Dunia Islam

Krisis Ekonomi Turki: Utang Luar Negeri adalah Harga dari Berkuasanya Erdogan

Pada resepsi makan siang tanggal 14 Mei lalu di London, Recep Tayyip Erdogan berbicara kepada sekelompok bankir dan fund manager sebagai bagian dari perjalanan resminya ke Inggris. Selama makan siang mewah itu, dia berusaha meyakinkan para investor yang gelisah tentang stabilitas dan kelangsungan ekonomi negara itu. Namun, dalam wawancara berikutnya dengan Bloomberg, Erdogan dengan cepat mulai bertindak tidak terkontrol[1].

Erdogan melakukan gembar-gembor yang menentang suku bunga dan menimbulkan keraguan tentang independensi Bank Sentral. Ia pun bersumpah melakukan kontrol ekonomi yang lebih ketat jika ia memenangkan pemilihan 24 Juni. Pasar tidak menunjukkan belas kasihan. Dalam waktu sepuluh hari, mata uang lira Turki jatuh ke titik terendah yang baru. Dalam perdagangan mendekati 5 lima lira untuk 1 dolar. Ini dibandingkan dengan 1,6 dolar AS pada tahun 2011. Bank Sentral Turki terpaksa menaikkan suku bunga utama dari 13,5% menjadi 16,5% karena lira Turki jatuh.

Ini adalah kerugian yang besar bagi Erdogan yang telah membangun banyak kredibilitas domestiknya pada kinerja ekonomi yang kuat bahkan mendapatkan gelar sebagai ‘Erdogonomics’[2].

Namun demikian, krisis saat ini mengungkapkan bahwa utang luar negeri adalah harga yang harus dibayar Turki atas naiknya Erdogan ke tampuk kekuasaan. Sejak Erdogan naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2002 ia menyelaraskan dirinya dengan kelompok elit bisnis. Erdogan melakukan perjalanan ke Cina, Brasil, India, Rusia dan Benua Afrika dengan banyak pengusaha dan wanita untuk mempromosikan kepentingan bisnis Turki. Para kolega dan pendukungnya melihat seluruh sektor publik secara bertahap diprivatisasi yang sebelumnya digenggam erat oleh rezim-rezim militer. Investasi infrastruktur publik dimungkinkan tanpa membebani Departemen Keuangan, melalui metode privatisasi yang disebut ‘build-manage-transfer’. Hal ini menciptakan peluang besar bagi para kolega bisnis Erdogan dan memungkinkan banyak kelompok berpenghasilan rendah untuk menaiki tangga kemakmuran.

Erdogan menghapus persyaratan visa dari lebih 70 negara. Ia melakukan langkah-langkah yang berkontribusi pada penciptaan pasar bebas dengan negara-negara itu. Pada tahun 2013 Erdogan merayakan saat ia membayar kembali pembayaran pinjaman kepada IMF setelah berhubungan dengan lembaga itu 52 tahun[3].

Pada tahun 2014, Turki menjadi negara MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki) yang dianggap sebagai raksasa ekonomi berikutnya[4].

Berbeda dengan negara-negara dengan pertumbuhan tinggi seperti Cina, yang memfokuskan ekonomi pada manufaktur dan mengekspor produk ke pasar global, atau Rusia, yang tumbuh karena permintaan global atas komoditasnya: booming ekonomi Turki sebagian besar karena konsumsi domestik. Kemampuan ekspor Turki memang tumbuh, terutama atas barang-barang seperti mesin cuci dan peralatan listrik lainnya. Pertumbuhannya sangat bergantung pada konsumsi dan pada sektor-sektor konstruksi yang berkembang pesat. Banyak ekspansi ekonomi Turki selama beberapa tahun terakhir merupakan hasil dari ledakan bangunan yang dibiayai oleh kredit yang mudah. Kredit itu masuk ke perusahaan-perusahaan raksasa konstruksi dan pembangunan yang kebetulan merupakan sekutu politik Erdogan. Pemerintah memberikan jaminan pinjaman negara dan alat-alat lain untuk mempermudah pinjaman[5].

Gelombang Investasi Langsung Asing (FDI) dari Jerman, Prancis dan Belanda pada banyak sektor ekonomi Turki juga memunculkan keberhasilan ekonomi negara itu.

Mata uang Turki kini telah kehilangan nilainya sebesar 60 selama lima tahun terakhir. Turun dramatis sebesar 20% pada tahun ini dibandingkan dengan dolar. Hutang luar negeri Turki telah menggelembung menjadi $ 453 miliar. Ini lebih dari 50% dari PDB-nya. Defisit neraca berjalan saat ini, kesenjangan antara impor dan ekspor, melebar menjadi $47,1 miliar pada tahun 2017 dibandingkan dengan $32,6 miliar pada tahun sebelumnya.

 

Apa yang Salah?

Masalah Turki adalah karena utangnya bukan berasal dari sumber-sumber domestik, tetapi dari sumber-sumber asing. Utang eksternal adalah uang yang dipinjam dari luar negeri dalam mata uang asing. Mata uang Turki adalah lira. Jadi ketika meminjam dalam dolar atau euro, utang dalam mata uang asing. Utang eksternal memiliki tantangan, sedang utang dalam mata uang domestik tidak. Dalam kasus Turki, jika ia meminjam dalam lira, maka negara itu membayar bunga dan pokoknya dalam lira. Jika lira terdepresiasi terhadap mata uang lainnya, utang Turki tidak semakin sulit untuk diperbaiki. Kenyataannya, ini menjadi lebih mudah untuk diperbaiki karena ia memiliki jumlah lira yang sama, tetapi mata uangnya bernilai lebih rendah. Meningkatkan jumlah uang beredar (dengan mencetak uang) memungkinkan suatu negara untuk membayar kembali utangnya dengan mata uang yang lebih murah, dan secara efektif menggelembungkan jalan keluar dari beban utang. Meskipun mencetak uang membawa risikonya sendiri, hal itu masih membuat negara dan bank sentralnya sebagai penguasa utang mereka.

Namun, utang luar negeri tidak menawarkan fleksibilitas ini. Sebaliknya, utang ini menghubungkan kemampuan peminjam untuk membayar kembali ke nilai tukar antara lira dan mata uang asing. Ini karena utang harus dilunasi dalam mata uang asing. Jika lira terdepresiasi terhadap mata uang itu, maka akan membutuhkan lebih banyak lira untuk membayar jumlah utang yang sama. Misalnya, jika Turki meminjam $100 juta dengan tingkat bunga 10% dalam utang berdenominasi dolar AS, Turki akan berhutang $10 juta pertahun. Jika nilai tukar antara lira dan dolar adalah 2 banding 1, maka Turki akan berutang 20 juta lira pertahun. Jika lira terdepresiasi relatif terhadap dolar dan nilai tukar menjadi 4 banding 1, maka Turki masih akan berhutang $10 juta, tetapi itu setara dengan 40 juta lira pertahun. Akibatnya, biaya pembayaran utangnya akan berlipat ganda hanya karena fluktuasi nilai tukar.

Saat ini total utang luar negeri Turki (baik publik maupun swasta) adalah sebesar 52% dari produk domestik bruto (PDB). Sebagian besar utang luar Turki, sekitar 70%, dimiliki oleh sektor swasta. Keuangan negara Turki relatif tidak terbebani oleh utang. Utang Pemerintah pusat hanya sekitar 30% dari PDB.

Alasan mengapa bank-bank Turki beralih ke pinjaman luar negeri adalah karena tingkat tabungan nasional sangat rendah. Bank-bank berjuang untuk menarik deposito yang cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi. Tingkat tabungan Turki telah menurun dengan stabil sejak tahun 1990. Saat ini negara terebut memiliki salah satu tingkat tabungan terendah di dunia. Tingkat tabungan yang rendah berarti untuk menarik lebih banyak deposito, suku bunga deposito harus tinggi. Turki memiliki suku bunga deposito yang relatif lebih tinggi terhadap tingkat rata-rata di seluruh dunia. Hal ini pada gilirannya menarik “uang panas”, karena uang mencari keuntungan jangka pendek.

Konsumen tidak diperbolehkan meminjam utang dalam mata uang asing. Sebaliknya, bank bertanggung jawab atas sebagian besar utang yang diambil di sektor swasta. Mereka meminjam dari luar negeri dalam mata uang asing dan meminjamkan modal ke luar negeri dalam mata uang lira.

Erdogan telah berkuasa selama 16 tahun. Meskipun terdapat kekayaan mineral dan perkembangan ekonomi Turki, ini semua telah dirangsang oleh pinjaman. Jenis pertumbuhan ini terus berlanjut selama investor asing percaya bahwa mereka dapat mencapai pengembalian yang lebih baik bagi uang mereka di Turki daripada di tempat lain. Ketika mereka kehilangan kepercayaan, kehilangan likuiditas berikutnya dapat menyebabkan masalah yang cukup besar. Di sinilah Turki saat ini. Inilah alasannya mengapa banyak pejabat Turki yang telah menunjuk adanya tangan-tangan asing dalam krisis mata uang. Wakil Perdana Menteri Bekir Bozdag mengatakan di TV negara[6], “Mereka yang percaya bahwa dengan memanipulasi dolar mereka akan mengarah pada hasil yang akan merugikan negara dan kantong mereka dan mengubah hasil pemilihan, mereka keliru.”

Anak menantu Erdogan, Menteri Energi Berat Albayrak, menggambarkan kemerosotan mata uang sebagai “operasi yang direncanakan secara eksternal”[7].

Hal ini dimungkinkan mengingat Erdogan telah mengecewakan banyak negara dengan ikut campurnya Turki di Suriah dan tindakan kebijakan luar negerinya di kawasan itu. Apa yang ditunjukkan ini adalah bahwa Erdogan, yang telah mensyaratkan keberhasilannya dalam bidang ekonomi, dalam kenyataannya membangun ekonominya dari pinjaman. Istana pasir sekarang saat ini mulai runtuh ketika arus dari para investor asing datang.

 

Catatan kaki:

[1] https://www.bloomberg.com/news/videos/2018-05-18/a-conversation-with-recep-tayyip-erdogan-full-show-video

[2] https://www.economist.com/special-report/2016/02/06/erdoganomics

[3] http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-imf-debt-to-be-paid-off-foreign-debt-stock-still-on-increase-46647

[4] http://www.bbc.co.uk/news/magazine-25548060

[5] https://www.bloomberg.com/news/articles/2017-06-22/why-erdogan-is-flooding-turkey-s-economy-with-credit

[6] https://apnews.com/4ce148cd288c444988352a3f0adddfbb

[7] http://foreignpolicy.com/2018/05/25/erdogan-is-a-mad-economist-and-turkey-is-his-laboratory/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 5 =

Back to top button