Fikih

Bolehkah Barang Yang Telah Dibeli Dijadikan Sebagai Agunan?

Soal:

Ada formula penjualan berikut:  Penjualan mobil dengan pembayaran sebagian dari harganya, sementara sisanya diangsur menggunakan cek pribadi, tetapi penjual mensyaratkan tidak melepaskan mobil itu kecuali setelah pembeli menerima nilai cek angsuran terakhir. Apakah yang demikian itu dinilai halal atau tidak?

 

Jawab:

Tidak boleh penjual meminta rumah yang dia jual untuk dijadikan agunan (jaminan)  setelah sempurna akad penjualannya secara kredit itu, sebab ini jatuh dalam bab ‘mengagunkan rumah karena sebagian harganya yang belum dibayar’. Perkara ini diperselisihkan di antara para fukaha. Sebagian ada yang memperbolehkannya dengan sejumlah syarat. Sebagian lain tidak memperbolehkannya. Ada juga yang memperbolehkannya dalam satu kondisi dan tidak memperbolehkannya dalam kondisi lainnya. Ada pula yang berpendapat lainnya.

Yang saya rajih (kuat)-kan bahwa ini tidak boleh. Pasalnya, mobil atau rumah, ketika dibeli secara kredit atau dengan angsuran, sepenuhnya menjadi milik pembeli. Dia berhak mengelola (tasharruf) miliknya itu baik dengan menjual, menyewakan atau memanfaatkannya; seperti menempatinya atau menempatkan orang lain di rumah itu, dll.

Yang boleh dalam semisal kondisi ini adalah penjual mobil bersabar terhadap debitur sampai piutangnya dibayar atau ia meminta agunan (jaminan) dari debitur itu barang yang lain selain mobil yang dia jual kepada debitur itu, seperti meminta agunan batangan emas. Agunan itu tetap ada pada  si penjual sampai orang yang membeli mobil itu membayar semua harga yang disepakati dan setelah itu agunan itu diserahkan kepada si pembeli. Diriwayatkan:

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا

Rasulullah saw. pernah membeli dari orang Yahudi makanan secara tempo (kredit) dan beliau memberikan kepada dia baju besi milik beliau sebagai agunan (HR Muslim dari jalur Aisyah ra).

 

Jika telah jatuh tempo pembayaran dan debitur menolak untuk membayar jumlah yang seharusnya, atau dia tidak mampu membayarnya, maka agunan itu boleh dijual. Dari hasil penjualannya diambil jumlah yang masih menjadi kewajiban debitur, sementara kelebihannya dikembalikan kepada debitur. Hal itu karena agunan itu tetap sepenuhnya milik pemiliknya sesuai hadis:

لاَ يُغلَقُ الرَّهُنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ

Agunan tidak boleh ditutup (dihalangi) dari pemiliknya yang telah mengagunkannya (HR asy-Syafii dari jalur Said bin al-Musayyib).

 

Artinya, jika nilainya (hasil penjualannya) lebih dari utang maka kelebihannya dikembalikan kepada pemiliknya.

Jual-beli secara kredit atau angsuran adalah termasuk jual-beli yang sempurna. Pembeli memiliki barang yang dijual itu dengan kepemilikan yang sempurna selama telah terakadkan jual-beli secara kredit atau angsuran dengan jumlah tertentu. Karena itu jika barang yang dijual itu dijadikan agunan maka ini berarti kezaliman kepada pembeli dan pelanggaran terhadap kepemilikannya. Sebab, ini akan menghalangi pembeli untuk mengelola kepemilikan atas barang yang telah dia beli.

Kami telah menjawab pada 24/5/2015 jawaban rinci seputar topik ini, saya ulangi lagi untuk Anda guna menambah faedah:

Masalah ini dikenal di dalam fikih dengan disebut “rahnu al-mabî’ ‘alâ tsamanihi (mengagunkan barang yang dibeli karena sebagian harganya yang berlum dibayar).” Artinya, barang tersebut tetap tergadai pada penjual sampai pembeli membayar (melunasi) harganya. Masalah ini tidak muncul jika penjual dan pembeli itu keduanya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw:

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang murah hati jika menjual, jika membeli dan jika menuntut haknya pada orang lain (HR al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah ra.).

 

Akan tetapi, kadang-kadang penjual dan pembeli berselisih seputar serah terima barang atau pembayaran harga. Kadang penjual, setelah akad jual-beli, sengaja menahan barang, yakni menjadikan barang itu sebagai agunan yang dia kuasai sampai harganya dibayar dan berikutnya muncullah masalah ini.

Yang saya rajih-kan setelah mengkaji masalah ini adalah sebagai berikut:

Pertama, jenis jual beli: (1) Barang yang dijual adalah barang yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung; seperti jual-beli beras, kapas atau tekstil (kain), dll; (2) Barang yang dijual bukan barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung; seperti jual-beli mobil, rumah, hewan dll.

Kedua, harga barang: (1) Harganya tunai/kontan, seperti Anda membeli barang dengan harga sepuluh ribu tunai dibayar secara sekaligus/kontan; (2) Harganya ditangguhnya untuk tempo tertentu, seperti Anda membeli barang dengan harga sepuluh ribu dan Anda bayar setahun kemudian (kredit satu tahun); (3) Harganya sebagian kontan dan sebagian lagi ditangguhkan, seperti Anda membeli barang lalu Anda bayar pertama lima ribu (tunai) dan lima ribu lagi Anda bayar setahun kemudian (kredit satu tahun) atau Anda angsur bulanan.

Hukum syariahnya berbeda sesuai perbedaan apa yang disebutkan di atas.

Kondisi pertama: Barang yang dijual bukan barang yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung; semisal menjual rumah, mobil atau hewan.

Jika harganya kontan, yakni Anda membeli mobil seharga sepuluh ribu kontan dan hal itu ditetapkan di dalam akad, maka pada kondisi ini, penjual boleh menahan barang tersebut, yakni barang itu tetap tergadai padanya sampai harganya yang tunai itu dibayar kontan sesuai akad.  Dalilnya adalah hadis berikut:

Abu Umamah menuturkan: Aku pernah mendengar Nabi saw. bersabda pada khutbah Haji Wada’:

العَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ، وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ

Pinjaman itu harus dikembalikan. Penjamin itu  penanggung. Utang itu harus dibayar (HR at-Tirmidzi).

 

Atas dasar itu penjual boleh menahan barangnya sampai pembeli membayar harganya.  Dengan begitu di situ tidak ada utang. Ini sesuai dengan akad sebab jual-beli tersebut tidak secara utang (kredit), tetapi dengan harga tunai.

Jika harga (pembayaran)-nya ditangguhkan (kredit), seperti Anda membeli mobil dengan harga sepuluh ribu yang Anda bayar setahun kemudian (kredit satu tahun), maka pada kondisi ini, tidak boleh barang itu ditahan sampai pembayarannya lunas sebab sesuai akad tersebut, pembayarannya ditangguhkan dengan persetujuan penjual. Karena itu ia tidak boleh menahan barang tersebut, tetapi harus menyerahkan barang itu kepada pembeli.

Lalu jika harga (pembayaran)-nya sebagian tunai dan sebagian lagi ditangguhkan, seperti Anda membeli mobil dengan pembayaran pertama lima ribu yang Anda bayarkan tunai dan lima ribu lagi Anda bayar setahun lagi sekaligus (kredit satu tahun dibayar sekaligus) atau Anda membayarnya secara angsuran selama tempo-tempo itu, maka pada kondisi ini, penjual boleh menahan barang sampai harga tunainya dibayar, dan setelah itu ia tidak boleh menahan barang untuk terlunasinya pembayaran yang ditangguhkan.

Tidak bisa dikatakan di sini: Bagaimana pembeli bisa mengagunkan barang sebelum ia menerimanya, yakni sebelum ia memilikinya? Hal itu karena agunan (rahn) itu tidak boleh kecuali pada apa yang boleh dijual, dan karena barang yang dibeli tidak boleh dijual kecuali setelah diserahterimakan. Ini bersandar pada hadis Rasulullah saw.: yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi:

اِنيْ قَدْ بَعَثْتُكَ عَلَى اَهْلِ اللهِ اَهْلِ مَكَّةَ فَانْهَهُمْ عَنْ بَيْعٍ مَا لَمْ يَقْبِضُوْا

Sungguh aku telah mengutus kamu kepada AhlilLah dan penduduk Mekah. Karena itu laranglah mereka dari menjual apa yang belum mereka terima (HR al-Baihaqi).

 

Juga sabda Rasulullah saw.:

لا تَبِيعَنَّ مَا لَمْ تَقْبِضْ

Jangan engkau jual apa yang belum engkau terima (HR ath-Thabarani).

 

Hadis-hadis ini gamblang dalam melarang dari menjual apa yang belum diterima. Lalu bagaimana bisa barang yang dibeli diagunkan sebelum diterima?

Tentu tidak bisa dikatakan demikian. Sebabnya, kedua hadis ini berkaitan dengan barang yang ditakar dan ditimbang. Adapun jika barang itu bukan yang demikian, seperti rumah, mobil, hewan dan sebagainya maka boleh menjualnya sebelum diterima. Hal itu bersandar pada hadis Rasul saw. dari Ibnu Umar ra. yang berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَكُنْتُ عَلَى بَكْرٍ صَعْبٍ لِعُمَرَ، فَكَانَ يَغْلِبُنِي فَيَتَقَدَّمُ أَمَامَ الْقَوْمِ، فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ، ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمَرَ «بِعْنِيهِ» قَالَ هُوَ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ «بِعْنِيهِ» فَبَاعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ تَصْنَعُ بِهِ مَا شِئْتَ»

“Kami pernah bersama Nabi saw. dalam sebuah perjalanan. Aku naik unta muda milik Umar yang jalannya cepat. Unta itu membuatku menang. Aku pun mendahului di depan kaum itu.  Lalu Umar melarangnya dan mengembalikannya (ke belakang). Kemudian ia mendahului lagi. Umar pun melarangnya dan mengembalikannya (ke belakang lagi). Lalu Nabi saw. bersabda kepada Umar ra., “Juallah kepadaku!”  Umar pun berkata, “Itu untukmu, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Juallah kepadaku!” Lalu Umar pun menjualnya kepada Rasulullah saw. Lalu Nabi saw. bersabda, “Itu untukmu ya Abdullah bin Umar, perbuatkah dengan unta itu apa yang engkau mau!” (HR al-Bukhari).

 

Tasharruf pada barang yang dibeli, dalam bentuk hibah, sebelum diterima ini menunjukkan atas kesempurnaan kepemilikan barang sebelum diterima. Ini menunjukkan kebolehan menjual barang tersebut selama telah sempurna kepemilikan penjual atas barangnya.

Atas dasar itu boleh mengagunkan barang sebelum diterima selama boleh menjualnya sebelum barang itu diterima. Akan tetapi, ini hanya pada kondisi jika barang itu bukan barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung; seperti rumah, hewan dan semisalnya dan pada kondisi terakadkannya jual-beli dengan harga tunai atau pada kondisi adanya pembayaran yang tunai pada akad jual-beli.

Kondisi kedua: Barang yang dijual termasuk barang yang ditakar, ditimbang; seperti membeli sejumlah beras, kapas, atau kain.

Pada kondisi tersebut tidak boleh menahan barang yang dijual itu atas harganya apapun fakta harganya: tunai/kontan, kredit sekali bayar atau kredit dengan beberapa angsuran. Rinciannya sebagai berikut:

Jika harganya tunai kontan maka tidak boleh menahan barang tersebut seperti yang kami jelaskan di atas.

Jika harga kredit maka tidak boleh menahan barang yang dijual, yakni tidak boleh mengagunkannya. Sebab tidak boleh mengagunkan barang yang ditakar, dan ditimbang sebelum diserahterimakan, sesuai hadits Rasul saw. yang telah disebutkan di atas. Penjual di sini dalam kondisi jual-beli dengan harga yang tunai kontan itu (berhak memilih) di antara dua perkara: Apakah ia menjual barang tersebut dengan harga tunai/kontan dan ia menyerahkan barang itu kepada pembeli serta ia bersabar atasnya baik harga itu diberikan kepada secara tunai kontan atau setelah beberapa waktu, tanpa menjadikan barang tersebut sebagai agunan. Ataukah ia tidak menjual barang tersebut, yakni tanpa menahan barang sebagai agunan sama sekali.

Atas dasar itu, jika sudah terakadkan jual-beli dengan harga tunai atau secara kredit (dengan tempo) pada kondisi barang yang ditakar atau ditimbang maka penjual tidak boleh menahan barang tersebut sebagai agunan padanya sampai harganya dibayar.

Ini yang saya rajihkan. WalLah a’lam wa ahkam.

 

[Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah: 22 Jumadal Akhirah 1441 H/16 Februari 2020 M]

 

Sumber:

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/65937.html

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 + 8 =

Back to top button