Fikih

Bolehkah Ayah Memaksa Putrinya Menikah Dengan Pria Yang Tidak Dia Sukai?

Soal:

Apakah boleh dilangsungkan pernikahan, sementara si gadis tidak rela dengan pernikahan itu? Bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dalam kondisi akad pernikahan itu telah dituliskan (didokumentasikan secara tertulis/dicatatkan secara resmi), tetapi belum terjadi persenggamaan hingga sekarang? Saya bukannya dipaksa untuk tanda tangan, tetapi saya diberitahu bahwa laki-laki yang mengkhitbah atau pengantin laki-laki sudah ada di depan pintu dan saya (terpaksa) setuju. Namun, saya merasa bahwa saya berada di bawah tekanan dan paksaan untuk menerimanya.

 

Jawab:

Berkaitan dengan kasus ini, kami telah menyebutkan di dalam Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ’i bab “Az-Ziwâj”, sebuah hadis Rasul saw. seputar topik ini, sebagaimana penuturan Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, yang berkata:

جَاءَتْ فِتَاةٌ إِلَى رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : إِنَّ أَبِي زَوَّجَني ابنَ أَخيهِ لِيَرْفَعَ بي خَسيسَتَهُ. قال: فَجَعَلَ الأمرَ إِلَيْهَا. فقالتْ : قد أَجَزْتُ ما صَنَعَ أبي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أُعْلِمَ النساءَ أنْ ليسَ إلى الآبَاءِ مِنَ الأمْرِ شيءٌ

Pernah ada seorang gadis datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “Ayah saya mengawinkan saya dengan putra saudara laki-lakinya untuk menaikkan derajatnya.” Buraidah berkata: Lalu Rasulullah saw. menyerahkan sepenuhnya perkara itu kembali kepada gadis itu. Gadis itu berkata, “Saya telah memperbolehkan apa yang diperbuat ayah saya, tetapi saya ingin memberitahu para wanita bahwa ayah tidak memiliki wewenang sedikitpun atas perkara itu.” (HR Ibnu Majah).

 

Dinyatakan di dalam  Mishbâh az-Zujâjah fî Zawâid Ibni Mâjah karya Abu al-‘Abbas Syihabuddin al-Bushiri al-Kinani asy-Syafi’i (w. 840 H), “Hadis ini sanad-nya shahih, para perawinya tsiqah.”

Berdasarkan hal itu ayah si gadis wajib mengambil persetujuan gadis itu, dan ia harus  meyakinkan/menegaskan persetujuan dari yang diminta izinnya itu, agar ijab dan qabul itu berlangsung dengan keridhaan dan pilihan sendiri.

Kami telah menjelaskan hal itu secara gamblang di dalam Kitab An-Nizham al-Ijtimâ’iy bab “Az-Ziwâj”. Di situ dinyatakan:

 

Jika seorang wanita di-khitbah, hanya dialah yang memiliki hak dalam menerima atau menolak perkawinan itu. Tidak seorang pun di antara para walinya, tidak pula yang lain, berhak mengawinkan wanita itu tanpa izin darinya. Mereka juga tidak berwenang memaksa wanita itu dengan perkawinan itu.

 

Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتأْذَنُ في نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Seorang gadis diminta izin atas dirinya dan izinnya adalah diamnya (HR Muslim).

 

Abu Hurairah ra. juga berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ . قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ  تَسْكُتَ

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai diminta perintahnya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sampai diminta izinnya.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, “Dia diam saja.” (Muttafaq ‘alayh).

 

Ibnu ‘Abbas ra.  juga bertutur:

أَنْ جَارِيَةً بِكْراً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنْ أبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرها النّبيُّ صلى الله عليه وسلم

Seorang gadis pernah datang kepada Rasulullah saw. Lalu dia menyebutkan bahwa bapaknya telah mengawinkan dirinya, sementara dia tidak suka. Lalu Nabi saw. memberi dia pilihan (Antara menerima atau menolak, red.) (HR Abu Dawud).

 

Khansa‘ binti Khidam al-Anshariyah juga bertutur:

أَنْ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ  رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم فَرَدَّ نِكَاحَهَا

Ayahnya mengawinkan dia, sementara dia seorang janda dan dia tidak suka hal itu. Lalu dia datang kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian membatalkan pernikahannya (HR al-Bukhari).

 

Hadis-hadis ini gamblang bahwa seorang wanita, jika tidak mengizinkan pernikahannya, maka perkawinan itu tidak terjadi. Jika dia menolak perkawinan ini atau dia dinikahkan, sementara dia tidak suka, maka akadnya di-fasakh (dibatalkan) kecuali jika dia kembali dan rela.

Anda melihat teks yang jelas dalam masalah ini dengan apa yang kami sebutkan di atas. Saya ulangi, hadis-hadis ini gamblang bahwa seorang wanita jika tidak mengizinkan pernikahannya, maka perkawinan itu tidak terjadi. Jika dia menolak perkawinan ini atau dia dinikahkan, sementara dia tidak suka, maka akadnya di-fasakh (dibatalkan), kecuali jika dia kembali dan rela.

WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah: 14 Jumada al-Akhirah 1441 H/08 Februari 2020 M]

 

Sumber:

Http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/65753.html

Https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/1269834156546986/?type=3&theater&_rdc=1&_rdr

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 + fourteen =

Back to top button