Muhasabah

Islam Above Humanity

Saat mengisi kajian keislaman, saya ditanya oleh salah seorang peserta, “Bagaimana pandangan Ustadz terkait slogan Humanity above religion (kemanusiaan di atas agama/keberagamaan)?” Menjawab pertanyaan pemuda itu saya sampaikan, “Tergantung agama apa yang Anda maksudkan. Kalau yang dimaksud adalah agama Islam, slogan itu keliru.”

“Apa alasannya?” tanyanya penasaran. “Islam itu agama yang sempurna dan mencakup segala hal. Istilahnya kamil dan syamil. Ajaran Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah SWT Sang Maha Pencipta. Ini adalah ketuhanan. Misalnya terkait akidah dan ibadah mahdhah. Juga, mencakup hubungan manusia dengan dirinya dan orang lain. Di situlah aspek kemanusiaan muncul. So, agama Islam di atas kemanusiaan. Islam above humanity,” jawab saya.

“Kalau kemanusiaan di atas agama, tidak jelas tolok ukurnya, ya kan?” Pemuda lain bernama Ahmad berkomentar. “Contoh, jika kita bertamu. Lalu tuan rumah menyuguhi kita Bipang Ambawang. Dia sudah susah-susah menyiapkan. Padahal kita tahu bipang itu babi panggang, yang bahannya berupa babi muda berusia 3-5 bulan. Itu jelas diharamkan di dalam Islam seperti dalam QS al-Baqarah ayat 173 dan al-Maidah ayat 3. Nah, apakah kita akan memakannya dengan alasan humanity above religion? Karena menghormati tuan rumah?” tambahnya.

“Tentu tidak, kan!” dia menjawab pertanya-annya sendiri. “Jadi, slogan humanity above religion tidak ada di dalam Islam,” simpulnya.

“Iya, saya masih ingat pada tahun 2016 di Dumai, ada seorang bapak kandung menikahi siri anak perempuannya sendiri. Sampai punya 4 anak. Nah, kalau alasannya ‘kemanusiaan di atas agama’ bisa-bisa pernikahan seperti itu dibolehkan. Alasannya bisa dibuat-buat. Misalnya, toh sama-sama cinta, kasihan sudah kadung, toh itu pilihan mereka, dan sebagainya. Padahal, dalam Islam bapak dan anak kandung haram menikah,” Budi, peserta lain turut berdiskusi.

“Jadi, slogan itu hanya menjauhkan ajaran Islam dari kehidupan manusia,” ungkapnya mengakhiri.

“Ajaran Islam itu mengandung nilai ruhiyah, madiyah (materil), khuluqiyah (akhlak, moral), dan insaniyah (kemanusiaan),” ungkap saya.

“Salah satu ajaran Islam berbicara tentang kemanusiaan. Namun, ada aturannya. Ada batasannya. Tidak liar. Contoh, di dalam al-Quran dilarang mencuri. Nah, itu berlaku bagi semua. Tidak boleh mencuri barang seseorang apapun sukunya, bangsanya, warna kulitnya, bahasanya, agamanya. Itu aspek kemanusiaan dalam ajaran Islam. Contoh lain, ketika ada banjir atau gempa, kita bantu siapa pun yang membutuhkan tanpa membeda-bedakan. Sesama manusia harus ditolong,” ujar saya. “Begitu juga saat sakit. Imam al-Bukhari meriwayatkan, ada seorang Yahudi yang suka membantu Nabi saw. Suatu hari ia sakit, Nabi pun menjenguk dia. Nabi duduk di dekat dia lalu mengatakan, ‘Masuk Islamlah Anda!’ Lalu orang itu memandang kepada ayahnya yang ada di sampingnya. Lalu ayahnya mengatakan, ‘Turuti perkataan Abul Qasim (Rasulullah).’ Kemudian Nabi saw. pun keluar dan berkata, ‘Segala pujian milik Allah yang telah menyelamatkan ia dari api neraka,” kata saya memberikan contoh.

“Bahkan saat ada kecelakaan di jalan, tanpa tanya apa agamanya, kenal atau tidak dan sebagainya, kita diperintahkan untuk menolong. Itulah ajaran Islam. Niatnya pun lillahi ta’ala sehingga bernilai ibadah. Jadi, slogan ‘kemanusiaan di atas agama’ tidak berlaku untuk agama Islam. Kalau kita dalami al-Quran, as-Sunnah dan kitab para ulama, ‘Islam di atas kemanusiaan’,” tegas saya.

“Kemanusiaan atau humanity, jika tidak dilandaskan pada ajaran Islam, akan melahirkan ketidakkonsistenan. Ambigu. Standar ganda. Kagak ada patokan yang jelas. Akibatnya, kacau balau,” Ahmad menyampaikan pikirannya lagi.

“Contoh yang sedang terjadi sekarang. Pada 6 Mei 2021 lalu, kaum Muslim yang sedang tarawih di Masjidil Aqsha diserbu tantara Israel. Tidak ada yang teriak kemanusiaan,” tambahnya geram.

Padahal di dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 32 sangat jelas (yang artinya), “Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa saja yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Namun kemudian, banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.”

“Malah ada Muslim di Indonesia yang membela Israel,” pungkas Ahmad.

Memang, orang-orang yang selama ini menggembar-gemborkan ‘humanity above religion’ tak menunjukkan pembelaannya terhadap Muslim Palestina yang sedang dijajah. Justru malah membela zionisme sang penjajah. Kemanusiaan yang mereka usung tergantung kepentingan. Reaksi pun datang. Muncullah istilah Yahudi Pesek hingga menjadi trending topic pada 17/5/2021.

“Anda pernah melihat Yahudi Pesek? Yaitu penjilat asal Indonesia yang menampakkan permusuhan terhadap perjuangan umat Islam Palestina dengan bualan nyinyirnya, serta membela mati-matian teroris Israel dengan segala ocehannya,” tulis KH Luthfi Bashori dalam sebuah meme.

“Krisis Palestina memunculkan siapa sebenarnya akun-akun ‘NKRI’–mereka sepertinya gerombolan ‘yahudi pesek’,” cuit Said Didu, mantan Sekretaris Kementrian BUMN pada akun Twitternya (16/5/ 2021).

“Begitulah apabila humanity dimaknai sesuka hati. Penentunya adalah kepentingan. Berbeda jika landasannya Islam. Semuanya serba punya tolok ukur yang jelas dan adil,” saya simpulkan. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + 16 =

Back to top button