Fikih

Akad Nikah yang Batil dan Fasad

Soal:

Apa perbedaan antara syarat sah dan syarat in’iqad dalam akad nikah? Apa pengaruhnya terhadap akad? Kapan membatalkan akad dan kapan membuatnya fasad?

 

Jawab:

Kami telah menjelaskan dan merinci hal itu dalam Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ’î:

Pernikahan itu terakadkan dengan ijab dan qabul yang sama-sama syar’i. Ijab adalah ucapan (kalimat) yang keluar pertama dari kedua pihak yang berakad. Qabul adalah ucapan (kalimat) yang keluar kedua dari pihak kedua yang berakad…Agar akad pernikahan terjadi disyaratkan empat syarat: Pertama, kesatuan majelis ijab dan qabul. Keberadaan majelis yang di situ keluar ijab adalah majelis yang sama yang di situ keluar qabul. Ini jika kedua pihak yang berakad sama-sama hadir di majelis itu. Jika salah satu dari keduanya berada di satu negeri dan pihak yang satunya berada di negeri lain, lalu salah satu menulis surat kepada yang lain menyatakan ijab pernikahan, dan pihak yang dituju surat itu menerimanya, maka terakadkanlah pernikahan tersebut. Akan tetapi, dalam kondisi ini disyaratkan, wanita itu membaca surat tersebut atau surat tersebut dibacakan di hadapan dua orang saksi, dan kedua orang saksi itu mendengar ungkapan surat tersebut, atau wanita itu mengatakan kepada kedua orang saksi itu, “Si Fulan mengirim surat kepada saya mengkhitbah saya.” Lalu wanita itu mempersaksikan kepada kedua orang saksi itu di majelis tersebut bahwa dia menikahkan dirinya (menerima pernikahan) dari laki-laki (si Fulan mengirim surat) itu.

Kedua, masing-masing dari kedua pihak yang berakad mendengar dan memahami ucapan pihak lainnya dengan mengetahui bahwa pihak lain itu ingin mengakadkan pernikahan dengan ungkapan tersebut. Jika dia tidak mengetahui hal itu, (misalnya) dia tidak mendengar atau tidak memahami, sebagaimana jika seorang laki-laki membisikkan kepada seorang wanita makna “aku menikahkan diriku” dengan bahasa Prancis, misalnya, sementara wanita itu tidak memahaminya, dan wanita itu mengatakan lafal yang dibisikkan kepada dia itu tanpa memahaminya dan dia menerima hal itu, tanpa tahu bahwa tujuan dari apa yang dia katakan adalah akad pernikahan, maka pernikahan itu tidak terakadkan. Sebaliknya, jika wanita itu mengetahui bahwa tujuan dari apa yang dia katakan adalah akad pernikahan maka akad itu sah.

Ketiga, qabul tidak menyalahi ijab, baik menyalahi seluruhnya atau sebagiannya.

Keempat, syariah benar-benar memperbolehkan salah satu pihak yang berakad itu menikahi pihak yang lain, yakni perempuan itu Muslimah atau perempuan ahlu kitab dan laki-laki itu Muslim, tidak yang lain.

Jika akad tersebut memenuhi keempat syarat-syarat ini maka akad pernikahan tersebut terakadkan. Jika tidak memenuhi satu saja dari keempat syarat itu maka pernikahan tersebut tidak terakadkan dan statusnya batil sejak dari asasnya.

Agar pernikahan sah harus memenuhi syarat-syarat keabsahannya, yaitu tiga syarat: Pertama, perempuan itu haruslah sah untuk dilangsungkan padanya akad pernikahan tersebut, misalnya tidak menghimpun antara dua perempuan yang bersaudara.

Kedua, pernikahan tidak sah kecuali dengan wali. Seorang perempuan tidak memiliki wewenang untuk menikahkan dirinya sendiri, dan tidak pula berwenang menikahkan perempuan lainnya. Dia juga tidak memiliki wewenang mewakilkan pihak lain selain walinya dalam menikahkan dirinya. Jika dia melakukan itu maka pernikahannya tidak sah.

Ketiga, hadirnya dua orang saksi Muslim, balig, berakal dan mendengar ucapan kedua pihak yang berakad serta memahami bahwa tujuan dari ucapan yang dengan itu terjadi ijab dan qabul adalah akad pernikahan.

Jika akad tersebut memenuhi syarat-syarat tersebut maka akad itu sah. Jika tidak memenuhi salah satunya maka akad penikahan itu fasad (rusak).

Setelah itu kami menjelaskan dalil-dalil atas syarat-syarat ini di dalam An-Nizhâm al-Ijytimâ’î. Dari situ jelas bahwa syarat-syarat in’iqâd itu jika tidak terpenuhi menjadikan akadnya batil. Jelas pula bahwa syarat-syarat sah itu, jika tidak terpenuhi, membuat akad tersebut fasad.

Ada perbedaan antara fasad dan batil. Batil adalah tidak memenuhi ketentuan Asy-Syâri’ sejak dari pangkal/asal (ashl)-nya. Artinya, asalnya adalah terlarang, atau bahwa syarat yang tidak terpenuhi itu mengosongkan asal perbuatan tersebut. Adapun  fasad itu pada pangkal/asal (ashl)-nya sesuai (memenuhi) ketentuan Asy-Syâri’, tetapi sifatnya yang tidak mengosongkan asalnya menyalahi ketentuan Asy-Syâri’. Tidak tergambar adanya fasad dalam ibadah. Yang ada adalah batil sebab siapa yang menelaah syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah niscaya dia menemukan bahwa semuanya berkaitan dengan asal (al-ashl). Akan tetapi, fasad itu tergambar dalam muamalah, jadi tergambar dalam akad. Misalnya, bay’ al-malâqîh, yakni jual-beli apa yang ada di perut hewan, adalah batil sejak dari asasnya, sebab hal itu dilarang dari asalnya. Berbeda dengan bay’ al-hâdhir li bâdi (jual-beli orang kota dengan orang kampung). Itu adalah jual-beli fasad karena ketidaktahuan orang kampung itu atas harga pasar. Dalam kondisi itu dia diberi pilihan ketika dia mengetahui pasar, ia boleh menjalankan jual-beli itu atau mem-fasakh-nya. Misal lain, syirkah musâhamah adalah batil sejak asalnya sebab kosong dari syârik badan. Jadi syirkah musâhamah kosong dari syarat yang berkaitan dengan asal. Akan tetapi, seandainya beberapa orang syârik ber-syirkah sesuai syarat-syarat yang syar’i, hanya saja salah satu dari para syârik itu mensyaratkan dia mendapat jumlah tertentu, maka syirkah tersebut fasad. Pasalnya, di dalamnya ada gharar dalam deskripsi (potret) dan bukan pada asalnya, karena untuk syârik itu adalah nisbah dari keuntungan dan bukan jumlah tertentu. Mungkin saja, syirkah itu rugi. Karena itu jika mereka bersepakat atas nisbah keuntungan, hilanglah fasad tersebut dan akad tersebut berubah menjadi sah.

Begitulah, tidak ada perbedaan antara batil dan fasad dalam ibadah. Semua ibadah itu ada kalanya sah dan membebaskan dari tanggungan dan ada kalanya tidak sah sehingga kewajiban tersebut tidak gugur. Shalat itu, kalau tidak sah, ya batil, tidak ada yang lain. Akan tetapi, batil berbeda dari fasad dalam akad-akad finansial yang memunculkan komitmen timbal-balik atau memindahkan kepemilikan semisal akad jual-beli, ijârah, hawalah, syirkah dan semisalnya.

Adapun dalam pernikahan, akad pernikahan yang batil dan fasad masing-masing menyalahi syariah. Akan tetapi, akad yang batil dihapuskan sejak dari asalnya dan tidak ada pengaruhnya. Jika terjadi senggama maka itu dihukumi zina. Anak yang lahir tidak dinisbatkan kepada laki-laki yang menggauli wanita itu. Wanita itu pun tidak memiliki masa ‘iddah. Ia juga tidak berhak atas mahar dan juga tidak ada mahram karena pernikahan. Ini karena akad itu batil sejak dari asalnya.

Adapun akad fasad maka yang menyalahi syariah adalah pada syarat-syarat sah dan bukan pada syarat-syarat in’iqâd. Oleh karena itu meskipun dosa menimpa kedua pihak yang berakad, akad itu ada pengaruhnya jika terjadi senggama, yakni jika suami menyetubuhi perempuan itu. Adapun jika laki-laki itu belum menyetubuhinya dalam akad fasad itu maka tidak ada pengaruh atasnya. Pengaruh yang menjadi akibatnya dalam kondisi terjadi persenggamaan suami kepada istrinya dalam akad fasad di antaranya:

Pertama, mahar. Mahar tetap wajib dalam pernikahan yang fasad karena terjadinya persenggamaan. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw.:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، ……..

Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, maka pernikahanya batil, maka pernikahannya batil. Jika Jika laki-laki (suami) itu menyetubuhi perempuan itu (istrinya) maka perempuan itu berhak atas mahar dengan apa yang suami menjadikan halal kemaluan perempuan itu.  (HR at-Tirmidzi).

Dalam hadis ini, Nabi saw. menjadikan mahar untuk perempuan yang dinikahi dalam pernikahan yang fasad, yakni tanpa izin walinya, dengan syarat suami tersebut telah menyetubuhinya. Hal itu karena Rasul saw mengaitkan mahar dengan persenggamaan. Dalam hadis tersebut dinyatakan “fa in dakhala bihâ falahâ al-mahru bimâ istahalla min farjihâ”. Karena itu jika laki-laki itu menyetubuhi perempuan yang dia nikahi tanpa izin walinya itu maka untuk perempuan itu berhak atas maharnya karena apa yang laki-laki itu telah menjadikan halal kemaluan perempuan itu.

Kedua, ada pengaruh-pengaruh lainnya yang menjadi akibat pernikahan yang fasad tersebut jika di situ telah ada persenggamaan. Akan tetapi, di situ ada rincian dan perbedaan-perbedaan fiqhiyyah semisal masalah masa ‘iddah, nasab, pewarisan dan mahram karena pernikahan. Siapa saja yang memiliki keperluan atas hal itu maka dia bisa merujuk padanya.

[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 29 Jumadul Ula 1439 H-15 Februari 2018 M]

 

Sumber:

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/49767.html

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/769072946623112/?type=3&theater

https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/GXrChTWfHqg

https://twitter.com/ataabualrashtah/status/964156401156272128

http://archive.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3853

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 − 2 =

Back to top button