Iqtishadiyah

Mengelola Tambang Freeport Sesuai Syariah

Sebagaimana diketahui, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang paling lama bercokol di Tanah Air. Menguasai secara luas tambang tembaga dan emas di Bumi Papua selama puluhan tahun. Izin/kontraknya terus diperpanjang setiap kali habis. Terakhir, harusnya habis pada tahun 2020. Namun demikian, wacana tentang perpanjangan ijin PT Freeport hingga tahun 2040 terus bergulir.

Belakangan memang ada isu terkait pembelian 51% saham Freeport oleh Pemerintah. Isu ini mengundang kontroversi. Sebabnya, cukup menunggu 2 tahun lagi masa kontrak PT Freeport, sejatinya tambang emas dan tembaga di Bumi Papua itu otomatis kembali ke pangkuan Bumi Pertiwi.

 

PT Freeport Merugikan Negara

Baru-baru ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah temuan terkait PT Freeport. Laporan hasil Pemeriksaan BPK menunjukkan adanya potensi kerugian Negara yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Termasuk kerusakan alam akibat perusahaan itu melanggar banyak ketentuan dalam pengelolaan tambang.

BPK menemukan minimal ada 14  poin pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport. Nilai kerugiannya bisa mencapai Rp 185 triliun. Temuan tersebut di antaranya adalah kelebihan pembebanan biaya concentrate handling pada Freeport Indonesia selama periode 2013 hingga 2015. Akibatnya, ada kekurangan penerimaan royalti US$ 181.459,93. Kemudian ada dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary dan ada yang telah mencapai kawasan laut. Nilainya mencapai Rp 185 triliun. Temuan lainnya, ada areal tambang PT Freeport yang masuk dalam kawasan hutan. Padahal perusahaan asal Amerika Serikat itu belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPH). Jadi, jika IPPKH terbit sebenarnya ada potensi penerimaan Negara Rp 33,85 miliar.

Kemudian ada aktivitas pertambangan bawah tanah yang belum memiliki izin Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tidak masuk dalam Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH). Padahal PT Freeport telah memproduksi Deep Mill Level Zone (DMLZ) per September 2017 dengan menggunakan metode blok cave. Kegiatan produksi itu mengacu pada laporan Freeport Mc-Moran Inc yang tertuang dalam Form 10-K per 31 Desember 2015, yang ditujukan ke Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat. Padahal dalam laporan PT Freeport Indonesia kuartal IV 2015 ke Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, DMLZ masih proses persiapan produksi dan pengembangan Https://katadata.co.id/berita/2018/10/22/)

Dari sisi penerimaan Negara atas pajak dan dividen, faktanya  sejak Kontrak karya “generasi pertama” ini, PT Freeport sudah mendapat keistimewaan dari Pemerintah, Pemerintah  memperbolehkan PT Freeport menikmati masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak sebesar 35 persen selama tujuh tahun berikutnya, serta pembebasan segala macam pajak ataupun royalti selain lima persen pajak penjualan. Kondisi ini tidak ada perubahan signifikan sampai saat ini. Bahkan PT Freeport seolah-olah perusahaan yang kebal hukum.

Sebelum kasus disvestasi muncul,  terjadi juga polemik terkait tunggakan pajak PT Freeport. Polemik ini  muncul setelah Hakim Mahkamah Agung membatalkan keputusan Pengadilan Pajak  yang mengesahkan tagihan pajak air permukaan Pemerintah Provinsi Papua ke PT Freeport sebesar Rp 2,6 triliun.  Gubernur Papua Lukas Enembe pernah mengadukan masalah ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena PT Freeport Indonesia belum juga melunasi pajak air permukaan kepada Pemerintah Provinsi Papua. Aduan disampaikan Lukas saat rapat terbatas evaluasi Proyek Strategis Nasional di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (19/7) tahun lalu. Namun, harapan untuk mendapatkan pembayaran itu kandas setelah  Keputusan Mahkamah Agung  mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT Freeport Indonesia.

PT Freeport Indonesia sejak 2011 tak lagi membayar deviden kepada Negara. Setelah ditagih, baru membayarkan dividen kepada Pemerintah pada 2017 lalu. Itu pun hanya sebesar Rp 1,4 triliun. Jadi selama 5 tahun PT Freeport tidak membayarkan dividen.

 

Divestasi Saham Bertentangan dengan Syariah 

Divestasi saham adalah sebuah upaya untuk mengurangi  kepemilikan saham sebuah perusahaan dengan jalan menjual saham tersebut kepada pihak lain.  Dalam kasus PT Freeport, saat ini Komposisi Kepemilikan saham PT Freeport Indonesia per Desember 2017 sebagai berikut: Pemerintah melalui PT  Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) memiliki 21.300 lembar saham @ US$ 100 perlembar atau senilai US$ 21,3 juta atau setara 9,36%, PT  Indocover Investama sebanyak 21.300 lembar saham atau setara 9,36% dan Freeport MC Moran Inc (FCX) sebanyak 184.890 lembar atau setara 81,28% dari total saham. Divestasi saham Freeport dilakukan agar Pemerintah Indonesia bisa memiliki 51% saham dengan cara membeli 9,36% saham yang dimiliki oleh PT Indocover Investama sehingga menjadi 18,72% ditambah pelepasan saham dari  Freeport MC Moran Inc (FCX) 32, 28%.  Jadi kepemilikan saham setelah divestasi, Pemerintah melalui PT Inalum memiliki 51% dan Freeport MC Moran Inc (FCX) memiliki 49%.

Berdasarkan fakta divestasi saham tersebut, seandainya Pemerintah sudah  memiliki 51% saham pun,  dalam pandangan Islam, tetap  batil. Sebabnya, dalam pandangan Islam, tambang yang dielola PT Freeport itu adalah milik umum yang harus 100% dimiliki oleh Pemerintah sebagi wakil dari rakyat.

 

Pengelolaaan Tambang Menurut Syariah

Dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah, kepemilikan atas  barang dan jasa dikelompokkan menjadi tiga: milik individu, milik umum dan milik negara.

Kepemilikan Umum itu terdiri  dari tiga kategori: Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti air. Rasulullah saw. telah menjelaskan mengenai sifat-sifat sarana umum:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal: yaitu air, padang rumput dan api (HR al-Bukhari).

 

Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan Rasulullah saw. untuk seluruh manusia. Harta ini tidak terbatas yang disebutkan pada hadis di atas, tetapi meliputi setiap benda yang di dalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.

Kedua, harta yang keadaannya asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut al-Maliki, hak  milik umum jenis ini, jika berupa sarana umum seperti halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalilnya yang mencakup sarana umum. Hanya saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya, Seperti  jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, yang bebas mereka lewati, dan tidak boleh dimiliki oleh seorang pun.

Ketiga, barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik bersama dan dapat dikelola oleh Negara. Bisa juga Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.

Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas dapat digolongkan ke dalam milik pribadi. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut:

 

Abyad bin Hammal pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.”

Nabi saw. pun memberikan tambang itu kepada  dia.  Namun, ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh, Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air yang mengalir (al-mâ’ al-‘idd).”

Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari Abyad bin Hammal (HR Abu Dawud).

 

Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah ‘illat atas larangan  sesuatu milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya terlalu banyak untuk dimiliki oleh individu.

Tambang emas yang dikelola PT FI  merupakan tambang terbesar di dunia dengan nilai cadangan mencapai US$ 42 miliar. Ditambah dengan cadangan tembaga senilai US$ 116 miliar dan perak senilai US$ 2,5 miliar. Total cadangan terbukti mencapai US$ 160 miliar atau setara Rp 2.290 triliun.

Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, tambang di Bumi Papua yang dikelola oleh PT Freeport merupkan milik umum yang wajib dikelola oleh Negara sebagai wakil dari umat. Haram dikuasi oleh pihak asing.

Pengelolaan kepemilikan umum oleh Negara dapat dilakukan dengan dua cara’ Pertama: Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar dll bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini Negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagai masyarakat.

Kedua Pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka wajib dikelola oleh Negara. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas Negara sebagai sumber pendapatan utama APBN untuk kepentingan rakyat.

Negara tidak boleh menjual hasil dari kepemilikan umum itu kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—demi meraih untung. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi,  Namun demikian, boleh saja Negara menjualnya dengan mendapatkan untung yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Adapun jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, Negara boleh mencari untung semaksimal mungkin.

Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan:  Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan Negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi.  Kedua, dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.

Adapun barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat—semisal emas, perak, tembaga, batubara dll—bisa dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi kepada seluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis dan pelayanan umum lainnya.

 

Langkah Praktis

Pertama: Langkah pertama adalah membatalkan semua kepemilikan saham individu atau swasta,  baik asing atau domestic. Caranya dengan membayar harga normal yang mereka keluarkan untuk mendapatkan saham tersebut atau jumlah investasi yang sudah mereka keluarkan sebesar pokoknya saja.

Kedua: Membubarkan bentuk PT atau perseroan saham, terutama atas pengelolaan barang tambang milik umum.

Ketiga: Pemerintah, dengan kepemilikan 100%, mengelola secara langsung atau boleh juga dengan mengontrak suatu perusahaan swasta khususnya dari dalam  negeri, namun hubungannya adalah ajir-musta’jir (majikan-karyawan), bukan sebagai pemilik  dan pemegang konsesi. Alternatif lain: seluruh aset perusahaan PT Freeport  dibagi berdasarkan nilai investasi yang telah dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Ini di luar tambang yang mereka kelola yang masih tersisa. Ia tidak boleh dibagi karena statusnya adalah hak milik umum.

Proses tersebut harus dilakukan bukan hanya untuk tambang yang dikelola PT Freeport. Hal yang sama juga berlaku untuk pengelolaan tambang milik umum lainnya. Termasuk industri yang memproduksi barang-barang yang tabiatnya tidak bisa dimonopoli oleh individu; barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, atau barang-barang yang memang volumenya besar sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu. Penguasaan individu (swasta), baik asing maupun domestik, atas industri seperti ini harus dibatalkan. Seperti industri petrokimia, pertambangan besi, batubara dan sebagainya.

Namun demikian, proses tersebut sulit untuk dilakukan bahkan hampir mustahil selama ideologi Kapitalisme berikut sistemnya masih diadopsi oleh Pemerintah.  Karena itu, ideologi dan sistem Kapitalisme itu harus ditinggalkan. Selanjutnya negera ini harus segera mengambil dan menerapkan ideologi dan sistem Islam dengan syariahnya dalam naungan Sistem Khilafah.  Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan dalam institusi Khilafah, sumberdaya alam ini bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dengan baik dan penuh dengan keberkahan. [MAN/LM]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 1 =

Back to top button