Ustadz H Ismail Yusanto: Mereka Ingin Menyingkirkan Islam
Pengantar Redaksi:
Akhir-akhir ini serangan terhadap Islam makin massif. Dari mulai yang kasar, seperti ragam penistaan terhadap Islam, hingga yang halus, yang dibungkus dengan istilah moderasi agama, yang sasarannya juga Islam.
Mengapa semua itu terjadi? Apa latar belakang dan akar masalahnya? Apakah semua ini kebetulan ataukah by design? Apa targetnya? Bagaimana pul sikap umat Islam seharusnya untuk merespon sekaligus menangkal berbagai serangan tersebut?
Itulah beberapa hal yang ditanyakan kepada Ustadz H Ismail Yusanto dalam wawancara dengan Redaksi kali ini.
Ustadz, akhir-akhir ini marak statemen, baik pejabat maupun tokoh, yang menyudutkan Islam. Ada apakah gerangan?
Ini memang fenomena sangat aneh. Bagaimana bisa seorang Muslim, pejabat pula, menyampaikan pernyataan yang malah menyudutkan Islam. Seolah Islam bukan milik mereka. Seolah mereka bukan Muslim, atau seolah mereka punya Islam jenis lain.
Apakah ini kebetulan ataukah by design?
Sebagiannya mungkin karena kurangnya pemahaman terhadap tsaqâfah Islam. Misal, pernyataan yang disampaikan seorang pejabat militer, menyebut Tuhan bukan orang Arab, karena itu berdoa boleh saja menggunakan bahasa Indonesia. Tuhan memang bukan orang, apalagi orang Arab. Namun, sebagiannya lagi muncul by design. Artinya, mereka membuat pernyataan dalam kerangka maksud dan tujuan tertentu yang sudah direncanakan matang sebelumnya, seperti pernyataan pejabat yang menyatakan bahwa khilafah itu tertolak.
Pemerintah juga membuat peraturan-peraturan yang temanya radikalisme. Apa targetnya Ustadz?
Targetnya tak lain adalah menyingkirkan apa yang mereka sebut radikalisme Islam atau Islam radikal dan mengarusutamakan moderasi. Ini persis sama dengan tujuan yang dimaui oleh Daniel Pipes, otak di belakang Rand Corporation. Katanya, “Tujuan jangka pendek dari perang ini haruslah untuk menghancurkan Islam militant. Namun, tujuan jangka panjang dari perang ini adalah modernisasi Islam.”
Kemenag mengarusutamakan moderasi beragama. Bapenas juga meletakkan agenda moderasi beragama dalam dalam RPJMN 2020-2024. Apa sasarannya?
Saat ini memang tengah berjalan sebuah proyek besar yang disebut moderasi agama. Sasaran utamanya Islam dan umat Islam. Proyek ini bertujuan untuk menancapkan paham tertentu yang disebut Islam moderat dan menjadikan kaum Muslim menjadi Muslim moderat. Program ini menyasar para guru agama, mahasiswa, kaum milenial hingga kalangan pesantren, sebagaimana terlihat nyata pada lahirnya UU Pesantren. Di dalamnya terdapat pasal khusus yang secara eksplisit menyebut bahwa pesantren dimaui mengembangkan pemahaman dan pengamalan agama Islam yang moderat. Semua program ini leading sector-nya adalah Kemenag,
Proyek ini tidak datang tiba-tiba. Barat menilai, setelah runtuhnya Komunisme, tantangan mendatang bagi hegemoni Barat adalah Islam. Agar tidak menjadi ancaman, Dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global. Semua rencana ini terbaca sangat nyata dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Rand Corporation pada tahun 2007, berjudul, Building Moderate Muslim Network. Di situ dijelaskan juga karakteristik Muslim moderat, yakni Muslim yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian.
Ringkasnya, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan pemikiran, pemahaman dan peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim yang menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat.
Jika Bappenas pada faktanya juga meletakkan agenda moderasi beragama dalam RPJMN 2020-2024, itu menunjukkan bahwa program itu telah secara resmi telah menjadi agenda negara. Dengan kata lain Pemerintah telah secara sengaja hendak membawa negara dalam konteks pemahaman dan praktik keagamaan Islam ke arah yang dimaui Barat dan pada saat yang sama menjauh dari Islam yang sebenarnya.
Di sisi kurikulum, Kemenag akhirnya menggeser Jihad dan Khilafah dari Bab Fiqih menjadi Sirah. Bahkan mendefinisikan ulang sesuai konteks moderasi beragama. Apa nilai strategis yang mau dicapai?
Semua itu termasuk dalam agenda yang tadi saya sebut: moderasi dalam pemahaman dan praktik keagamaan Islam, sekaligus menyingkirkan pemahaman dan praktik keagamaan Islam yang mereka sebut radikal.
Teringat kita pada QS an-Nisa’ ayat 89, Allah mengingatkan perilaku kaum kafir yang akan terus berusaha membuat kita menjadi kafir sehingga kita sama dengan mereka. Secara i’tiqadi, kesamaan itu akan terjadi ketika kita murtad mengikuti agama mereka. Namun, ini tidak mudah, karena umat Islam masih memiliki kesadaran untuk tetap mempertahankan agamanya. Yang mungkin terjadi adalah umat Islam tetap sebagai Muslim, tetapi cara berpikir dan perilakunya sudah tidak ada bedanya dengan orang kafir alias sama saja. Jika sudah sama, maka umat Islam tidak akan lagi menjadi penghalang bagi perwujudan semua keinginan Barat. Tampaknya hal inilah yang saat ini terjadi.
Lihatlah, bagaimana bisa orang Islam ikut membenci jihad dan khilafah, seperti orang kafir. Kalau sudah membenci, merekalah yang akan menghalangi jihad dan segala usaha untuk tegaknya khilafah. Tak perlu orang kafir melakukannya sendiri.
Apa alasan kuat rezim melakukan itu semua?
Rezim melakukan itu semua karena dua alasan utama. Pertama, tak lain untuk mendapatkan dukungan politik Barat. Selepas Khilafah Utsmani runtuh, berdirilah negara kecil-kecil di bekas wilayah Khilafah dengan penguasa boneka. Mereka berkuasa atas dukungan negara Barat. Karena itu mereka memimpin wilayah itu bukan demi rakyat, apalagi dengan Islam, tetapi demi kepentingan Barat dan kepentingan mereka sendiri.
Kedua, sama seperti yang dikatakan Barat, Islam ideologi dianggap oleh rezim sekular ini sebagai musuh yang harus segera dibasmi.
Apa yang melatarbelakangi munculnya jualan radikal-radikul ini? Sejak kapan itu?
Setelah war on terrorism (WoT), kini kita memang disibukkan dengan war on radicalism (WoR). Sejak kapan? Bisa dirunut ke belakang ketika pada tahun 2003 terbit dokumen Rand Corporation berjudul, “Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies”. Dokumen ini berisi kebijakan AS dan sekutunya atas Dunia Islam. Intinya, mempeta-kekuatan (mapping), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai pola untuk mencegah kebangkitan Islam.
Apa agenda dan strategi pecah-belah yang termaktub dalam kedua dokumen tersebut? Pertama, upaya umat Islam untuk kembali pada kemurnian ajaran, setelah periode keterbelakangan dan ketidakberdayaan Dunia Islam yang panjang dianggap sebagai ancaman bagi Barat, terhadap peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban).
Kedua, agar tidak menjadi ancaman, Dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global.
Ketiga, karena itu diperlukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan. Mereka membagi umat Islam ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan syariat Islam; (2) Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan; mereka berpegang pada substansi ajaran Islam tanpa peduli pada formalisasinya; (3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas; (4) Sekularis: kelompok masyarakat Islam sekular yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan privasi dan dipisah sama sekali dari urusan negara.
Kelima, terhadap tiap kelompok ditetapkan strategi masing-masing. Sasaran utamanya adalah bagaimana menghadapi kaum fundamentalis, yaitu: menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan ketidak-akuratannya; mencegah menunjukkan rasa hormat dan pujian atas perbuatan kekerasan kaum fundamentalis, ekstremis dan teroris; kucilkan mereka sebagai pengganggu dan pengecut, bukan sebagai pahlawan; mendorong para wartawan untuk memeriksa isu-isu korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran kaum fundamentalis dan kaum teroris; mendorong perpecahan antara kaum fundamentalis.
Untuk menyukseskan agenda ini, Barat mengembangkan apa yang disebut War on Radicalism (WoR). Mereka tahu, gagasan kembalinya peradaban Islam yang dibentuk melalui penerapan syariah secara kaaffah tidak akan pernah benar-benar bisa dihilangkan dari benak umat Islam. Termasuk soal Khilafah. Mereka tahu, itu semua adalah ajaran Islam, dan telah menjadi bagian dari sejarah Dunia Islam yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Melawan itu semua bagaikan menghalangi terangnya siang dan gelapnya malam. Tak mungkin. Namun, mereka juga tidak mungkin membiarkan. Tidak mungkin juga terang-terangan menyerang Islam sehingga harus dibungkus dengan sebuah istilah yang lebih dulu dicitraburukkan. Itulah radikal dan radikalisme Islam.
Mereka katakan, radikalisme adalah akar dari terorisme. Semua pelaku teroris berpaham radikal. Radikalisme sama bahayanya dengan terorisme. Jadi, memerangi terorisme (war on terrrorism) harus disertai memerangi radikalisme (war on radicalism). Soal apa definisi radikalisme, tak penting. Seperti juga terorisme, nyaris tanpa definisi. Penguasalah yang mendefinisikan. Termasuk yang menentukan siapa yang radikal dan siapa yang bukan.
Atas nama memerangi radikalisme kini menjadi senjata ampuh untuk menghalangi dakwah, khususnya dakwah politis – ideologis, menyingkirkan lawan politik dari mimbar-mimbar umat, termasuk sangat efektif menjadi alat untuk mempersekusi siapa saja yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh penguasa. Jadilah war on radicalism topeng atau mask, dipakai oleh kaum islamophobia yang sudah lama gerah melihat perkembangan dakwah Islam yang memang sangat marak sejak beberapa dekade terakhir. Seolah mendapat peluang, tak sungkan, ada seorang pejabat tinggi pengidap islamophobia terang-terangan mengatakan bahwa radikalisme di kampus sudah berkembang sejak tahun 80-an, dan kini sudah merambah ke sekolah-sekolah dari sekolah menengah hingga sekolah dasar.
Banyak yang mengatakan bahwa isu radikal-radikul ini juga dipakai untuk menutupi kasus-kasus besar yang sedang membelit rezim, menekan kelompok opisisi dan untuk kepentingan politik-ekonomi oligarki. Apakah benar demikian?
Iya, betul. Salah satu cara menutupi kelemahan, kejahatan rezim yang tampak dari kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Bansos, skandal PCR, UU Omnibuslaw dan lainnya adalah dengan menciptakan isu, seperti isu radikalisme Islam, yang dibuat begitu rupa seolah inilah ancaman yang sebenarnya. Padahal faktanya, siapa yang melakukan mega korupsi, apakah kelompok radikal? Siapa yang melakukan gerakan separatisme di Papua, apakah kelompok radikal?
Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam menyikapi ini semua?
Pertama. Tiap Muslim harus memperkuat syakhsiyyah (kepribadian) Islamnya. Cara berpikir dan berperilaku setiap Muslim mesti berdasar ajaran Islam. Caranya, dengan sungguh-sungguh mengkaji Islam. Harus ditumbuhkan di tengah masyarakat kegairahan ‘ngaji’. Kemudian, hasil ngaji itu diamalkan sehingga di tengah masyarakat akan makin marak pengamalan Islam baik dalam hal ibadah, pakaian, pergaulan, pendidikan, ekonomi, politik maupun hal yang lain. Dengan begitu kebaikan atau kerahmatan Islam bisa dilihat dan dirasakan secara langsung sehingga mendorong pengamalan lebih lanjut.
Kedua: Harus dibangun jamaah dan jaringan di antara orang atau kelompok yang sudah tersadarkan itu. Ini akan menjadi benteng pencegah sekaligus pelindung dari jahatnya program-program yang kemalistik tadi. Harus dibangun ta’aawun atau saling mendukung dan menolong sehingga umat ini bagaikan bangunan kokoh yang tak mudah digusur oleh gerakan kemalis sekeras apapun.
Ketiga: Tak bisa tidak, harus digencarkan gerakan amar makruf nahi mungkar sehingga program pecah-belah ini tidak berjalan mulus. Tidak boleh dibiarkan kemungkaran sekecil apapun terjadi begitu saja tanpa hambatan. Di sinilah pentingnya perjuangan hingga terwujud sistem yang islami dengan pemimpin yang tauhidi. Dengan itu kejahatan dalam berbagai bentuknya tak akan ada lagi. Insya Allah. []