IMuNe Serukan Politik Islam untuk Hadapi Super Power
Selain kecewa atas sikap menolak berkomentar soal arogansi dan agresivitas Cina yang meminta agar menghentikan pengeboran migas di rig lepas pantai Laut Cina Selatan (LCS), Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara pun menyerukan Pemerintah Indonesia agar menerapkan Islam dalam menghadapi kekuatan super power di sana.
“Kembalilah pada jatidiri Islam dan terapkanlah visi politik yang berbasis risalah Islam dalam mengelola kekayaan maritim di Nusantara ini. Insya Allah diplomasi pertahanan maritim kita akan semakin punya gigi menghadapi kekuatan super power di Laut Cina Selatan,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (04/12/2021).
Menurut Fika, tumpang tindih yurisdiksi antara claimant state (Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan RRT) di LCS yang sejak 2017 sudah berubah menjadi Laut Natuna Utara, juga menjadikan potensi konflik di sana cukup tinggi.
Ditambah klaim sepihak Cina dengan ‘kedaulatan tak terbantahkan’ atas kawasan dimaksud berikut sembilan garis putus-putusnya (nine dash line), juga ia nilai menjadi salah satu alasan mendasar dari konflik di sana. “Nine dash line adalah salah satu alasan mendasar dari konflik LCS,” ucap Fika yang juga menjelaskan Cina mengadopsi garis putus-putus tersebut dari peta Tiongkok tahun 1940.
Menurut Fika, polemik itu tidak terjadi kali ini saja. “Oktober lalu, kapal Tiongkok dengan pongah memasuki zona eksklusif ekonomi (ZEE) Malaysia, sekarang giliran Indonesia,” ungkapnya.
Ia melihat, kasus konflik teritorial tersebut adalah persoalan geopolitik klasik yang akan terus melanda dunia. “Negara-negara powerful biasa melakukan klaim sepihak atas teritorial mereka, meski harus menabrak rambu-rambu hukum internasional,” sesalnya.
Karena itu, kata Fika, ketika negara-negara super power saja mengabaikan hukum internasional serta melakukan apa pun demi menjaga kepentingan mereka, Indonesia bisa mengambil pelajaran penting.
“Untuk apa kita susah-payah menaati hukum dan tetap bertahan di jalur diplomasi yang lemah? Malaysia dan Indonesia harus mengambil pelajaran tentang hal ini. Jangan sampai kita hanya menjadi bidak yang terjepit di antara pertarungan raksasa-raksasa di Laut Cina Selatan,” ujarnya.
Apalagi melihat dari sudut pandang Islam, lanjut Fika, di dalamnya menerangkan bahwa otoritas perbatasan wilayah ditentukan oleh dinamika penaklukkan jihad Islam. “Perbatasan negara itu ditentukan oleh darah para syuhada,” tegasnya.
Jihad di lautan pahalanya pun berkali lipat dari daratan. “Mungkin memang persoalannya sangat mendasar, yakni soal menemukan jati diri bangsa dulu sebagai bangsa Muslim, sebelum berbicara pertahanan maritim,” pungkasnya. [Joy dan Tim]