Afkar

Praktik Toleransi dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam yang panjang, tidak ditemukan kasus penindasan yang dilakukan oleh umat Muslim terhadap umat lainnya. Bahkan ketika umat Muslim berkuasa melalui sistem Kekhilafahan di dunia, tidak ada pemaksaan terhadap umat lainnya untuk memeluk Islam. Umat non-Muslim tetap dilindungi untuk melaksanakan aktivitas ibadah sesuai agama mereka. Menarik apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong: There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire  (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium [Khilafah] Islam).” (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited, 1991, hlm. 44).

 

Toleransi di Negara Islam

Konstitusi suatu negara dapat memberikan gambaran umum kebijakan negara tersebut terhadap warganya. Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam bukunya, Fiqh as-Sîrah (1990), menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi suatu Negara, yakni  Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Rasulullah Saw. Gambaran kebijakan negara yang dibangun oleh Rasulullah saw. itu dapat dilihat dari poin-poin aturan dalam piagam tersebut.

Sebagaimana diketahui Piagam Madinah ditetapkan pada tahun 1 Hijriyah atau 622 M. Saat itu belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan tentang cara mengatur hubungan antarumat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, telah cukup rinci mengatur hubungan tersebut. Piagam Madinah menjadi kontitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam tersebut lahir sekitar 6 abad sebelum Magna Charta di Inggris dan sekitar 12 abad sebelum konstitusi Prancis dan Amerika Serikat.

Al-Buthi meringkas isi Piagam Madinah menjadi 13 poin. Inti dari poin-poin tersebut adalah mengatur hubungan kaum Muslim dengan sesama Muslim, yaitu Muhajirin dan Anshar, serta antara kaum Muslim dan kaum Yahudi.

Memang kaum Yahudi perlu diatur tersendiri karena mereka merupakan komunitas tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Adapun kaum musyrik Madinah, karena telah tunduk pada Daulah Islam, tidak lagi mempunyai pengaruh dalam pembentukan masyarakat baru di Madinah.

Pada dokumen tersebut disebutkan: Ini adalah dokumen dari Muhammad saw. untuk sesama orang Mukmin dan Muslim dari kalangan Quraisy, Yatsrib dan siapa saja yang mengikuti mereka, kemudian menyusul dan berjihad bersama mereka. Mereka dinyatakan sebagai satu umat, yang berbeda dengan umat manusia yang lain.

Dokumen tersebut kemudian menetapkan kewajiban kaum Mukmin dan Muslim dalam interaksi sesama mereka. Mereka adalah kaum Quraisy, kabilah Bani Auf, Bani Saidah, Bani Harits, Bani Jusyam, Bani Najjar, Bani Amru bin Auf dan Bani Aus.

Ketika mengatur interaksi sesama kaum Muslim, dokumen tersebut juga menyebut keberadaan kaum Yahudi: Jaminan Allah adalah satu. Mereka yang kuat wajib menolong yang lemah. Orang Mukmin harus saling melindungi satu sama lain, tanpa kecuali. Siapapun di antara orang Yahudi yang mengikuti kami, dia berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan. Mereka tidak boleh dizalimi dan tidak boleh melakukan tolong-menolong untuk mengalahkan mereka. 

Kaum Yahudi yang disebutkan di sini bukanlah Yahudi secara keseluruhan, melainkan siapa saja yang ingin menjadi rakyat Daulah Islam Madinah agar mereka berhak diperlakukan sama dengan kaum Muslim. Adapun Yahudi, sebagai komunitas tersendiri, telah diatur dalam dokumen tersebut pada bagian terakhir: Orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan kaum Mukmin. Orang-orang Yahudi tetap bebas menjalankan agama mereka dan kaum Muslim juga tetap bebas menjalankan agama mereka. Mereka harus saling melindungi, kecuali terhadap orang yang berbuat zalim dan durhaka. Sebab, perbuatannya itu tidak bisa membinasakan, kecuali terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.

Mereka terdiri dari berbagai kabilah yaitu Bani Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam, Bani Tsa’labah, Bani Syutaiah dan Bani Aus. Pada awalnya, Bani Quraidzah, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa’ belum mengikuti perjanjian ini dengan Rasulullah saw. Namun, tidak lama kemudian mereka mengikutinya dengan ketentuan dan syarat yang sama.

Pada klausul-klausul tersebut sangat jelas bahwa kaum Yahudi yang menjadi warga negara Daulah Islam Madinah diperlakukan sangat baik. Misalnya kaum Yahudi ditetapkan berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan serta tidak boleh dizalimi. Mereka juga diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya.

Al-Buthi juga berkesimpulan bahwa piagam ini layak disebut konstitusi. Sebab piagam tersebut berisi semua poin yang biasa digunakan oleh konstitusi modern untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam interaksi di antara sesama rakyat sebuah negara. Artinya, piagam tersebut telah memuat ketentuan umum tentang sistem negara yang mengatur interaksi warganya secara adil. Ini adalah salah satu fakta penting adanya toleransi terhadap umat agama lain di dalam negara yang dibangun oleh Rasulullah saw.

 

Syariah Menaungi Toleransi

Toleransi Islam terhadap umat non-Islam juga telah ditetapkan dalam syariah Islam secara rinci. Hal tersebut menjadi standar sikap kaum Muslim dalam kehidupannya yang terus terjaga dari dulu hingga kini. Ayat-ayat al-Quran banyak berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, yang menjadi pedoman bagi kaum Muslim dalam berhubungan dengan dunia di luar Islam.

Pada dasarnya Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan menghindarkan kezaliman. Islam melarang keras berbuat zalim dan melarang merampas hak-hak mereka yang di luar Islam. Allah SWT berfirman:

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨

Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS al-Mumtahanah [60]: 8).

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (Tafsîr Karîm ar-Rahman, hlm. 819) menafsirkan ayat ini: Dalam ayat ini Allah tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga sendiri maupun orang lain. Selama mereka tidak memerangi dan tidak mengusir kaum Muslim.

Banyak kisah kehidupan pada masa shahabat dan tâbi’în terkait berbuat baik terhadap tetangganya yang non-Muslim. Misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang tâbi’în yang juga ahli tafsir yakni imam Mujahid. Beliau berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata, “Wahai pembantuku, jika engkau telah selesai (menyembelih), bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dulu.”

Lalu pembantunya bertanya, “(Mengapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu.” Abdullah bin ’Amru lalu menjawab, “Saya mendengar Rasulullah saw. berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” (Al-Irwâ’ al-Ghalîl, No. 891).

Syariah Islam dengan tegas melarang membunuh orang kafir kecuali jika mereka memerangi kaum Muslim. Dalam Islam orang kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir harbi, yakni orang kafir yang memerangi kaum Muslim. Adapun orang kafir selain mereka, yaitu orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum Muslim seperti kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’âhad, dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar, ancamannya sangat keras.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR an-Nasa’i).

Intinya, kafir dzimmi diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya, khususnya yang berada di wilayah privat seperti ibadah. Namun demikian, toleransi ini bukan berarti membenarkan ajaran mereka atau mencampuradukkannya dengan ajaran Islam.

Allah SWT melarang dengan tegas upaya mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran lainnya. Hal ini, misalnya, tertera pada QS al-Kafirun ayat 1-6. Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan asbâb an-nuzûl surat tersebut. Diriwayatkan bahwa beberapa orang kafir Quraisy—yaitu Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Aswad Ibnul Muthallib dan Umayyah bin Khalaf—menemui Rasulullah saw. Mereka menawarkan toleransi kepada beliau, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”

Kemudian turunlah QS al-Kafirun sebagai penolakan terhadap tawaran toleransi versi kafir Quraisy tersebut (Tafsîr al-Qurthubi 20/206-225).

 

Pengakuan Obyektif Sejarahwan

Toleransi yang diatur oleh syariah Islam tersebut telah diterapkan dalam kehidupan nyata kaum Muslim. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kebijakan Khilafah Islamiyah yang berlangsung selama 14 abad. Sangat banyak ilmuwan dan sejarahwan dunia yang menuliskan aspek toleransi dalam kebijakan Khilafah tersebut.

Seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold, pernah menuliskan tentang kebijakan Khilafah Ustmaniyah terhadap warganya yang non-Muslim. Arnold menyatakan, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”

Ia pun mencatat bahwa keadilan Khilafah Islamiyah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).

Karen Armstrong menceritakan bahwa ketika pasukan Salib Kristen menaklukkan kota suci Jerusalem pada tahun 1099, mereka membantai penduduknya yang Muslim dan Yahudi. Puluhan ribu kaum Muslim yang mencari penyelamatan di atap Masjid al-Aqsha dibantai dengan sangat sadis. Kekejaman pasukan Salib di Jerusalem tersebut, menurut Armstrong, sangat sulit dibayangkan akal sehat (Karen Armstrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, 1997, hlm. 3-4).

Tindakan keji pasukan Salib itu sangat berbeda dengan tindakan Shalahudin al-Ayyubi ketika merebut kembali Jerusalem. Di bawah Shalahuddin, Jerusalem menjadi tempat yang aman bagi kaum Yahudi. Bahkan saat itu Shalahuddin memanggil kembali banyak orang Yahudi ke Jerusalem dan mengijinkan mereka tinggal di sana dengan aman (Armstrong, hlm. 299).

Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan kaum Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. Justru kaum Yahudi mengalami penindasan saat Kristen berkuasa. Misalnya pada abad ke-15 telah terjadi peningkatan persekusi anti-semitik di Eropa saat kaum Yahudi diusir dari berbagai kota. Bahkan sebagiannya mengalami pembantaian secara keji termasuk di Spanyol oleh penguasa Kristen.

 

Penutup

Tinta emas sejarah juga mencatat keagungan Khalifah Umar bin al-Khaththab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang perang, Khalifah Umar tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Ketinggian sikap Khalifah Umar dalam penaklukan Jerusalem tersebut belum pernah dilakukan oleh para penguasa Jerusalem sebelumnya.

Khalifah Umar telah memimpin suatu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Jerusalem. Ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran bangunan, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran ataupun perampasan hak serta tidak ada pemaksaan terhadap penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam.

Berdasarkan berbagai fakta yang dipaparkan di atas maka tuduhan bahwa Islam itu anti-toleransi sebenarnya tidak sekedar ahistoris, namun juga sebuah penyesatan politik.

Perang Salib yang berkepanjangan telah memberikan inspirasi bagi Barat, bahwa kaum Muslim tidak mungkin dikalahkan secara fisik sebelum mereka dilumpuhkan secara pemikiran. Barat lalu melakukan ghazwul-fikri (perang pemikiran) dan membuat berbagai propaganda negatif terhadap Islam, termasuk dalam masalah toleransi. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kebohongan propaganda negatif mereka akan terbongkar di hadapan publik. Mereka tidak mungkin mampu menutupi sejarah keagungan dan kegemilangan peradaban Islam yang telah memayungi dunia selama 14 abad.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. M. Kusman Sadik]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + 13 =

Back to top button