Analisis

Perang Melawan Terorisme: Agenda AS

Donald Trump tweeted: “The threat from radical Islamic terrorism is very real, just look at what is happening in Europe and the Middle-East. Courts must act fast!” (Washingtonpost.com, 22/05/2017).

Pada masa kepemimpinan Donald Trump, proyek besar AS global war on terrorism (GWOT) diperkirakan akan semakin keras. Sejak masa kampanyenya, Trump memang menjanjikan bahwa di antara bagian program utamanya adalah meningkatkan upaya memerangi terorisme. Bahkan dia mengkritik Obama sebagai pemimpin AS yang sangat lemah dalam menjalankan proyek GWOT.

Trump juga lebih memperjelas target GWOT adalah gerakan Islam. Seperti yang dilansir oleh Washingtonpost di atas, Trump secara tegas melalui Twitter menyatakan tentang adanya ancaman nyata dari ‘radical Islamic terrorism’. Karena itu menurut dia, perlu aksi cepat untuk menghadapinya.

Istilah ‘radical Islamic terrorism’ ini merupakan frase yang sering dipakai Trump ketika menyinggung masalah terorisme. Misalnya pada saat pidato pelantikannya, Trump mengatakan bahwa ia akan memperkuat aliansi lama dan membentuk aliansi baru serta menyatukan dunia beradab melawan terorisme Islam radikal. Secara sangat arogan dia juga menyatakan akan membasmi terorisme Islam radikal secara menyeluruh dari muka bumi.

 

AS Makin Bernafsu

Di bawah komando Trump, ke depan AS akan semakin memperkuat dan memperluas proyek GWOT. Sebagaimana dilansir Consortiumnews.com (26/04/2018), Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS kini sedang menyiapkan rancangan undang-undang baru terkait The Authorization to Use Military Force (AUMF).

Inti RUU tersebut adalah pemberian otoritas yang lebih besar kepada Presiden Trump dalam penggunaan kekuatan militer. Sebelumnya otoritas tersebut ada di tangan Kongres AS. Jika nanti RUU itu disahkan maka Trump bisa menggerakkan militer perang AS di mana pun dan kapan pun yang dia inginkan tanpa perlu persetujuan Kongres.

Sebagaimana diketahui, kongres AS pada tahun 2001 dan 2002 mengeluarkan AUMF masing-masing untuk invasi terhadap Afganistan dan Irak. Meskipun otoritas ini terbatas, George Bush, Barack Obama dan dilanjutkan oleh Donald Trump terus melakukan operasi militer di Afganistan dan Irak hingga saat ini. Bahkan Trump kini memperluas invasi militernya ke Suriah.

Pada draft AUMF 2018 tersebut tidak ada lagi batasan waktu operasi militer sehingga bisa terus berlanjut selama menurut AS di tempat itu masih ada ancaman. Jelas ini strategi AS untuk melanggengkan invasi militernya di suatu negara. Dalihnya adanya ancaman tentu sangat mudah untuk dicari sebagai pembenarannya.

Dulu George W Bush menjadikan momentum WTC 9/11 pada 2001 itu sebagai legalitas untuk menebar ancaman ke seluruh dunia melalui proyek GWOT. Dia secara arogan saat itu memaksa setiap negara untuk berada bersama AS. Negara yang menolak akan dikategorikan sebagai pendukung teroris (either you are with us or you are with the terrorists).

Apabila mencermati fakta GWOT sejak Bush, Obama hingga Trump saat ini terlihat dengan jelas bahwa terdapat agenda kepentingan AS di dalamnya. Beberapa di antaranya adalah untuk menjaga dominasi AS sebagai pimpinan Kapitalisme di dunia, legitimasi imperialisme dan mencegah kebangkitan Islam.

 

Menjaga Dominasi Kapitalisme

Pasca Blok Timur (Komunisme) pimpinan Uni Soviet runtuh, kekuasaan dunia secara politik ada di tangan Blok Barat (Kapitalisme) pimpinan AS. Untuk menjaga dominasinya di dunia, AS perlu membuat proyek politik global. Proyek ini  bisa digunakan untuk menekan dan menghukum suatu negara yang tidak tunduk pada AS. Proyek tersebut tidak lain adalah GWOT.

Robert Gilpin, analis politik dari Princeton University AS, pernah menyoroti GWOT tersebut dalam kaitannya dengan upaya AS untuk mendominasi dunia. Dia mempublikasikan hasil analisisnya itu di International Relations Journal Tahun 2005 Vol 19(1) dengan judul, “War is Too Important to Be Left to Ideological Amateurs”.

Menurut Gilpin, proyek GWOT diarsiteki oleh kelompok ultranationalists atau imperialist-elite yang mendominasi pemerintahan Bush saat itu. Di antaranya adalah Wapres Richard Cheney, Menhan Donald Rumsfeld dan seorang pejabat tinggi di Kementrian Dalam Negeri John Bolton. Tujuan utama mereka adalah mempertahankan dominasi AS di dunia dan mencegah munculnya kekuatan lain yang membahayakan supremasi AS.

Gilpin menambahkan bahwa rencana mencapai dominasi global tersebut sebenarnya telah dirancang AS sejak masa Ronald Reagan. Kemudian pada masa Bush kembali ditegaskan dalam draft: Cheney–Wolfowitz Doctrine. Salah satu isi dokrin tersebut adalah pemakaian kekuatan militer AS untuk mencegah bangkitnya kekuatan lain di dunia.

Faktanya memang mudah dilihat. Di bawah payung GWOT, AS bertindak seakan polisi dunia. AS bisa menghukum negara manapun di dunia melalui invasi militer dengan alasan negara tersebut mendukung atau menjadi poros terorisme.

 

Legitimasi Imperialisme

Imperialisme atau penjajahan merupakan metode dasar penyebaran ideologi Kapitalisme. Seperti disebutkan di atas, AS telah menjadikan GWOT sebagai alat untuk mendominasi dunia di bawah ideologi Kapitalismenya. Itu berarti juga AS akan mencengkeram dunia dalam imperialismenya yang dilegitimasi oleh GWOT.

Pada Cheney–Wolfowitz Doctrine juga disebutkan bahwa AS harus melakukan penguasaan terhadap cadangan minyak dunia, baik di Timur Tengah, Asia Tengah maupun di tempat lainnya. Gilpin (2005) menyatakan bahwa jika dikaitkan dengan latar belakang para tokoh ultranasionalis yang merancang GWOT akan semakin jelas bahwa konsep imperialisme ada di balik perang melawan terorisme.

Tokoh ultranasionalis yang dimaksud Gilpin itu adalah Bush, Cheney, Rumsfeld, Wolfowitz, Rice dan beberapa tokoh lain dalam pemerintahan Bush saat itu. Mereka memiliki saham di berbagai perusahaan minyak. Faktanya, perang melawan terorisme telah menjatuhkan korban sangat banyak, baik warga sipil di Irak, Afganistan, Pakistan, atau di tempat-tempat lain. Pada saat yang sama, perang itu memberikan keuntungan raksasa bagi kaum kapitalis. Mereka telah meraup untung dari pengontrolan kilang-kilang minyak dan gas di Irak dan Afganistan.

Ketika perang terus berlanjut, pabrik-pabrik senjata akan terus berproduksi dan terus mendapatkan pasar, perusahaan keamanan privat terus mendapatkan order, dan perusahaan pembangunan infrastruktur terus mendapat kontrak pembangunan (rekonstruksi) di negara-negara bekas perang. Perusahaan minyak juga mengambil keuntungan besar karena harga minyak yang cenderung naik pesat bila perang di Timur Tengah meletus.

Afganistan merupakan poros strategis di Asia Tengah yang berbatasan dengan Uni Soviet, Cina dan Iran. Negara itu juga berada di persimpangan jalur pipa dan cadangan gas, mineral serta minyak yang sangat besar dan belum dimanfaatkan. Menurut sebuah laporan bersama Pentagon yang dipublikasikan oleh New York Times, Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) dan USAID, Afganistan saat ini memiliki cadangan mineral yang sebelumnya tidak diketahui dan belum dimanfaatkan. Jumlahnya diperkirakan bernilai satu triliun dollar (U.S. Identifies Vast Mineral Riches in Afghanistan, NYTimes.com, 14 Juni 2010).

Pada laporan itu juga disebutkan mengenai hasil analisis pejabat Pentagon yang menunjukkan bahwa di satu lokasi di Provinsi Ghazni, Afganistan, terdapat potensi simpanan mineral lithium setara dengan yang ada di Bolivia. Lithium merupakan sumberdaya yang saat ini semakin bernilai untuk digunakan sebagai baterai telpon selular dan laptop serta sebagai kunci masa depan untuk mobil listrik.

 

Mencegah Kebangkitan Islam

Perang peradaban antara Islam dan Kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan yang mesti terjadi. Ini sebagaimana diramalkan oleh Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). Pasca runtuhnya ideologi Komunisme Uni Soviet, Islam menjadi satu-satunya ancaman bagi AS dan sekutunya dalam mewujudkan ideologi Kapitalismenya. Huntington menyatakan, “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”

Dalam upaya mewujudkan itu, AS memerlukan sebuah langkah strategis yang bersifat global. Itu terwujud melalui momentum WTC 9/11 yang kemudian melahirkan proyek GWOT. Melalui GWOT, AS telah mengeluarkan dekrit perang global terhadap terorisme. Secara spesifik disebutkan Alqaeda, kelompok Islam ekstrem radikal serta segala sesuatu yang dapat mengancam kepentingan AS secara politik dan ekonomi.

AS di bawah Trump diperkirakan akan semakin kuat mengarahkan GWOT menjadi perang melawan Islam. Washingtonpost (18/07/2017) memuat tulisan analisis yang berjudul “Samuel Huntington, a Prophet for the Trump Era”. Tulisan itu menggambarkan politik luar negeri Trump saat ini, yang memang secara tegas menunjukkan anti-Islam mengikuti tesis Huntington.

Trump memilih John Bolton sebagai penasihat keamanan nasional. Seperti diketahui John Bolton adalah pemimpin sebuah organisasi yang sering mengeluarkan pendapat sinis tentang Islam dan imigran Muslim. Dia juga memiliki hubungan dekat dengan aktivis anti-Muslim di AS. Trump juga memutuskan memilih Mike Pompeo, Direktur CIA, sebagai menteri luar negeri, menggantikan Rex Tillerson. Pompeo pernah menuduh para pemimpin Muslim AS sebagai pihak yang berpotensi terlibat dalam serangan teroris.

Jurnalis Nahal Toosi di harian Politico menyatakan bahwa Bolton dan Pompeo sekarang akan bekerja untuk Presiden Trump yang telah menuduh tanpa bukti bahwa Muslim AS ikut merayakan serangan 9/11 (Politico.com, 26/03/2018). Mereka bertiga dikenal sebagai aktivis anti-Muslim sehingga kebijakan politik mereka mudah ditebak ke mana arahnya.

Jadi isu terorisme dalam wadah GWOT sejatinya digunakan oleh AS untuk menghadang kebangkitan Islam. Kebangkitan ini akan ditandai dengan tegaknya Kekhilafahan Islam. Itu terungkap dalam dokumen-dokumen milik Pemerintah AS. Misalnya dalam dokumen ‘Mapping Global Future’ disebutkan bahwa National Intelegence Council (NIC) ketika tahun 2004 sudah membuat prediksi situasi yang akan terjadi pada tahun 2020.

NIC menilai, ada empat skenario yang kemungkinan akan terjadi di dunia. Salah satu skenario tersebut adalah berdirinya kembali Khilafah Islamiyah sebagai pemerintahan Islam global. Khilafah akan mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat di bawah pimpinan AS.

Kesadaran Barat terhadap ancaman ideologi Islam dalam sistem Khilafah itu dapat pula dilihat dari berbagai pernyataan para pemimpin Barat sendiri. Presiden George W. Bush (Jr) pada tahun 2006 pernah mengatakan, “This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East, and Southeast Asia.” (Khilafah ini akan menjadi imperium Islam yang totaliter yang akan melintasi negeri-negeri Muslim kini dan dulu, membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tenggara) (www.theinevitablecaliphate.com).

Kekhawatiran Barat terhadap Khilafah inilah yang melatarbelakangi serangkaian konspirasi, strategi dan kebijakan politik luar negeri mereka untuk mencegah Khilafah berdiri kembali. Tentu Barat sadar, jika Khilafah berdiri dan mempersatukan umat Islam sedunia dengan segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki, maka hegemoni dan kepentingan Barat di dunia akan runtuh.

 

Membangun Kesadaran Umat

Perang melawan terorisme di bawah proyek GWOT yang dikomandani AS sejatinya adalah perang melawan Islam. Tentu GWOT ini bukan untuk kepentingan negeri Muslim, tetapi untuk kepentingan negara-negara penjajah. Memang, mereka berdalih bahwa GWOT itu demi melindingi keamanan negeri Muslim dari bahaya aksi terorisme. Namun, untuk menghindari konflik terbuka dengan umat Islam mereka melakukannya dengan dua pendekatan. Pertama: Mereka tidak melakukan serangan langsung terhadap Islam. Mereka menyamarkannya dengan perang melawan terorisme, radikalisme, fundamentalisme, atau berbagai ungkapan kamuflase lainnya. Pasalnya, kalau mereka menyatakan secara terbuka perang melawan Islam tentu akan memunculkan reaksi dari seluruh umat Islam di dunia. Hal seperti itu sangat tidak diinginkan oleh mereka untuk terjadi.

Kedua: Mereka meminjam tangan orang Islam untuk berperang melawan orang Islam lainnya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan membuktikan kepada mereka bahwa berperang secara langsung dengan umat Islam sangat berat. Pasalnya, perlawanan umat Islam di negeri tersebut tidak mudah ditundukkan.

Mereka kemudian membentuk pemerintahan boneka di Irak dan Afganistan untuk memerangi rakyatnya sendiri. Hal seperti itu pulalah yang mereka terapkan pada negeri-negeri Muslim lainnya. Penguasa negeri tersebut diarahkan untuk memerangi rakyatnya sendiri yang Muslim dengan dalih perang melawan terorisme, radikalisme dan fundametalisme. Upaya itu sekaligus untuk menutupi fakta terorisme yang telah dilakukan AS di berbagai negeri Muslim.

Penyesatan opini yang mereka lakukan itu harus dihadapi oleh umat Islam melalui aktivitas dakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Dengan begitu nantinya masyarakat paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya Khilafah, merupakan rahmat dari Allah SWT, bukan keburukan sebagaimana yang dipropagandakan oleh mereka. Dakwah Islam bersifat fikriyah (pemikiran) dan ‘unfiyah (tanpa kekerasan) sehingga tidak mungkin melahirkan terorisme.

Perlu pula dijelaskan bahwa ancaman sesungguhnya bagi negeri-negeri Muslim adalah sistem kapitalisme-liberalisme. Terbukti berbagai kerusakan di bidang ekonomi, hukum, sosial dan politik yang terjadi di negeri-negeri Muslim justru bersumber pada penerapan sistem kapitalisme ini. Proyek GWOT adalah sarana bagi AS untuk mempropagandakan kapitalisme-liberalisme di negeri-negeri Muslim. Itu bagian strategi AS untuk semakin memperkuat cengkeraman imperialismenya.

Sebagai catatan akhir, faktanya saat ini justru ada peningkatan kesadaran umat Islam di berbagai negeri Muslim. Itulah kesadaran untuk menegakkan kembali syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah. Apabila kesadaran tersebut makin menguat dan meluas maka tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi AS.  Sebabnya, Khilafah tidak hanya menjadi pertanda berakhirnya imperialisme AS di negeri Muslim, namun juga menjadi pertanda runtuhnya peradaban kapitalisme-liberalisme di dunia.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Kusman Sadik]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 + fourteen =

Back to top button