Hiwar

Ust Ismail Yusanto: Konflik Suriah Bukan Karena Khilafah

Belakangan mencuat propaganda “Jangan Suriahkan Indonesia”. Ini merupakan bagian dari labelling, monsterizing dan framing. Labelling, melabeli seruan Islam dengan label buruk dan jahat. Monsterizing, menggambarkan Islam dan seruannya layaknya monster menakutkan agar umat Islam menjauhi Islam, dakwah Islam dan para pejuangnya. Framing, membingkai seruan Islam dengan bingkai-bingkai buruk nan menakutkan. Tujuannya untuk menimbulkan ketakutan dan permusuhan terhadap Islam, dakwah Islam dan para pejuangnya.

Inilah yang antara lain dijelaskan oleh Ustadz M. Ismail Yusanto dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

 

Ada  apa sebenarnya di balik propaganda  “Jangan Suriahkan Indonesia?”

Ini sebenarnya masih bagian dari strategi labelling dan monsterizing dalam melawan apa yang mereka sebut Islam radikal. Sebutan radikal merupakan bagian dari politik labelling (penjulukan). Islam  “jenis” ini (dalam tanda petik karena tentu tidak ada jenis-jenis Islam) adalah Islam yang dianggap berbahaya. Harus diwaspadai. Bahkan harus dimusuhi dan dimusnahkan. Padahal senyatanya, itu hanya karena Islam jenis ini bukanlah Islam seperti yang mereka mau, yang mudah ditundukkan guna mendukung kepentingan mereka. Inilah jenis Islam yang tegas menginginkan tegaknya ajaran Islam demi kemuliaan Islam dan umatnya (‘izzul Islam wal muslimin).

Untuk menambah daya takut dan daya permusuhan publik terhadap Islam jenis ini, dilakukanlah politik monsterisasi atau monsterizing. Monsterisasi adalah taktik politik yang menempatkan sesuatu sedemikian agar ditakuti bagaikan monster, padahal senyatanya tidak.  “Jangan Suriahkan Indonesia” adalah propaganda guna menimbulkan ketakutan dan permusuhan terhadap apa yang disebut Islam radikal tadi.

Noam Chomsky, profesor   linguistik dari MIT, AS, menyatakan bahwa saat ini ada rekayasa sistematis untuk menempatkan sesuatu agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan sehingga harus dimusuhi, dijauhi dan bahkan dibasmi. Dalam teori komunikasi, usaha ini disebut demonologi atau monsterisasi. Ini masuk dalam teori labelling tadi. Sedihnya, korban-korban misinterpretasi ini pasti tidak akan dapat menahan pengaruh dari proses penjulukan yang dilakukan dengan sedemikian hebat oleh penguasa melalui saluran-saluran resmi.

Labelling dan monsterizing terhadap apa yang disebut “Islam radikal” adalah taktik yang sangat jahat. Telah banyak sekali memakan korban pihak yang sebenarnya tidak bersalah. Mengapa? Jikalau taktik ini berhasil, dan publik terperdaya, maka penguasa seolah absah melakukan apapun terhadap pihak yang disebut radikal itu. Sama seperti tindakan terhadap orang yang disebut teroris. Bahkan baru terduga teroris pun seolah absah untuk dibunuh. Padahal belum tentu mereka benar-benar teroris. Publik mendukung tindakan itu karena merasa tindakan yang diambil oleh penguasa  diperlukan guna menghilangkan sesuatu yang menakutkan itu.

Begitu juga dengan propaganda “Jangan  Suriahkan Indonesia”. Jikalau propaganda ini berhasil, publik juga akan mendukung apapun tindakan rezim guna melenyapkan pihak-pihak yang dianggap akan men-”Suriah”-kan Indonesia.

 

Benarkah pandangan yang mengatakan konflik di Suriah dan wilayah Timur Tengah lainnya adalah karena ide radikal terutama Khilafah?

Ya, tidaklah. Ini  jelas framing. Kita tahu, selain labelling dan monsterizing, mereka juga melakukan politik framing. Apa itu framing? Framing atau pembingkaian adalah kegiatan mengemas (packaging) dan mengkontekstua-lisasikan (contextualizing) sebuah kejadian atau peristiwa dengan narasi tertentu. Misalnya, pernyataan bahwa Suriah popark-poranda karena ide khilafah. Bisa juga dengan menggunakan istilah-istilah tertentu. Misalnya, sebutan radikal, fundamentalis, garis keras (hard-liner) dan lainnya. Sedemikian sehingga dihasilkan opini publik seperti yang diinginkan oleh penguasa, yang biasanya jauh atau menyimpang dari konteks yang sebenarnya.

Apa yang terjadi di Suriah, juga di negara-negara Timur Tengah lain seperti Tunisia, Libya, Mesir dan lainnya, sederhananya dipicu oleh rakyat yang merasa gerah akibat kezaliman yang dilakukan penguasa, seperti Bashar Assad di Suriah. Lalu mereka melawan. Mereka melakukan protes dan demo. Namun, protes rakyat yang awalnya dilakukan dengan damai itu dihadapi Bashar dengan kejam. Mereka dihajar dengan berondongan senjata. Bahkan beberapa kota, seperti Falluja yang menjadi pusat perlawanan, tanpa ampun dibom. Ribuan orang tewas. Rakyat tentu saja makin marah. Mulai saat itulah, rakyat berganti membalas dengan perlawanan senjata juga. Lalu dibentuklah kelompok-kelompok Mujahidin seperti Jabhah Nusrah, Ahrarus Syam dan sebagainya. Mereka mendapat sokongan dari para Mujahidin dari luar Suriah.

Di sisi lain, Iran dan Rusia serta Cina yang ingin mempertahankan koneksi politik dan ekonomi di kawasan yang sangat strategis itu, turun membantu Bashar. Mereka tidak rela sekutunya jatuh. Melihat Rusia dan China terlibat, AS pun tidak tinggal diam. Keadaan tentu saja makin kacau.

Jadi, bila konflik kemudian berkembang kompleks seperti yang kita lihat saat ini, jelas sekali pemicu awalnya adalah kezaliman Bashar yang makin tak terkendali, ditambah  adanya keterlibatan pihak asing. Bukan karena ide khilafah.

 

Namun faktanya, kelompok-kelompok perlawanan itu, memang menginginkan Khilafah?

Ya, itu fakta. Tidak ditutup-tutupi. Semua orang juga tahu. Tapi apa itu salah? Khilafah adalah aspirasi umat di sana. Itu wajar belaka. Bagi umat yang paham  Islam dengan baik, ketika berbicara tentang perjuangan politik, pasti akan sampai pada ide khilafah. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat esensial. Khilafah menjadi kunci perwujudan persatuan umat yang hakiki dan penerapan syariah secara kâffah. Khilafah tersebut dalam banyak hadis, diurai dalam berbagai kitab mu’tabar dan pernah berperan sangat penting dalam keagungan peradaban Islam. Jadi tak salah bila ajaran ini pula yang telah memberikan spirit perjuangan bagi tegaknya kembali izzul Islam wal muslimin. Termasuk perlawanan terhadap rezim zalim  di berbagai negara, seperti Bashar Assad di Suriah. Apalagi umat Islam di sana yang mayoritas Sunn tahu Bashar Assad adalah pengikut Syiah Nushairiyah yang telah dinyatakan keluar dari Islam oleh para ulama. Jadilah perjuangan di sana makin bergelora.

Jika orang boleh memilih kapitalis, sosialis bahkan komunis, mengapa umat Islam tidak boleh memilih Islam dengan khilafahnya?

 

ISIS yang kerap dituding sebagai kelompok yang membuat kekacauan di Timur Tengah, bukankah juga menginginkan Khilafah?

Betul. Tapi menginginkan Khilafah, tidaklah otomatis menandakan perjuangan itu pasti benar. Bergantung pada Khilafah seperti apa yang dia maksud dan apa motif di balik itu. Itu sama seperti orang yang tampak giat beribadah, padahal maksudnya adalah sekadar untuk mengelabuhi umat supaya dia dianggap islami. Hal seperti itu tentu tidak otomatis mencerminkan kebaikan. Kita harus tetap waspada. Banyak orang munafik di sekitar kita yang tak segan menggunakan cara-cara licik, termasuk mau bertindak seolah  islami untuk kepentingan  yang justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Memang Khilafah, sebagai ajaran Islam, saat ini tengah mengalami monsterisasi hebat.  Barat tahu, ke depan dominasi dan hegemoni mereka atas dunia, khususnya Dunia Islam, yang sudah berjalan sekian lamanya ini, bakal menghadapi tantangan serius jika Khilafah benar berdiri. Tanda-tanda ke arah itu sudah makin tampak. Mereka tahu itu. NIC bahkan memperkirakan Khilafah bakal tegak di tahun 2020. Tak mau hal itu terjadi, Barat mencegah dengan sekuat tenaga. Bagaimana caranya?

Di antaranya, diciptakan rasa takut pada Khilafah. Berbagai rekayasa dilakukan. Mereka katakan Khilafah sebagai ajaran radikal. Lalu coba diidentikkan atau dikaitkan dengan ISIS. Kemudian tiap kali disebut ISIS, yang digambarkan selalu adalah kekacauan dan kehancuran negara seperti Suriah dan Irak. Selanjutnya, ini tampaknya yang menjadi tujuan akhirnya, digambarkan bahwa bila hal itu dibiarkan, ide khilafah juga bakal menghancurkan Indonesia. Walhasil publik menjadi takut, lalu menjauh dan menolak ide yang sesungguhnya sangat penting untuk mewujudkan ukhuwah islamiyyah secara nyata, penerapan syariah secara kâffah dan pelaksanaan dakwah.

Ini jelas ironi besar. Bagaimana mungkin umat Islam takut pada ajaran agamanya sendiri? Karena takut, mereka menjadi tidak ingin Khilafah tegak. Bahkan tidak sedikit dari kalangan umat yang mendukung tindakan keras penguasa kepada para pejuang Khilafah.

 

Terkait Indonesia, disebutkan bahwa kelompok radikal, sama seperti di Suriah dan Timur Tengah yang bergolak, menggunakan agama sebagai alat politik. Benarkah?

Ini tuduhan yang masih dalam kerangka politik framing, labelling dan monsterizing. Mari kita nilai secara obyektif. Siapa sebenarnya yang paling layak disebut telah menggunakan agama untuk kepentingan politik? Kelompok Islam atau kelompok sekular? Pasti kelompok sekular. Mengapa? Kalau kelompok Islam, ya jamaklah mereka menggunakan Islam dalam kegiatan politik karena mereka memang adalah kelompok Islam. Memang begitulah ajaran Islam. Islam harus hadir dalam seluruh aspek kehidupan umat. Wajar bila kemudian Islam pula yang menjadi spirit perjuangan mereka. Ini sebagaimana   Rasulullah saw. dulu lakukan, juga para sahabat. Bahkan spirit Islamlah yang mendasari perlawanan terhadap penjajahan di negeri ini pada masa lalu. Ingat, resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH Hasyim Asy’ari-lah yang berhasil menggelorakan semangat anak muda Surabaya untuk berani melawan Belanda.

Lah, kalau kelompok sekular, apa kepentingannya mereka menggunakan Islam, memakai atribut-atribut Islam seperti kopiah, kerudung, lalu bikin acara-acara Islam dan lainnya? Jadi, merekalah yang sesungguhnya layak disebut telah menggunakan agama untuk kepentingan politik.

 

Mereka juga mengatakan kelompok-kelompok Islam menggunakan mimbar-mimbar masjid sebagai alat politik?

Ini juga tuduhan. Kita semua tahu, selain untuk ibadah, masjid memang berfungsi sebagai sentra pembinaan umat. Agar umat menjadi lebih paham dan lebih semangat mengamalkan Islam. Apa itu salah?

Jelas sekali. Tuduhan itu mereka lontarkan karena mereka melihat masjid menjadi pusat perlawanan terhadap kezaliman penguasa. Mereka tentu tidak senang dengan keadaan ini. Lalu dilontarkanlah tuduhan itu. Coba kalau yang terjadi sebaliknya, kajian atau tablig atau pembinaan di masjid mengarahkan umat untuk mendukung Pemerintah, pasti tidak akan ada tuduhan seperti itu.

 

Hal yang sama, kata mereka, sikap anti pemerintah dan anti sistem yang ada, juga terjadi di Suriah dan Timur Tengah?

Samalah dengan yang sebelumnya. Mereka tentu ingin propaganda “Jangan Suriahkan Indonesia” tampak logis. Karena itu dibangun argumen, di antaranya dengan menunjukkan seolah-olah banyak kemiripan antara apa yang terjadi di Suriah dan apa yang terjadi di negeri ini. Padahal kalaulah ada yang sama, tidak berarti apa yang terjadi di Suriah bakal terjadi di Indonesia, atau bakal terjadi juga di negeri lain. Misalnya, anti pemerintah, bahkan juga anti sistem. Itu  pun terjadi juga di AS. Lihatlah protes-protes massal melawan Trump. Juga protes publik AS melawan Kapitalisme dalam demo yang terkenal ‘occupy wallstreet’. Apakah lantas di AS juga bakal terjadi seperti Suriah?

 

Pentolan liberal bahkan menuding Aksi 212 mirip dengan Suriah. Mereka menggunakan agama untuk melakukan mobilisasi massa. Bagaimana?

Itulah kedunguan. Aksi 212 sudah berlangsung tiga tahun berturut-turut. Yang terakhir kemarin bahkan diikuti oleh massa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pertama. Bagaimana aksi seperti itu bisa terjadi? Apa yang membuat jutaan umat tumplek bleg di Monas, bahkan sejak selepas tengah malam, bila bukan karena dorongan agama? Apakah umat Islam tidak boleh punya spirit agama dalam bertindak? Mengapa lalu dituduh mirip dengan Suriah? Dari mana mereka ambil kesimpulan bahwa aksi itu mirip dengan Suriah? Apakah dalam aksi itu ada seruan kekerasan?  Jangan kekerasan atau keributan, rumput dan tanaman pun terjaga. Lantas dari mana mereka bisa bilang Aksi 212 itu tanda-tanda mirip dengan Suriah?

 

Apa faktor-faktor yang membedakan Indonesia dan Suriah, menurut Ustadz?

Pertama, tingkat kezaliman. Pemerintah di negeri ini sangat zalim. Tapi rezim Suriah jauh lebih zalim. Kezaliman di sana sudah sampai menyentuh sisi yang paling esensial dari keyakinan atau akidah seorang Muslim. Bagaimana bisa diterima jika umat Islam di sana dipaksa mengucapkan: La ilâha illâ Bashar, Bukan La ilâha illallâh?

Kedua, cara penanganan protes rakyat. Di negeri ini, protes rakyat kita lihat juga ditangani dengan cara yang  cukup keras. Lihatlah bagaimana mahasiswa yang demo digebugi, ditendang, diseret segala macam. Tapi sekeras itu tidak sampai menggunakan peluru tajam. Paling jauh dengan gas air mata dan peluru gas. Adapun di Suriah, rakyat yang protes ditembaki seperti hewan tak berharga. Bagaimana rakyat di sana tidak makin marah?

Ketiga, campur tangan asing. Di negeri ini, sudah bukan rahasia lagi, ada tangan-tangan asing dan aseng yang masuk ke dalam jantung pemerintahan. Sama seperti di Suriah. Tapi keterlibatan asing dan aseng itu baru sebatas regulasi dan kebijakan guna menjaga kepentingan politik dan ekonomi mereka. Adapun di Suriah, asing dan aseng melibatkan diri secara militer langsung.

 

Hal lain, adakah  peran Hizbut tahrir (HT) dalam perubahan-perubaan di Timur Tengah?

Tentu ada. Utamanya adalah dalam memberikan arah atau perspektif perjuangan. Dalam pandangan HT, perjuangan Islam itu: Pertama, harus benar-benar demi Islam. Demi tegaknya kekuasaan dan sistem Islam. Itulah Khilafah. Bukan demi yang lain. Kedua, perjuangan itu harus benar-benar murni dengan kekuatan umat. Harus dihindarkan sejauh-jauhnya keterlibatan pihak asing dan aseng, baik dari Barat maupun Timur, dalam perjuangan itu. Pasalnya, keterlibatan mereka pastilah tidak diberikan secara cuma-cuma. Ada misi buruk di belakangnya yang pada akhirnya akan merugikan umat.   Ketiga, sistem dan kekuasaan Islam yang dimaksud itu harus benar-benar bersumber dari ajaran Islam yang benar. Tidak bercampur dengan paham atau pemikiran lain yang bukan berasal dari Islam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + 14 =

Back to top button