Hiwar

Ustadz Irfan Abu Naveed: LGBT Itu Kriminal!

Pengantar Redaksi:

Pembaca yang budiman, LGBT di negeri ini makin berani unjuk gigi. Gerakan mereka makin massif. Ke depan boleh jadi Gerakan LGBT ini makin tak terkendali. Tentu jika mereka dibiarkan. Tak ada yang menghentikan. Pertanyaannya: Mengapa LGBT bisa tumbuh di negeri yang mayoritas Muslim ini? Apa faktor penyebabnya? Betulkah LGBT harus ditoleransi atas nama HAM dan demokrasi? Mengapa pula ada yang membela mereka? Bagaimana pula solusinya? Bagaimana peran keluarga, masyarakat dan negara agar LGBT tidak terus menjangkiti masyarakat?

Itulah di antara pertanyaan yang diajukan kepada Ustadz Irfan Abu Naveed, Penulis Buku LGBT: Ilusi Kaum Liberal VS Solusi Kaum Intelektual, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini.

 

Ustadz, LGBT itu sunnatulLâh atau penyimpangan?

LGBT sebagai akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender jelas termasuk disorientasi seksual. Al-Quran bahkan menggambarkan praktik liwâth (sodomi) kaum gay atau biseksual sebagai perilaku melampaui batas. Dikatakan: bal antum qawm[un] musrifûn (QS al-A’raf [7]: 81). Kalimat antum qawm[un] musrifûn menunjukkan celaan atas perbuatan liwâth, yakni perbuatan melampaui batas atau perbuatan zalim yang menyalahi fitrahnya. Bahkan Nabi Luth as. pun memohon pertolongan kepada Allah SWT dari kerusakan kaum homoseksual ini (QS al-’Ankabut [29]: 30). Al-Quran menyebut perbuatan tersebut tidak berakal (QS Hud [11]: 78), sangat keji dan kotor (QS al-’Ankabut [29]: 28). Demikian pula praktik lesbianisme (QS al-Nisa’ [4]: 15).

Rasulullah saw. juga mencela liwâth dan perbuatan yang berkaitan erat dengan LGBT. Liwâth, misalnya, digambarkan sebagai perbuatan terlaknat. Pelakunya wajib dikenai sanksi hadd hukuman mati dan dia tidak akan ‘dilihat’ (dirahmati) Allah; serta berbagai celaan lainnya. Itu semua, dalam ushul fiqih, cukup menjadi dalil keharamannya dan cukup menunjukkan bahwa tindakan demikian sebagai penyimpangan dari aturan Allah yang memanusiakan manusia.

 

Ada yang berdalil bahwa LGBT itu sunnatulLâh. Mereka bahkan berargumentasi dengan dalil al-Quran dan al-Hadis. Bagaimana menurut Ustadz?

Ketika sudah jelas LGBT merupakan penyimpangan dalam perspektif al-Quran dan as-Sunnah, maka tidak ada celah yang dibenarkan dengan dalih ia adalah sunnatulLâh. Sebabnya, Allah tidak pernah meridhai kekufuran dan kemaksiatan setiap hamba-Nya. Apalagi perilaku liwâth pun menjadi salah satu hal yang paling dikhawatirkan Nabi saw. Sabda beliau, “Sungguh yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” Demikian sebagaimana riwayat Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Majah.

Jika ia bisa dibenarkan dengan dalih sunnatulLâh, maka tak mungkin dikhawatirkan Nabi saw. Segala sesuatu yang dikhawatirkan Nabi saw. atas umatnya bisa dipastikan buruk dan berbahaya. Jadi, relevan jika keharaman LGBT pun disepakati. Imam ash-Shan’ani (w. 1182 H) dalam Subul al-Salâm (III/138), misalnya, menegaskan bahwa praktik liwâth keharamannya pasti. Tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Apalagi penyebutan ancaman dalam hadis atas praktik liwâth tidak perlu diketahui dengan ijtihad. Laa ijtihaada ma’a an-nash. Artinya, tidak ada ruang ijtihad dalam nas (yang pasti).

Benarlah syair para ulama: Wa laysa kullu khilaaf[in] jaa’a mu’tabar[an]/illaa khilaaf[an] lahuu hazh[un] min an-nazhari. Artinya: Tak setiap perbedaan itu diakui/Hanya perbedaan yang mungkin untuk diteliti (bersifat zhanni).

 

Dalih dan dalil apa yang sering dipakai kaum sekuler membela LGBT? Dimana letak kesalahannya?

Kaum liberalis-sekuleris, dengan visi liberalisasi kehidupan, terbukti melegitimasi LGBT dengan beragam macam dalih. Pertama: Dalih HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan berekspresi ala Demokrasi. Kedua: Dalih takdir (given from God). Salah satu dalihnya kalimat uli al-irbat min ar-rijâl (QS an-Nur [24]: 31) Bahkan laknat dan azab Allah SWT atas kaum Luth dalam al-Quran pun mereka framing bahwa itu terjadi karena tindak pemerkosaan (adanya paksaan) sesama jenis, bukan semata-mata karena perbuatan liwâth-nya.

Dalih-dalih yang ada, jelasnya cacat logika baik logika syar’i maupun akal sehat, terbantahkan secara asasi. Kullu maa buniya ’alaa baathil[in] fa huwa baathil[un]. Artinya: Setiap perkara yang dibangun di atas kebatilan adalah batil.

 

Ada yang berdalil bahwa perlu dibedakan kelamin dengan gender. Dengan logika tersebut akhirnya mereka membenarkan LGBT. Di mana letak kekeliruannya?

Bahkan para penyokong LGBT membedakan antara identitas kelamin, identitas gender dan identitas seksual. Semua identitas itu harus diakui keberadaannya. Menjadi bagian dari hak asasi manusia dan kebebasan privasi.

Pembedaan tersebut sama sekali tak bisa membenarkan penyimpangan disorientasi seksual ala LGBT. Pasalnya, penyimpangan LGBT bertentangan secara asasi dengan syariah Allah yang menciptakan manusia itu sendiri. Apalagi perbedaan kodrati fisik laki-laki dan perempuan sejatinya difungsikan saling melengkapi dalam melestarikan keturunan umat manusia itu sendiri. Realitanya, disorientasi seksual LGBT secara kodrati mengancam kelestarian umat manusia. LGBT pun menjadi salah satu penyumbang terbesar angka penyakit HIV/AIDS di samping penyakit-penyakit kelamin lainnya. Namun, yang paling asasi: LGBT jelas keharamannya berdasarkan nas-nas al-Quran dan as-Sunnah (al-nuqûl), bukan akal-akalan manusia (munâsabat al-’uqûl) yang terbatas. Apa yang diklaim baik oleh manusia hakikatnya bisa jadi buruk bagi mereka. Lihat QS al-Baqarah [2]: 216. Karena itu benarlah ungkapan: Inna ad-Diin mabniyy[un] ‘alaa an-nuqqul laa ‘alaa munaasabah al-‘uquul. Artinya: Sungguh agama ini dibangun di atas nukilan (al-Quran dan as-Sunnah), bukan di atas kesesuaian dengan akal-pikiran (hawa nafsu).

 

Frame logika apa yang melatarbelakangi pembelaan mereka pada LGBT?

Segala hal yang melemahkan konsistensi umat Islam pada Islam, pada prinsipnya melemahkan kekuatan umat Islam itu sendiri, karena Islam adalah sumber kekuatan dan kemuliaannya. Pembenaran atas LGBT yang jelas-jelas diharamkan Islam menjadi pengejawantahan paham Liberalisme, Demokrasi dan HAM. Ketika paham-paham menyimpang ini mengotori pemahaman umat Islam, ibarat penyakit yang mengotori darah, akan menyebabkan sakit pada tubuh. Sakit pada tubuh melemahkan bahkan berujung pada kematian. Umat yang lemah akan mudah dikuasai oleh penjajah (imperialis), disetir memuaskan kepentingan mereka. Umat yang berlimpah dengan petunjuk dan hidayah, namun jauh dari keberkahan hidup, ibarat unta yang mati kehausan padahal ia menggantang air. Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H): Ka al-‘iis fii al-baydaa’i yaqtuluhaa azh-zhamaa’/wa al-maa’u fawqa zhuhuurihaa mahmuul[un]. Artinya: Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan/padahal air berada di atas punggungnya tersimpan.

 

Bagaimana cara Islam mendudukkan dan mencegah LGBT?

LGBT dipandang oleh Islam sebagai bentuk penyimpangan fitrah yang harus diluruskan, penyakit yang harus disembuhkan, dan keburukan yang harus dicegah. Islam hadir antara lain untuk meluruskan, mengobati serta mencegah penyakit ini menjangkiti masyarakat luas dengan solusi praktis dan ideologis. Islam pun melarang segala bentuk wasilah yang mengarah ke perilaku LGBT dan melarang segala bentuk dukungan pembenaran atasnya.

Islam mencegah LGBT dengan solusi paradigmatik, praktis dan sistemik. Secara paradigmatik, Islam mencegah penyebaran LGBT dengan menutup pintu-pintu pengantar LGBT. Islam mengharamkan perilaku LGBT, sebagaimana Islam mengharamkan menyerupai lawan jenis, mengharamkan laki-laki atau perempuan tidur dalam kasur yang sama dengan sejenisnya (ahkâm al-mudhâja’ah). Islam pun  mensyariatkan sanksi yang tegas bagi pelaku LGBT dan para pendukungnya.

 

Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk memerangi LGBT ini?

Masyarakat harus satu pemikiran dan perasaan memandang LGBT sebagai suatu masalah yang harus diatasi. Dengan itu mereka aktif melakukan kontrol sosial. Kesadaran ini sangat penting, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn (I/77): ’Araftu asy-syiraa laa li asy-syarri/lakin li tawqiihi/wa man laa ya’rifu asy-syirra/min an-naas yaqa’u fiihi. Artinya: Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan/Melainkan untuk menghindarkan diri darinya/Siapa tidak mengetahui keburukan/Di antara manusia maka akan terjerumus ke dalamnya.

 

Dengan massifnya kampanye LGBT, bagaimana seharusnya peran Negara?

Negara wajib mengatur masyarakat dengan Islam (ri’âyat syu’ûn al-ummah bi al-Islâm) dan melindungi mereka dari keburukan (junnah), Negara wajib melarang kampanye LGBT. Negara pun harus menetapkan perbuatan mendukung dan mengkampanyekan LGBT termasuk tindak kriminalitas. Wajib dilarang dan dicegah apapun bentuk dan medianya. Pelakunya wajib dikenai sanksi hukuman. Mereka yang tegas menghalalkan perilaku liwâth dan mengingkari keharamannya yang qath’i, jatuh pada kemurtadan. Pelakunya wajib dimintai untuk bertobat dalam tempo tiga hari. Jika tidak, mereka bisa dihukum mati (hadd al-riddah), dan dikuburkan sebagai orang kafir. Demikian menurut Al-Khathib asy-Syarbini dalam Al-Iqnâ’ fi Hall Alfâzh Abî Syujâ’ (II/552).

 

Apa hukuman bagi kaum LGBT dalam Islam?

Sanksi hukum Islam wajib ditegakkan oleh Khalifah (atau yang mewakilinya) atas pelaku LGBT. Jelasnya dirinci sesuai dengan jenis penyimpangannya itu sendiri. Pertama: Lesbian disanksi sanksi ta’zîr (Lihat: Ibn Qudamah, Al-Mughni, [X/61]). Begitu pula transgender. Sanksinya sesuai ijtihad qaadhi. Kedua: Gay atau biseksual pelaku liwâth jelasnya disanksi hadd hukuman mati. Ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Man wajadtumuuhu ya’malu ’amala qawmi luuth[in], faqtuluu al-faa’ila wa al-maf’uula bihi (Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukum matilah subjek dan objeknya).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim).

Dalil di atas menunjukkan keumuman dengan menggunakan lafal man, tanpa pengkhususan muhshân (menikah) atau ghayr muhshân (tidak menikah). Mereka wajib dihukum dengan hukuman mati. Yang diperselisihkan hanya bentuk hukuman matinya; dirajam dan dibakar (pendapat Ali bin Abi Thalib r.a.) atau dilemparkan dari tempat paling tinggi secara terbalik diikuti oleh rajam (lemparan batu) hingga mati (pendapat Ibn Abbas r.a.). (lihat: Zakariya bin Ghulam al-Bakistani, Mâ Shahha Min آtsâr Al-Shahâbat fî al-Fiqh, (III/1226). Sanksi ini hanya boleh ditegakkan oleh penguasa (al-hukkâm). Ini sekaligus menjadi dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah, mengangkat Khalifah. []

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + 14 =

Back to top button