Fikih

Shalat Yang Terlewat Harus Di-Qadha’

Soal:

Apakah seseorang wajib meng-qadha’ shalat yang sudah terlewatkan ataukah Allah mengampuninya tanpa qadha’?

 

Jawab:

Berkaitan dengan shalat yang belum tertunaikan sejak seseorang mencapai usia balig dan menjadi mukallaf secara syar’iy merupakan utang yang harus ditunaikan. Oleh karena itu ia harus menghitung jangka waktu sejak ia balig yang menjadikan ia wajib menunaikan shalat. Misalnya, jangka waktunya tiga tahun, berarti ia harus meng-qadha’ shalat tiga tahun itu. Lima waktu shalat dalam satu hari dan itu merupakan shalat fardhu. Adapun shalat sunnahnya tidak wajib di-qadha’.

Hal itu mungkin diatur dan shalat qadha’ tersebut mudah ditunaikan tiap hari setelah shalat fardhu. Jadi, tunaikan shalat serupa sebagai qadha’ atas shalat yang telah terlewatkan. Yang demikian dilakukan selama tahun-tahun yang di dalamnya shalat terlewatkan.

Untuk menjelaskan dalil-dalil syar’iy seputar perkara ini, saya mengutip sebagiannya yang ada dalam buku Ahkâm ash-Shalât (karya Ali Raghib):

Menunda shalat dari waktunya secara sengaja tanpa udzur syar’iy adalah haram secara qath’iy sesuai dengan nas al-Quran. Allah SWT berfirman:

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥

Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (QS al-Ma’un [107]: 4-5).

 

Allah SWT berfirman:

۞فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا ٥٩

Datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan (QS Maryam [19]: 59).

 

Ini juga ditetapkan dengan mafhum hadis mutawatir yang menjelaskan waktu-waktu shalat. Allah SWT telah menetapkan untuk tiap shalat fardhu waktu yang dibatasi dua ujungnya, yang masuk pada waktu tertentu dan batal pada waktu tertentu. Rasul saw. bersabda:

مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّماَ وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَه

Siapa yang melewatkan shalat ‘Ashr maka seolah-olah telah dikurangi (dirampas) keluarganya dan hartanya (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

 

Rasul saw. bersabda tentang penundaan shalat dari waktunya:

لَيْسَ التَّفْرِيطُ فِي النَّوْمِ إِنَّماَ التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ

Penyia-nyiaan bukanlah pada waktu tidur melainkan penyia-nyiaan itu pada waktu bangun (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan an-Nasai).

 

Siapa yang melewatkan shalat fardhu maka dia wajib meng-qadha’-nya, baik dia melewatkannya karena udzur atau tanpa udzur. Sebabnya, semata meng-qadha’ shalat itu ditetapkan dengan hadits shahih. Telah diriwayatkan di dalam Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim dari Imran bin Hushain yang berkata:

كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا في آخِرِ اللَّيْلِ وَقَعْنَا وَقْعَةً وَلَا وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ الْمُسَافِرِ مِنْهَا، فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْس… فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابهم فَقَال: لَا ضَيْرَ أَوْ لَا يَضِيرُ ارْتَحِلُوا، فَارْتَحَلُوافَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِماَءٍ فَتَوَضَّأَ، ثمَّ َنادى بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Kami pernah berada dalam perjalanan bersama Nabi saw. Kami berjalan hingga pada akhir malam kami tertidur lelap, yang seorang musafir tidak terlelap seperti itu. Tidak ada yang membangunkan kami kecuali panasnya sinar matahari…Ketika Nabi saw. bangun, para Sahabat mengadu kepada beliau atas apa yang menimpa mereka.  Beliau bersabda, “Tidak ada salahnya, berangkatlah.” Mereka pun berangkat dan berjalan. Belum sampai jauh, kemudian berhenti. Lalu Nabi saw meminta air dan berwudhu. Kemudian diserukan shalat dan beliau pun mengimami shalat orang-orang (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Juga karena apa yang diriwayatkan dari Jabir ra:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّاب جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَق بَعْدَمَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَال: يا رَسُولَ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم والله مَا صَلَّيْتُهَا، فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَمَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ

Umar bin al-Khaththab pernah datang pada saat Perang Khandaq setelah tenggelam matahari dan dia mencela kaum kafir Quraisy. Dia berkata, “Ya Rasulullah, saya belum shalat ‘Ashr sampai matahari tenggelam.” Nabi saw. pun bersabda, “Demi Allah, aku juga belum shalat ‘Ashr”. Lalu kami pergi ke buthhan dan beliau berwudhu untuk shalat. Kami pun berwudhu untuk shalat. Lalu beliau shalat ‘Ashr setelah matahari tenggelam. Kemudian setelah itu beliau shalat Maghrib.

 

Juga karena apa yang diriwayatkan dari Abu Said ra. yang berkata:

حُبِسْنَا يَوْمَ الْخَنْدَقِ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى كَانَ بَعْدَ الْمَغْرِبَ بِهَوِيٍّ مِنْ اللَّيْلِ كُفِينَا، وَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: [وَكَفَى اللَّهُ الْمُومِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا] قَالَ: فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِلَالًا فَأَقَامَ الظُّهْرَ فَصَلَّاهَا فَأَحْسَنَ صَلَاتهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ فَصَلَّاهَا فَأَحْسَنَ صَلَاتَهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ فَصَلَّاهَا كَذَلِكَ

Pada waktu Perang Khandaq kami tertahan dari menunaikan shalat sampai setelah Maghrib dan memasuki sebagian malam sampai kami telah dicukupkan. Hal itu firman Allah SWT (artinya): Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa (TQS al-Ahzab [33]: 25). Dia berkata, “Lalu Rasulullah saw. menyeru Bilal dan Bilal pun mengumandangkan iqamah shalat zhuhur. Lalu beliau shalat Zhuhur dan memperbagus shalat sebagaimana beliau menunaikannya pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh Bilal. Lalu Bilal mengumandangkan iqamah shalat ‘Ashr. Kemudian beliau shalat ‘Ashr dan memperbagusnya sebagaimana beliau menunaikannya pada waktunya. Kemudian Beliau menyuruh Bilal. Bilal pun mengumandangkan iqamah Maghrib. Beliau pun shalat Maghrib dan memperbagusnya.

 

Juga karena apa yang diriwayatkan dari Rasul saw. bahwa ketika beliau ditanya oleh seorang wanita dari Khats’am yang berkata, “Ya Rasulullah, bapakku telah dijumpai kewajiban haji pada saat lanjut usia yang ia tidak mampu berhaji. Jika aku berhaji atas dirinya apakah hal itu bermanfaat baginya? Rasul saw. lalu bersabda kepada dia:

أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيك دَيْنٌ فَقَضَيْتِه أَكَانَ يَنْفَعُه ذَلِكَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ : فَدَيْنُ الله أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ

Bagaimana pandanganmu, seandainya bapakmu memiliki utang, lalu kamu membayarnya, apakah hal itu bermanfaat bagi dia? Dia berkata, “Tentu.” Beliau pun bersabda, “Utang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.”

 

Semua hadis ini gamblang menyatakan qadha’ shalat. Hal itu menunjukkan bahwa qadha’ shalat adalah wajib. Tidak ada kafarah untuk meninggalkan shalat kecuali dengan meng-qadha’-nya saja, baik meninggalkan shalat karena udzur ataupun tanpa adanya udzur. Tidak dikatakan bahwa hadis-hadis ini dibatasi dengan peristiwa tertentu yaitu tidur, lupa, perang dan tidak mampu. Semua ini merupakan udzur syar’iy. Tidak ada dosa meninggalkan shalat dalam mengakhirkannya dari waktunya sehingga qadha’ bersifat khusus karena perkara-perkara tersebut dan tidak mencakup yang lainnya. Berbeda dengan sengaja, tidak ada nas yang menyatakan kebolehan meng-qadha’-nya. Tidak dikatakan demikian. Sebabnya, hadis-hadis ini di dalamnya tidak dinyatakan sifat tidur, lupa dan perang dalam bentuk sebagai batasan di situ. Hadis-hadis itu hanya datang sebagai deskripsi kejadian yang terjadi tanpa dipahami darinya sifat pembatasan dengan peristiwa-peristiwa itu saja. Bukankah Anda memandang di dalam hadis Jabir bagaimana Umar bin al-Khaththab mencela kaum kafir Quraisy dan berkata, “Ya Rasulullah aku belum menunaikan shalat ‘Ashr hingga matahari tenggelam.” Lalu Nabi saw. bersabda kepada Umar, “Demi Allah, aku juga belum shalat ‘Ashr.” Kemudian Nabi saw. berdiri, berwudhu lalu shalat.

Jadi tidak tampak di dalamnya sebab yang dikhususkan untuk qadha’ shalat di situ saja, sebagaimana yang jelas dari pembacaan hadis-hadis tersebut.

Adapun hadis-hadis yang di situ dinyatakan perbuatan yang memberikan makna sifat, yaitu sabda Nabi saw., “man nâma (siapa saja yang tidur)”, “aw nasiyahâ (atau lupa)”, jika dia tidur: “aw ghafila (atau dia lalai)”, “man nasiya (siapa saja yang lupa)”, semuanya dinilai sebagai batasan dan di dalamnya dinilai ada mafhum mukhalafah sebab itu merupakan sifat. Mafhum mukhalafah dalam sifat itu mu’tabar (diakui). Jika penyebutan sifat ini tidak dinilai sebagai batasan maka penyebutannya menjadi sia-sia dan hal itu dinafikan dari hadis. Namun, mafhum mukhalafah untuk nas-nas ini diabaikan pengamalannya karena adanya nas-nas lainnya. Jika dinyatakan nas yang manthuq-nya menunjukkan kebalikan dari mafhum nas lainnya maka mafhum itu diabaikan. Yang diambil manthuq-nya sebab dalalah-nya pada makna lebih kuat dari dalalah mafhum. Hadis-hadis ini diabaikan mafhum-nya karena adanya hadis-hadis yang tentang qadha’ shalat yang luput karena factor lainnya, yaitu perang. Di dalam hadis qadha’ haji yang di dalamnya dinyatakan sabda Nabi saw., “Fa daynullâh ahaqqun bi al-qadhâ’ (Utang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan)” menggunakan lafal umum yang mencakup semua utang kepada Allah. Shalat merupakan utang kepada Allah sehingga masuk di bawah keumuman kata “daynulLâh (utang kepada Allah)”. Sebabnya, itu merupakan isim jenis yang di-idhafah-kan, dan itu termasuk redaksi umum secara pasti. Orang yang sengaja meninggalkan shalat telah diseru dengan shalat sebagaimana setiap Muslim diseru dengan shalat. Wajib atas dirinya menunaikan shalat karena menjadi utang yang menjadi kewajibannya. Utang tidak gugur kecuali dengan ditunaikan. Demikian juga shalat tidak gugur dengan telah lewatnya waktunya kecuali dengan ditunaikan. Bagi dia tetap berdosa karena meninggalkan shalat pada waktunya (Selesai kutipan dari buku Ahkâm ash-Shalât).

 

[Soal-Jawab Syaikh ‘Atha Abu Rasytah, 23 Ramadhan 1442 H/05 Mei 2021 M]

 

Sumber:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/75289.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2919264428319562

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × three =

Back to top button