Fokus

Di Balik Perang Melawan Terorisme dan Radikalisme

Babak baru perang melawan terorisme dan radikalisme dimulai oleh Pemerintah setelah tanggal 25 Mei lalu DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Terorisme. Pemerintah merasa perlu untuk segera meloloskan revisi UU Terorisme pasca kerusuhan di Mako Brimob Depok dan ledakan bom di sejumlah kota di Tanah Air pada bulan Mei lalu. Bahkan Presiden RI Jokowi menegaskan akan mengeluarkan Perppu soal terorisme bila DPR tak segera ketok palu untuk revisi UU Terorisme. Akhirnya, pengesahan revisi UU itu berjalan mulus meski hanya dihadiri 99 orang dari 560 anggota dewan.

DPR yang mengesahkan Undang-Undang Terorisme ini berjanji bila konten dalam undang-undang ini lebih baik dan melindungi kepentingan publik. Dalam revisi Undang-Undang ini setidaknya ada 15 poin yang direvisi dalam UU Terorisme. Ke-15 poin itu termaktub dalam 5 bab baru di UU Terorisme, yakni bab terkait pencegahan, bab terkait korban aksi terorisme, bab kelembagaan, bab pengawasan dan peran TNI. Khusus terkait pencegahan, ada empat pasal baru yang ditambahkan, yakni pasal 43A, 43B, 43C dan 43D.

Selain ada hukuman yang lebih berat kepada teroris yang mempergunakan anak-anak, juga diyakini lebih ‘tajam’ karena menggunakan sistem relasi untuk menjerat jaringan teroris. Misalnya disebutkan bahwa seseorang bisa dijerat terlibat melakukan aksi terorisme bila “Memiliki hubungan dengan kelompok yang dengan sengaja menghasut untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.” Para pelaku terorisme juga diancam akan dicabut kewarganegaraannya.

DPR juga meyakini bila revisi ini lebih baik karena ada tim pengawas yang berperan untuk mengevaluasi bila terjadi abuse of power dalam penindakan aksi terorisme. Selain itu juga dihilangkan pasal ‘Guantanamo’, yakni penahanan terduga terorisme di tempat yang tidak diketahui publik.

 

Spirit Islamophobia?

Apakah pengesahan UU Terorisme bisa lepas dari spirit islamphobia yang akan berdampak pada pendiskreditan terhadap agenda dakwah Islam bahkan ajaran Islam? Tampaknya pandangan itu justru akan terus menjadi mindset penindakan teroris di Tanah Air, bahwa terorisme itu berakar dari radikalisme Islam. Hal itu bisa disimak dari berbagai pernyataan eksekutif negara, sebagian legislatif dan aparat penegak hukum khususnya BNPT yang berulang menegaskan hal demikian.

Radikalisme yang dimaksud juga mengalami perluasan, bukan sekadar ditujukan pada aliran jihadis dan takfiri (sikap mengkafirkan pemerintah dan orang lain). Radikalisme juga mulai diarahkan pada kelompok Islam yang dipandang punya sikap intoleran—seperti menolak pemimpin kafir, menolak aliran seperti Ahmadiyah—ditambahkan  lagi kelompok yang memperjuangkan syariat Islam dan Khilafah. Abdullah Daraz dari Maarif Institute menyatakan bahwa jihad bukan satu-satunya terminologi yang suka disalahtafsirkan oleh kaum radikal, tetapi juga kata khilafah yang menimbulkan fanatisme buta (Bbc.com,17/05/2018).

Hal senada juga dilontarkan Setara Institute, “Terorisme itu bertingkat. Tidak serta-merta seseorang jadi teroris. Tangga pertama adalah intoleransi,” ujar Direktur Riset Setara Institute Halili dalam diskusi Polemik di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (Kompas.com, 19/5/2018).

Pernyataan-pernyataan serupa banyak dilontarkan sejumlah kalangan, khususnya dari kalangan Pemerintah, aparat keamanan khususnya BNPT, tokoh-tokoh LSM dan media massa mainstream. Ini menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran tembak perang melawan terorisme tetap kelompok Islam.

Ini tidaklah mengejutkan. Pemantik awal perang melawan terorisme di Tanah Air memang Bom Bali pada tahun 2002. Namun, secara global War On Terorism (WOT) adalah arahan AS pasca serangan menara kembar WTC 11 September 2001. Publik tidak akan lupa bagaimana pidato Presiden AS George Bush senior yang terkenal dengan frase “you’re either with us or againts us (bersama kami atau melawan kami)”. Ini menunjukkan, di tangan AS-lah komando perang melawan terorisme.

Kelompok masyarakat yang menjadi target serangan WOT adalah umat Muslim. Di AS sendiri, dengan payung hukum Patriot Act, Pemerintah AS memata-matai warganya sendiri, khususnya melakukan pengawasan ketat dan mengirim intel ke kantong-kantong warga Muslim di AS seperti mesjid dan Islamic Centre.

Bukti bahwa AS menjadikan kelompok Islam sebagai sasaran operasi memerangi terorisme adalah operasi militer AS ke Afganistan pada 7 Oktober 2001. Afganistan dituding menjadi markas al-Qaeda dan melindungi pimpinannya saat itu, Osama bin Laden. Operasi militer AS bersama pasukan koalisi berlanjut ke Irak pada 20 Maret 2003. Tujuannya untuk menjatuhkan Saddam Husain yang dituduh memiliki senjata kimia pemusnah massal.

Faktor lain yang menguatkan agenda operasi melawan terorisme dan radikalisme Islam adalah rangkaian peristiwa menjelang dan setelah Pilkada DKI lalu. Untuk pertama kali di negeri ini, jutaan Muslim bersatu dalam Aksi 411 dan 212. Aksi massa itu menolak pemimpin kafir dan menuntut hukum atas penistaan agama yang dilakukan Gubernur petahana DKI Basuki Tjahja Purnama. Aksi besar ini berujung pada kalahnya Basuki atau Ahok meski saat itu kubu Ahok disokong penguasa, aparat dan sejumlah konglomerat. Peristiwa ini dipandang sebagian orang sebagai ancaman terhadap demokrasi-sekularisme.

Setelah itu isu ancaman radikalisme Islam semakin kencang ditiupkan. Kubu Ahok menuding kelompok radikal seperti HTI dan FPI berada di balik kekalahan Ahok. Isu intoleransi, anti-Pancasila, anti kebhinekaan, SARA, radikalisme, terus digaungkan. Tujuannya agar publik mengasosiasikan semangat politik Islam dengan ancaman terhadap negara.

Sebelum pengesahan Undang-Undang Terorisme, Pemerintah berkali-kali menyatakan perang terhadap apa yang mereka sebut radikalisme Islam. Yang dimaksud adalah orang-orang yang mengajarkan sikap intoleran dan menyuarakan kewajiban penerapan syariah Islam dan Khilafah Islam.

Sebagai respon, Majelis Ulama Indonesia mengingatkan Pemerintah agar tidak mengaitkan aksi terorisme dengan Islam. Sekjen MUI, Anwar Abbas, dalam pernyataannya mendesak Kepolisian dan juga media tidak buru-buru mengaitkan kasus radikalisme dan terorisme dengan agama Islam. “Kami berharap kepada pihak Kepolisian dan media dalam menangani dan menghadapi masalah, terutama yang terkait dengan masalah kriminal, radikalisme dan terorisme, agar jangan cepat-cepat mengaitkan para pelakunya dengan agama Islam meskipun mereka beragama Islam,” ungkapnya.

Menurut Anwar, hal itu mestinya tidaklah sulit untuk dilakukan. “Karena saya lihat pihak Kepolisian dan media juga bisa tidak mengait-ngaitkan masalah yang ditimbulkan oleh orang Kristen, misalnya, dengan agama Kristen, atau oleh orang Hindu dengan agama Hindu yang dianut oleh pelakunya.”

Selama ini, hampir di seluruh dunia, terutama di Barat, aksi terorisme selalu dikaitkan dengan Islam dan tidak pernah dengan agama lain atau ras kulit putih. Di AS, beberapa kali terjadi penembakkan massa yang dilakukan oleh warga kulit putih. Pemerintah AS, juga media massa di Amerika, tidak pernah melabeli pelaku dengan sebutan ‘teroris’, hanya disebut gunman.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sudah berkali-kali menakut-nakuti warga, menculik, bahkan membunuh warga dan aparat, juga tak pernah dikategorikan sebagai kelompok teroris. Juga tak pernah disebut agama mereka, Kristen. Aparat dan media massa mainstream nasional seolah sepakat menyebut mereka sebagai ‘kelompok bersenjata’. Persis dengan gaya Pemerintah AS dan media massa di sana. Padahal bila ditilik dari UU Terorisme, aksi yang dilakukan OPM harusnya masuk kategori terorisme karena telah jelas mengganggu keamanan publik dan bermotif politik, yakni separatisme.

Alhasil, perang melawan terorisme dan radikalisme jelas ditujukan kepada kalangan Islam.

 

Perppu dan UU Terorisme

Berbagai langkah mulai disusun untuk melancarkan agenda perang melawan terorisme dan radikalisme. Pertama, mengesahkan UU Terorisme, UU Ormas dan penindakan terhadap kelompok Islam radikal. Langkah awal memerangi gerakan Islam radikal adalah mencabut Badan Hukum Publik (BHP) Hizbut Tahrir Indonesia. Ironinya, pencabutan BHP milik HTI dilakukan dengan mengeluarkan Perpu Ormas, yang menabrak sejumlah aturan administrasi. Tudingan yang dilontarkan, HTI mengusung ideologi Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.

Setelah itu semua instansi Pemerintah mulai melakukan penyisiran terhadap PNS maupun tenaga kerja honorer yang terindikasi mengusung Islam radikal, khususnya yang berafiliasi kepada HTI. Kampus-kampus negeri maupun swasta mulai membersihkan dosen dan guru besar yang dituduh terlibat. Ada yang diberi peringatan sampai diberhentikan sementara. Sejumlah kampus negeri juga mengancam akan memberhentikan mahasiswanya yang terlibat dalam gerakan Islam radikal.

Sebagai bagian dari melawan radikalisme, pada bulan Ramadhan ini, Pemerintah melalui Kemenag merilis nama 200 mubalig yang direkomendasikan oleh Pemerintah untuk menjadi narasumber bagi masyarakat. Rilis nama ini dilakukan agar publik membatasi ruang gerak para mubalig yang dicurigai kerap mengajarkan ‘radikalisme Islam’. Ironinya, dalam daftar nama itu tercantum sejumlah nama yang sudah dikenal sebagai bagian jaringan Islam Liberal.

 

Taktik Belah-Bambu

Langkah kedua yang dilakukan Pemerintah untuk memerangi radikalisme adalah melakukan operasi belah-bambu. Pemerintah menggelar karpet merah untuk kelompok Islam moderat dan liberal sambil mendiskreditkan tokoh-tokoh dan kelompok yang dikategorikan sebagai pendukung radikalisme Islam. Kelompok Islam moderat dan liberal juga menjadi media darling untuk sejumlah media massa mainstream. Mereka selalu mendapat tempat untuk menjadi narasumber.

Sejumlah kegiatan pengajian yang dilakukan oleh para mubalig yang dianggap pro radikalisme berulang dijegal. Ada yang dipersekusi oleh segelintir massa dari ormas tertentu. Ada juga yang dilarang sampai dibubarkan oleh aparat keamanan. Dalihnya, pembicaranya berasal dari kalangan anti-NKRI dan anti-Pancasila. Menghadapi aksi persekusi semacam itu, aparat bersikap ambigu. Ada kesan pembiaran. Bahkan dalam sejumlah agenda tablig, dengan dalih menjaga keamanan, aparat malah ikut membubarkan ketimbang mengamankan pelaku persekusi.

Rilis nama 200 mubalig yang dikeluarkan oleh Kemenag juga menandakan like and dislike Pemerintah terhadap sebagian mubalig. Publik mempertanyakan kriteria yang digunakan Kemenag serta ormas Islam serta tokoh Islam mana yang memberikan rekomendasi tersebut. Pasalnya, nama-nama mubalig yang disukai publik serta memiliki kapasitas dan kredibilitas keilmuan justru tidak disertakan dalam daftar mubalig versi Kemenag. Lagi-lagi Pemerintah memeragakan kebijakan yang berpotensi menjadi belah-bambu terhadap umat.

 

Kriminalisasi Ajaran Islam

Perang terhadap radikalisme bukan hanya ditujukan kepada person atau kelompok tertentu. Perang ini juga dilakukan terhadap sejumlah ajaran Islam. Taktik yang dilakukan adalah menciptakan kriminalisasi dan monsterisasi terhadap syariah Islam, jihad dan khilafah. Sudah sejak lama Barat mendiskreditkan jihad sebagai pemicu terorisme. Apalagi kemudian media massa Barat kerap mem-blow up aksi pengeboman yang terjadi sebagai aksi jihad kelompok ekstrem. Aparat dan media massa juga kerap menyebut pelaku aksi pengeboman itu sebagai kaum jihadis untuk mengaburkan makna jihad yang sesungguhnya. Padahal hukum fikih tentang jihad berbeda dengan aksi pengeboman. Hanya saja, fakta hukum yang benar tidak pernah disampaikan kepada publik. Hal ini menguatkan citra bahwa jihad adalah ajaran yang kejam dalam syariah Islam. Untuk selanjutnya terjadi pembelokan makna jihad dari pengertian sebenarnya ke makna lain, seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad ekonomi, dsb.

Barat juga mulai melakukan kriminalisasi dan monsterisasi terhadap ajaran kekhilafahan. Bukan saja dengan memanipulasi opini tentang hukum khilafah, Barat—dalam hal ini AS—diduga kuat membidani kelahiran ISIS. Dalam video wawancara dengan reporter Fox News, Hillary Clinton menyebut bahwa AS memiliki kepentingan sangat besar di Asia Tengah, kawasan yang dua dekade lalu dikuasai Uni Soviet. “When the Soviet Union invaded Afghanistan we had this brilliant idea were going to come to Pakistan and create a force mujahedeen and equip them with stinger missiles and everything else to go after the Soviets inside Afghanistan.”

Pernyataan Hillary ini sama dengan apa yang ia sampaikan di hadapan rapat Pemerintah dengan Senat Amerika Serikat. Dalam rapat tersebut Hillary menyebut hubungan AS dengan Afganistan, Taliban, Mujahidin, ISIS dan gerakan radikal lain. Rapat ini disiarkan secara langsung di CNN.

Praktik-praktik kejam yang diperagakan ISIS terhadap tawanan kemudian diekspos ke berbagai media massa, termasuk media sosial. Hal ini kemudian menjadi momok bagi masyarakat dunia, termasuk kaum Muslim sekaligus menjadi komoditi agenda perang melawan radikalisme.

Setelah itu berbagai kalangan selalu mencoba mengaitkan kewajiban penegakan Khilafah dengan aksi terorisme. Mereka mencoba membangun opini publik bahwa seruan penegakan Khilafah mengharuskan aksi kekerasan terhadap pemerintah dan publik.

 

Meluruskan Pandangan

Di tengah derasnya opini dan langkah perang melawan radikalisme dan terorisme, umat justru membutuhkan penjelasan yang jernih tentang syariah Islam, Islam politik, Khilafah dan jihad. Tentu agar tidak terjadi monsterisasi terhadap ajaran Islam yang berujung pada phobia terhadap hukum-hukum Allah SWT.

Sejatinya syariah Islam adalah rahmat bagi semesta alam, baik itu perkara jihad maupun kewajiban penegakkan Khilafah. Kekhilafahan yang pernah eksis selama dua belas abad telah memayungi dunia dengan hukum yang adil dan mensejahterakan manusia. Spanyol saat berada dalam kekuasaan kaum Muslim dikenal sebagai negara damai bagi tiga agama; Islam, Yahudi dan Nasrani.

Khilafah Islam pun berulang memberikan bantuan kemanusiaan kepada sejumlah kerajaan Kristen Eropa. Pada tahun 1845-1852 M seantero Eropa mengalami kelaparan hebat yang dikenal dengan The Great Hunger atau The Great Irish Famime. Kala itu Khalifah Abdul Majid I mengirim bantuan berupa 1000 sterling serta tiga kapal besar memuat makanan, sepatu dan keperluan warga lainnya.

Yang banyak tak diketahui publik, pada tahun 1492 Sultan Bayezid II dari Khilafah Utsmaniyah menyelamatkan 150 ribu pengungsi Yahudi dari ancaman inkuisisi di Spanyol. Sultan Bayezid memerintahkan agar kapal yang membawa pengungsi dievakuasi ke tanah Khilafah Utsmanisyah. “Mengurus keturunan Nabi Ibrahim dan Yakub adalah perintah Allah,” kata beliau kala itu. Bahkan Sultan memerintahkan bawahannya agar memberikan makanan dan pakaian layak bagi para pengungsi Yahudi tersebut.

Nah, apakah yang seperti ini yang disebut sebagai ancaman kemanusiaan? [Iwan Januar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 + nine =

Back to top button