Dunia Islam

Bahaya Perpecahan Keluarga Muslim

Keluarga Muslim saat ini dihantam oleh bahaya besar yang mengancam keberadaannya dan menghancurkan pondasinya. Unit keluarga—yang  didominasi oleh cinta, kedekatan dan harmoni—terlihat bersatu dari luar, namun terpecah-belah dari dalam; ditahan oleh tembok rumah dan meja makan. Di dalamnya para anggota keluarga terasing satu sama lain; tidak berbagi tentang urusan dan masalah privatnya! Perpecahan telah menghantam anggota keluarga, merobek mereka dan membuat mereka hidup tersiksa karena akibat keterasingan, kesepian, kesedihan dan kehilangan.

Unit keluarga sejatinya adalah institusi pertama dan utama yang membesarkan anak-anak dan membentuk kepribadian mereka. Kini banyak keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor yang merusak entitasnya. Peran keluarga telah terkikis. Lalu banyak masalah bermunculan; didominasi oleh dingin dan rusaknya ikatan cinta. Setiap anggota asyik dengan dunianya masing-masing.

Anak-anak tidak memerhatikan orangtua mereka ataupun nasihatnya. Keras kepala dan keegoisan mendominasi. Mereka tidak menganggap sikap abai terhadap orangtua mereka sebagai sebuah dosa atau kesalahan. Orangtua juga salah atas situasi anak-anak mereka. Pasalnya, mereka tidak melakukan tugas mereka dalam membesarkan anak-anaknya dengan serius.

Penyakit serius yang menjangkiti keluarga Muslim saat ini adalah “perpecahan keluarga”. Ini adalah masalah utama yang tak kalah penting dari masalah-masalah lain yang dialami umat Islam. Apa penyebabnya? Apa pula obatnya?

 

Faktor Penyebab

Perpecahan keluarga adalah terputusnya ikatan keluarga serta lemah dan memudarnya cinta di antara individu-individu. Hal ini disebabkan oleh  hubungan mereka yang menjadi kering. Cinta bukanlah bagian dari mereka. Rumah berubah sekadar menjadi “pondok” tempat mereka berlindung dan makan. Celah yang besar tercipta antara anggota keluarga. Setiap mereka asing satu sama lain.

Ini tentu sangat berbahaya. Pasalnya, perpecahan keluarga merupakan disintegrasi masyarakat dan umat Islam. Pasalnya, kesejahteraan dan kedamaian masyarakat berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kedamaian unit keluarga (Lihat: QS ar-Rum [21]: 21).

Rumah tangga islami merupakan tempat bagi kedamaian dan kestabilan. Ia mengikat anggotanya dengan cinta dan kemurahan hati. Mereka dihubungkan dengan pengetahuan tentang aturan Islam. Mereka berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mendapatkan pahala. Ayah melindungi keluarganya. Ibu menaati dan membahagiakan suaminya. Ibu pun membesarkan anak-anaknya serta  mengelilingi mereka dengan penuh cinta dan kasih sayang. Setiap dari mereka saling memahami hak masing-masing dan berusaha memenuhinya untuk mendapat ridha Allah.

Islam menetapkan konsep-konsep yang tinggi untuk menguatkan ikatan keluarga. Islam mengidentifikasi tugas dan memberikan setiap anggota tugas yang melengkapi satu sama lain. Dengan itu bahtera (unit keluarga) berlayar tanpa gangguan angin dan badai, dipimpin oleh seorang kapten yang dibantu oleh para asisten. Masing-masing melakukan tugas yang diamanahkan untuk mendapatkan keamanan: ridha Allah dan memasuki surga.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan perdamaian, persatuan dan harmoni. Bukan hubungan perang yang berlaku konflik, persengketaan dan permusuhan. Setiap pihak mengetahui fungsinya dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam aduannya kepada Rasulullah saw. mengenai suaminya, Khaulah berkata, “Ya Rasulullah, jika aku mengabaikan dia, maka mereka akan tersesat, dan jika aku menjaganya maka mereka akan kelaparan.”

Kesadaran dan pemahaman mengenai tugas ini dijelaskan dengan gamblang oleh Khaulah ra. Dia sangat tahu bahwa tanggung jawabnya adalah untuk membesarkan anak-anaknya. Ayahnya menafkahi mereka. Melengkapi satu sama lain. Membesarkan anak-anak mereka dengan benar tanpa kekejaman atau pemanjaan yang berlebih. Dengan itu anak-anak tidak tumbuh menjadi pembenci, kurang bersyukur, lemah dan rapuh atau tak memiliki penghormatan dan kepedulian kepada orangtuanya.

Rasulullah saw. bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Cukup dianggap berdosa besar laki-laki yang tidak menafkahi orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya.

 

Banyak orangtua yang kehilangan rumah dan anak-anaknya. Tidak ada perasaan yang tulus.  Tidak ada rasih kasih sayang ataupun kelembutan! Tujuan utama orangtua hanya untuk menyiapkan makanan dan pakaian; yang terbaru di dunia elektronik mulai dari komputer, tablet dan telepon selular. Mereka hadir untuk memberikan kebahagiaan pada anak-anak. Namun, mereka tidak menunjukkan kasih saying. Tidak ada kelembutan dan tidak tertarik. Mereka tidak memiliki waktu untuk berbicara, duduk dan mendengarkan mereka. Semuanya terburu-buru. Berlomba dengan waktu untuk melakukan tugas-tugas, tetapi tidak untuk berpikir dan bekerja keras dalam menjaga keutuhan keluarga!

Banyak alasan mengapa keluarga terpecah. Cekcok yang terjadi dan berulang antara orangtua karena kompetisi dalam menjalankan urusan keluarga, juga perubahan pada tugas alami yang sudah diciptakan Allah SWT untuk mereka, menyebabkan atmosfer yang tegang yang mengganggu. Ini menyebabkan keresahan serta penderitaan anak di dalam rumah. Mengubah rumah menjadi sebuah tempat yang mengerikan dan menakutkan yang didominasi oleh kebencian dan keegoisan. Padahal rumah harusnya merupakan “sumber kedamaian, keamanan, cinta dan kelembutan”. Belum lagi hubungan yang telah berubah dan menjadi penuh dengan perbedaan yang kadang berujung pada perceraian dan pisahnya orangtua.

Dr. Seth Meyers, seorang psikolog Amerika dan peneliti hubungan social, memandang bahwa keluarga-keluarga yang mengalami keresahan dan kesulitan dalam membesarkan anak-anak sering kekurangan dukungan emosional dan sosial di masa kecil mereka. Boleh jadi karena dulunya mereka diabaikan oleh orangtua mereka. Boleh jadi pula karena mereka dibesarkan dalam atmosfer keluarga yang penuh dengan masalah dan temperamen. Beberapa orangtua menghadapi kesulitan dan tantangan yang luar biasa dalam membesarkan anak yang sulit. Ini adalah rahasia kebencian yang mereka hadapi.

Angka perceraian di keluarga Muslim bertambah dua kali lipat. Ini sekaligus menunjukkan kehancuran unit penting dalam masyarakat ini. Menurut websiteAshwat Maghribiya”, kasus perceraian di wilayah Maghribi (Maroko) meningkat dalam delapan tahun terakhir. Statistik menunjukkan bahwa setiap jam, 10 kasus perceraian terjadi. Artinya, 90 ribu kasus pertahun. Di Tunisia, 41 kasus perceraian tercatat setiap hari. Artinya, lebih dari tigas kasus perjam menurut “Al-Sabah News” dari Kementerian Peradilan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Pusat Mobilisasi dan Statistik Arab, enam kasus perceraian didaftarkan setiap jam di Aljazair. Ini yang mendorong banyak pengamat dan aktivis di Aljazair untuk mengingatkan akan maraknya fenomena perceraian di negeri ini (Euronews). Hal ini sama seperti di Mesir, yang berada pada urutan pertama angka perceraian di dunia, yakni 250 kasus perhari. Pasangan berpisah beberapa jam setelah pernikahan. Empat juta perempuan diceraikan. Sembilan juta anak-anak merupakan korban perpisahan ini (Al-Yawm As-Sabi’: 05/05/2017)

Dengan judul, “Perceraian di Libya, Angka yang Mengejutkan, dan Nomor yang Hilang,” Kanal 218 mengatakan bahwa kelompok hak asasi menyatakan angka perceraian meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Perkiraan tidak resmi mengatakan bahwa angka perceraian dalam beberapa tahun ini meningkat sebanyak 30%. Dalam bahasa angka, berarti bahwa di tiap 100 pernikahan, 30 kasus beranjak menjadi “akhir yang tak bahagia”.

The N Post membenarkan bahwa Kuwait telah memimpin dalam peningkatan angka perceraian. Menurut sebuah data, 60% hubungan pernikahan berakhir pada perpisahan pada awal tahun 2017. Hukum Kuwait memberi perempuan Kuwait yang bercerai beberapa keuntungan, termasuk gaji bulanan, sebuah rumah, sebuah mobil dan seorang asisten. Hal ini menyebabkan beberapa perempuan segera ingin bercerai demi mendapatkan pelayanan tersebut (menurut Kementerian Peradilan Kuwait, berdasarkan pada laman Arab Times Online).

Pada 2016, angka ikatan pernikahan di Arab Saudi mencapai 157,000. Namun demikian, 46,000 kasus perceraian terjadi, yaitu 30% pasangan yang sudah menikah berujung pada perpisahan.

Di Turki, Direktorat Jenderal Catatan Statistik Yudisial mengumumkan bahwa kasus perceraian dalam 10 tahun terakhir berjumlah 82%. Kasus perceraian di Istanbul adalah 62.3% dari semua kasus sipil yang diajukan di 2016 (Al Ain News).

Pakistan juga tersiksa dari penyakit perpecahan dan pembunuhan terjadi di mana-mana. Komisi Hak Asasi mencatat 280 kasus pembunuhan dengan dalih kehormatan dari 2016 hingga Juni 2017.

Terkait alasannya, hal itu disebabkan karena kemandirian material perempuan; juga karena kecenderungan mereka pada konsep pembebasan atas kekuasaan laki-laki, terutama jika perempuan tidak bahagia dengan suaminya atau ketika terdapat kecacatan dalam hubungan sebelumnya yang berdampak pada masalah materi yang membakar tekanan psikologis pasangan yang menikah. Hal ini kemudian berujung pada ketegangan hubungan emosional karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan material keluarga.

Bagian yang tinggi dan mengerikan ini bukanlah seluruhnya, namun hanya contoh. Banyak negara yang tersiksa karena fenomena yang terus menyebar di keluarga Muslim. Sebabnya, mereka jauh dari konsep Islam yang benar tentang pernikahan. Dalam Islam, pernikahan merupakan sebuah janji serius yang mengikat pasangan pernikahan. Faktanya, cerai terjadi karena alasan-alasan yang paling sederhana. Masalah yang banyak dan besar hampir seluruhnya berujung pada perceraian dan hancurnya keluarga serta kemelaratan anak.

Sebagai akibat dari perpecahan dan pembubaran ini, anggota keluarga merasa kehilangan dan hidup dalam ketidakamanan. Mereka lemah dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Akibatnya, mereka mencari jalan termudah dan terdekat meskipun hal tersebut haram dan merugikan mereka.

Karena Barat mengetahui pentingnya keluarga Muslim dalam membangun anak-anak dan mempersiapkan mereka menjadi manusia pada masa depan, Barat telah mencoba berbagai cara dan metode dalam menyebarkan bisanya untuk membongkar dan menghancurkan keluarga Muslim. Mereka fokus pada perempuan yang bertanggung jawab membangun generasi. Mereka berusaha mendistorsi dan merusak konsepnya yang benar dengan konsep mereka yang rusak. Akibatnya, bantak perempuan Muslim mengabaikan peran terpenting yang telah Allah pilih untuk diri mereka, yakni membesarkan dan mendidik anak-anak.

“Ibu adalah sekolah, jika Anda menyiapkannya, berarti Anda menyiapkan orang-orang yang berkarakter baik.”

Barat telah menyiapkan alun-alun dan melaksanakan konferensi-konferensi serta seminar untuk menyebarkan ide-ide liberalnya yang merusak. Catherine Forth, seorang profesor Amerika, mengatakan:

 

Konvensi dan perjanjian internasional terkait perempuan, keluarga dan populasi saat ini diformulasikan di agensi-agensi dan komite-komite yang didominasi oleh tiga kategori: feminisme ekstrem, anti-kelahiran dan partumbuhan populasi, homoseksual laki-laki dan perempuan. Komite perempuan di PBB diprakarsai oleh perempuan Skandinavia yang percaya pada pernikahan terbuka, menolak keluarga, menganggap pernikahan merupakan pembatasan serta percaya bahwa kebebasan individu haruslah absolut. Konsep kebebasan ini telah terefleksi di dalam piagam yang dikeluarkan oleh komite ini. Penandatanganan Perjanjian CEDAW membuat mereka yang kontra dengan homoseksualitas—bahkan dengan karikatur (gambar)—menjadi sebuah pekerjaan yang menunjukkan pemiliknya pada pertanggungjawaban hukum bahwa ia “menyalahi hak asasi”.

 

Inilah yang diinginkan oleh Barat. Barat hanya akan bahagia jika umat Muslim mengikuti jalan mereka. Mereka merencanakan siang-malam untuk menghancurkan peradaban kaum Mulslim dan menumbangkan mereka dari akar Islamnya.

Kemenangan hanya milik Allah SWT. Dia akan mengalahkan Barat dan menghentikan aksi serta rencana mereka. Allah SWT akan mengembalikan petunjuk umat dan menginspirasi mereka dengan kembali pada aturan-Nya dan untuk membangun masyarakat yang dipimpin oleh konsep yang tulus dalam mendidik anak-anak. Mereka akan menjadi orang yang dididik secara benar dengan keseimbangan dan akan membuat mereka menjadi bangsa terbaik untuk umat manusia. [Zaina as-Samit]

(Zaina as-Samit; [Ditulis untuk Kantor Media Hizb ut-Tahrir])

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − six =

Back to top button