pengeboman, pembajakan terhadap fasilitas publik dan yang sejenisnya. Adapun pengusung ideologi Islam yang bercita-cita menegakkan Khilafah Islam yang akan menjadi lawan serius Barat dengan ideologi Kapitalismenya, yang berjuang tanpa kekerasan, dan yang melakukan perjuangan intelektual, tidak bisa mereka sentuh. Karena itu mereka meluaskan sasaran perang melawan terorisme menjadi perang melawan radikalisme. Mereka membuat narasi yang seolah-olah mengonfirmasi bahwa setiap tindakan terorisme selalu didahului oleh pikiran dan gagasan yang radikal. Sebagai contoh, mereka membuat opini bahwa semua pelaku tindak terorisme adalah mereka yang menginginkan formalisasi syariah Islam dalam negara, menginginkan penegakan Khilafah Islam. Karena itu mereka menyasar siapapun yang memiliki ciri yang mereka definisikan sendiri tersebut sebagai radikal. Wajar jika  sering terasa janggal ketika, misalnya, buku-buku karya ulama yang membahas tentang jihad, syariah Islam, Khilafah Islam, bahkan al-Quran dijadikan barang bukti kasus terorisme. Narasi ini jelas sekali, hendak menggiring opini bahwa para pejuang Islam adalah radikalis yang berpotensi melakukan tindak terorisme.

Kedua: Dari aspek strategi. Tampak otak intelektual di balik war on terrorism baik di dunia internasional maupun di Indonesia sudah mengendus banyak kecurigaan publik terhadap istilah dan terminologi “terorisme” yang didagangkan Barat di Dunia Islam, termasuk strategi dan pendekatan “hard power” yang selama ini mereka kedepankan. Cara-cara kasar dan brutal yang selama ini banyak dipertontonkan, alih-alih dapat meraih simpati publik, yang terjadi malah memunculkan kemarahan dan perlawanan masyarakat.

Di Indonesia, langkah “law enforcement” yang selama ini lebih direpresentasikan oleh Densus 88 memunculan problem serius. Penegakan hukum yang seharusnya menerapkan prinsip keadilan, keterbukaan, berdasarkan bukti yang kuat dan mengormati hak asasi, dilanggar secara serampangan oleh Densus 88. Bukti yang sangat terang benderang adalah banyaknya korban “extra judicial killing” yakni pembunuhan tanpa melalui proses pengadilan terhadap orang-orang yang baru diduga melakukan tindakan terorisme. The Islamic Study and Action Center (ISAC) dan DDII setidaknya mencatat ada sekitar 96 nama yang masuk dalam daftar korban kekejaman Densus 88 sejak lembaga tersebut dibentuk hingga 2016. Tindakan serampangan Densus 88 ini alih-alih dapat menghentikan tindakan terorisme, yang terjadi malah sebaliknya, yakni semakin menumpuk dendam tak berkesudahan bagi keluarga dan simpatisan terduga teroris. Selain itu, law enforcement yang selama ini diterapkan hanya bisa menghukum “tindak kekerasan”, tetapi tidak bisa “menghukum” ide dan gagasan. Karena itu dibuatlah berbagai perangkat hukum agar ide dan gagasan masuk dalam kategori yang bisa ditindak. Contoh konkretnya adalah penerbitan Perppu No. 2 tahun 2017 yang kemudian disahkan menjadi UU, memasukkan “ajaran dan paham” yang bertentangan dengan Pancasila sebagai perkara yang dilarang dianut dan dikembangkan. Adapun  definisi dan penafsiran tentang ajaran atau paham apa yang bertentangan dengan Pancasila sangatlah subjektif, tergantung keinginan penguasa. Belakangan, gagasan khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam disebut-sebut bertentangan dengan Pancasila.

 

Isu Radikalisme untuk Menyerang Islam

Bagaimanapun, menyerang agama Islam secara langsung tentu sangat beresiko menuai berbagai penolakan dan perlawanan. Apalagi target sasaran Barat banyak dilakukan di negeri yang mayoritas beragama Islam. Karena itu diperlukan “isu antara” agar bisa diterima berbagai kalangan terutama pihak penguasa. Isu radikal inilah yang dipilih setelah isu terorisme tidak laku jual dan telah kehilangan momentumnya.

Lalu apa target mereka dengan isu radikalisme ini? Paling tidak ada tiga target utama. Pertama: Monsterisasi ajaran Islam, terutama Khilafah. Amerika tentu memahami betul bahwa pasca perang dingin, lawan serius mereka dengan ideologi Kapitalismenya adalah Islam. Islamlah yang berpotensi menumbangkan keangkuhan ideologi Kapitalisme. Tentu yang dimaksud dengan Islam di sini adalah Islam ideologis, yakni Islam yang mengatur berbagai aspek kehidupan mulai dari perkara spiritual hingga politik. Islam ideologis mengharuskan ajaran Islam bukan hanya dipelajari tetapi juga diterapkan dalam kehidupan. Adapun upaya agar seluruh ajaran Islam dapat diterapkan adalah dengan mewujudkan institusi politiknya. Di dalam ajaran Islam, institusi politik tersebut dinamakan Khilafah Islam. Khilafah Islam inilah yang berpotensi menumbangkan ideologi Kapitalisme. Untuk menghalangi dan menghambat tegaknya Khilafah dibuatlah upaya monsterisasi Khilafah, yakni agar publik terutama umat Islam takut terhadap khilafah. Jika umat Islam takut dengan Khilafah, tentu mereka akan memusuhi atau paling tidak enggan memperjuangkannya. Fenomena munculnya ISIS dengan karakter buruk yang ditampilkan ditengarai sebagai bagian dari upaya monsterisasi ajaran Islam, terutama Khilafah.

Kedua: Menjauhkan umat dari syariah dan pemikiran Islam. Kekuatan umat Islam yang paling penting, selain jumlahnya yang banyak dan potensi sumberdaya alamnya, adalah pemikirannya tentang Islam dan syariahnya. Khazanah pemikiran Islam inilah sejatinya yang akan dapat mewujudkan sebuah peradaban yang unggul. Tanpa syariah dan pemikiran Islam, jumlah umat Islam yang banyak sekalipun tidak memiliki nilai apa-apa. Tanpa syariah dan pemikiran Islam, bahkan sumberdaya alam yang luar biasa melimpah sekalipun malah dikuasai negara kapitalis penjajah, tidak bisa dikuasai umat Islam. Syariah dan pemikiran Islam inilah yang hendak dijauhkan dari umat Islam. Mereka menyematkan isu “radikalis” terhadap siapapun umat Islam yang mengkaji ajaran Islam dengan benar dan berupaya menerapkannya dalam kehidupan. Membuat stigma negatif terhadap Rohis dan mencurigainya berpotensi melahirkan gerakan radikal. Mereka mengajak pejabat negara agar jangan terlalu serius dalam beragama. Itu adalah contoh kecil upaya menjauhkan umat Islam dari syariah dan pemikiran Islam.

Ketiga: Penyesatan politik, yakni mengalihkan persoalan dari kapitalisme/liberalisme menjadi Islam. Kapitalisme sekular inilah yang menjadi biang permasalahan di berbagai aspek, baik ekonomi, politik, sosial budaya dan berbagai aspek lainnya. Saat ini Barat hendak menutup-nutupi berbagai kebobrokan Ideologi Kapitalisme dan mengalihkannya pada Islam dengan menuduh bahwa Islamlah yang menjadi penyebab permasalahan itu terjadi. Di Indonesia, misalnya, Pemerintah dan kalangan sekular menuding bahwa jika syariah Islam diterapkan maka akan menimbulkan disintegrasi. Khilafah akan mengancam kebhinekaan, menimbulkan madarat yang besar, dan sebagainya. Padahal kita mengetahui persis bahwa yang menyebabkan lepasnya Timor Timur bukanlah Islam melainkan demokrasi secular. Yang menjadikan sumberdaya alam Indonesia dikuasai negara asing adalah Kapitalisme, bukan Islam. Yang menyebabkan rusaknya moral bangsa ini adalah liberalisme, bukan Islam.

Melawan Isu Radikalisme?

Isu radikalisme jelas bukanlah isu yang bergulir alami. Isu ini direkayasa sedemikian rupa sehingga mengarah pada satu sasaran, yakni Islam. Karena itu diperlukan pula upaya sistematis agar rekayasa Barat menyerang Islam mengalami kegagalan. Di antara langkahnya adalah sebagai berikut:

Pertama, menanamkan kesadaran politik. Banyaknya umat Islam yang terpengaruh terhadap berbagai proganda Barat bahkan terlibat menjadi pelaku dalam skenario mereka, termasuk dalam hal ini isu radikalisme, adalah karena rendahnya kesadaran politik umat Islam. Karena itu harus ada upaya membongkar skenario dan makar Barat tersebut agar diketahui secara terbuka oleh umat Islam. Umat Islam harus disadarkan bahwa isu radikalisme adalah bagian dari upaya Barat untuk memerangi Islam. Perang melawan radikalisme harus dipahami sebagai perang melawan Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh terpengaruh apalagi terlibat dalam upaya memerangi radikalisme seperti halnya proyek “deradikalisasi”.

Kedua, membina umat dengan pemikiran Islam. Tentu tidak cukup hanya dengan membongkar skenario Barat terhadap umat Islam. Harus ada upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk membina umat Islam dengan pemikiran Islam. Memberikan gambaran utuh tentang Islam serta menyampaikan seluruh ajaran Islam tanpa kecuali, mulai dari akidah, ibadah, syariah hingga Khilafah. Mendakwahkan seluruh ajaran Islam, termasuk Khilafah, tidak boleh berhenti, apapun risikonya. Kita berhenti mendakwahkan Islam justru itulah yang mereka harapkan.

Ketiga, memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam. Saat ini terjadi “pertarungan” yang tidak seimbang. Di satu sisi, idelogi Kapitalisme diemban oleh berbagai negara. Di sisi lain, saat ini Islam hanya diemban oleh individu dan kelompok dakwah. Agar pertarungan melawan propaganda Barat menjadi seimbang, umat Islam harus memiliki kekuatan politik. Tanpa kekuatan politik, umat Islam akan terus menerus menjadi korban, bulan-bulanan dan sasaran Barat. Kekuatan politik Islam yang akan dapat mengimbangi bahkan mengalahkan hegemoni Barat adalah Khilafah Islam. Karena itu umat Islam harus fokus dan serius memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam.

Penutup

Barat dengan Ideologi Kapitalismenya akan terus berupaya memerangi Islam dan kaum Muslim. Setelah isu terorisme yang belakangan tidak lagi laku dijual, kini mereka membuat brand baru, yakni “radikalisme”. Namun, pergeseran isu tersebut hanyalah “rebranding” belaka, yakni  hanya membuat nama baru, tanpa mengubah esensinya, yakni perang melawan Islam! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 + 10 =

Back to top button