Nafsiyah

Meniti Jejak Rasulullah saw Sebagai Negarawan

Rasulullah saw. dikenal pula dengan nama as-Sulthân. Sebutan ini diperkenalkan oleh Syaikh ’Abdul Hayy al-Kattani (w. 1382 H) dalam Nizhâm al-Hukûmah al-Idâriyyah (I/21), dengan menukil keterangan al-Qadhi ’Iyadh bin Musa (w. 524 H) dalam Kitab Asy-Syifâ’. Ini menyiratkan kedudukan agung beliau sebagai seseorang yang me-ri’âyah umat dan menjadi perisai akidah bagi mereka. Demikian sebagaimana petunjuk Rasulullah saw. tentang tanggung jawab al-sulthân yang menjadi bagian dari aspek keteladanan beliau (lihat: QS al-Ahzab [33]: 21) dalam mengatur kehidupan bernegara, khususnya bagi mereka yang diamanahi jabatan kekuasaan.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Islam menuntun manusia dalam urusan kepemimpinan dan pengaturan aspek kehidupan bernegara. Islam sekaligus meruntuhkan sekularisme yang memarjinalkan Islam dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Islam adalah Islam sebagaimana diajarkan dan diamalkan Rasulullah saw. Bukan Islam dengan embel-embel liberal dan moderat yang muncul pada akhir zaman tatkala fitnah para pemimpin yang sesat menyesatkan (al-a’immah al-mudhillîn) muncul ke permukaan.

Tinta emas sejarah mencatat Rasulullah saw. mengupayakan tegaknya Daulah Islamiyah di Yastrib (Madinah), lalu menegakkan huduud, membagikan ghanîmah, mewajibkan jizyah (bagi kafir ahl al-dzimmah), mengirimkan surat-surat kenegaraan berisi seruan dakwah kepada para penguasa berbagai negara, mengangkat para wali, qaadhi, dan beragam aktivitas kenegaraan lainnya. Semua ini menunjukkan secara terang-benderang, de jure dan de facto, eksistensi Islam dalam mengatur urusan kekuasaan dan konsep bernegara, dengan wilayah kekuasaan dan perangkat kenegaraan yang paripurna.

Gambaran ini mengejawantahkan Hadis Nabi saw. dari Hudzaifah ibn al-Yaman r.a.: Kami pernah duduk di masjid, kemudian Abu Tsa’labah al-Khasyani datang. Beliau bertanya, “Wahai Basyir bin Saad, apakah kamu hapal hadis Rasulullah saw. tentang para pemimpin (al-umarâ’)? Hudzaifah menjawab, “Aku hapal khutbah Baginda saw.” Abu Tsa’labah pun duduk. Hudzaifah berkata bahwa  Rasulullah saw. pernah bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ الله أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

Akan ada era kenabian di antara kalian. Dengan kehendak Allah ia akan tetap ada. Kemudian Allah mengakhiri era itu ketika Dia menghendaki berakhir masanya (HR Ahmad dan al-Bazzar).

 

Manhaj Kenabian dalam urusan kepemimpinan ini di antaranya tercakup dalam politik dalam negeri dan luar negeri sebagai berikut:

 

  1. Politik dalam Negeri: Menegakkan Syariah Islam Sebagai Konstitusi Negara.

Karakteristik politik syar’i ini Allah tunjukkan dalam nas-nas al-Quran. Salah satunya adalah firman-Nya:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا  ٦٥

Demi Tuhanmu. Mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam  perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam diri mereka atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuh hati (QS al-Nisâ’ [4]: 65).

 

Maksud (taqdîr) kata ganti (dhamîr) ’ka’ dalam ayat ini adalah Rasulullah saw. yang berkedudukan sebagai seorang rasul sekaligus kepala negara yang menegakkan hukum untuk mengatasi perselisihan di antara manusia. Kalimat fî mâ syajara baynahum, merupakan bentuk kiasan (al-isti’ârah). Di sini Allah menggambarkan perselisihan di antara manusia seperti cabang-cabang pohon (asy-syajarah). Fungsi tahkîm dalam ayat yang agung ini secara terang-benderang menunjukkan Rasulullah saw. sebagai al-hâkim (penguasa), yakni Kepala Negara yang menghukumi manusia dengan wahyu-Nya (QS. Al-Najm [53]: 3-4). Ini diperjelas oleh Hadis Nabi saw.  dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. Rasulullah saw. bersabda:

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawaban atas pihak yang kalian pimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya (HR Muttafaqun ‘alayhi).

 

Saat menjelaskan hadis ini, Imam al-Baghawi (w. 516 H) menuturkan: “Pemeliharaan seorang al-Imam (Khalifah) adalah wilayah urusan-urusan rakyatnya, melindungi mereka, menegakkan sanksi-sanksi had, dan hukum-hukum bagi mereka.” (Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, 10/61).

Kita mendapati riwayat Rasulullah saw. menegakkan sanksi huduud atas rakyatnya, juga mengatasi potensi perselisihan di antara masyarakat. Syariah Islam yang menjadi aturan dalam masyarakat mampu mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Ini sejalan dengan prinsip Al-Qadhi Abu al-Baqa’ al-Hanafi (w. 1094 H) “Politik adalah mewujudkan kemaslahatan bagi makhluk-Nya dengan menunjuki mereka ke jalan keselamatan di dunia dan akhirat.” (Al-Qadhi Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât, hlm. 510).

Keselamatan dunia dan akhirat adalah wujud hakiki dari kemaslahatan. Ini sejalan dengan kaidah syar’iyyah dari al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H):

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Kebijakan Imam (Khalifah) atas rakyat harus senantiasa diorientasikan untuk kemaslahatan mereka (As-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, hlm. 121).

 

Menariknya, al-Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menyerupakan pengurusan rakyat dengan pengurusan anak yatim: “Kedudukan imam atas rakyat adalah seperti kedudukan wali atas anak yatim.”

Kemaslahatan dunia akhirat tak akan terwujud melainkan dengan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ini sesuai dengan standar maslahat al-Imam Al-Syathibi: “Berbagai kemaslahatan semata-mata dipahami berdasarkan apa yang Asy-Syari’ tetapkan. Bukan berdasarkan apa yang dipahami mukallaf.” (Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât (2/373).

Maka dari itu, penguasa yang mengatur masyarakat dengan selain hukum syariah Islam adalah penguasa zalim. Dia akan dihisab dengan penghisaban yang berat. Ini ditegaskan Syihabuddin an-Nuwairi dengan menukil sebagian ahli hikmah yang berkata:

فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَنَحْنُ رَعِيَّة #

وَكُلُّ سَيَلْقَى رَبَّهُ فَيُحَاسِبُهُ

Setiap diri kalian adalah penggembala dan kami adalah gembalaannya/Setiap orang akan berjumpa denga Tuhannya hingga Dia menghisab dirinya (An-Nuwairi, Nihaayat al-‘Arab fii Funuun al-Adab, 6/34).

 

  1. Menegakkan Politik Luar Negeri: Dakwah dan Jihad.

Rasulullah saw. pun menegakkan politik luar negeri (as-siyâsah al-khârijiyyah) dengan visi dakwah, menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjara dunia, aktivitas ini dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan. Kaisar Romawi, Kisra Persia, Najasyi Habasyah adalah sederet penguasa yang pernah diseru oleh Rasulullah saw. untuk masuk Islam, atau tunduk pada kekuasaan Islam dengan menunaikan jizyah. Mereka juga dituntut tidak menghalangi dakwah Islam sampai kepada rakyat mereka. Rasulullah saw. pun tercatat mengukuhkan berbagai perjanjian lintas negara yang bisa dipastikan berorientasi pada kemaslahatan dakwah Islam dan kaum Muslim. Salah satunya Perjanjian Hudaibiyah.

Itu semua menunjukkan kebakuan politik dalam dan luar negeri Negara Islam, sejalan dengan hakikat syar’i Khilafah Islam. Ini sebagaimana diungkapkan al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H), digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah “Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini al-Syafi’i (w. 478 H) dalam Ghiyâts al-Umam (I/22) menjelaskan, yakni mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad.

Gambaran singkat politik dalam dan luar negeri Rasulullah saw. di atas menunjukkan eksistensi Rasulullah saw. sebagai negarawan unggul. Beliau adalah teladan bagi kaum Muslim, khususnya bagi mereka yang diamanahi jabatan kekuasaan. Jika tidak maka berlaku sabda beliau:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang beramal tidak sesuai dengan perintah kami maka amal perbuatan itu tertolak (HR Muslim dan Ahmad).

 

WalLaahu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 5 =

Back to top button