Muhasabah

Kembali Kepada Allah SWT

Lombok digoyang gempa.  Korban berjatuhan.  Tak lama setelah itu, Palu diterpa gempa 7,4 skala Ricther.  Tsunami menyusul.  Teriakan masyarakat jelas terdengar.  Lengkingan takbir menyambut kehadiran air laut yang tak dapat dibendung.  Rumah-rumah banyak yang ditelan bumi.  Fenomena munculnya lumpur yang menenggelamkan semua mahluk yang ada di atasnya membuat kondisi semakin ngeri.  “Itu peristiwa likuifaksi,” tutur para ahli.

Itu terjadi di sini.  Saat ini.  “Yang bisa menolong manusia dari murka-Nya adalah ketaatan kita, tobat kita,” papar KH Hafidz.

Dalam sebuah hadis Qudsi diceritakan: Tak sehari pun kecuali laut meminta izin kepada Rabb-nya untuk menenggelamkan manusia. Malaikat pun meminta izin kepada-Nya untuk menyegerakan dan membinasakan manusia. Tapi, Allah berfirman, “Biarkanlah hamba-Ku, karena Aku Mahatahu tentang dia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu al-Qayyim dalam Madârij as-Sâlikîn, I/432-433).

Rupanya, ketika kemaksiatan merajalela, keangkuhan tampak dimana-mana, laut menjadi berang.  Malaikat tak tahan.  Namun, Allah SWT Mahakasih dan Mahasayang.  Dialah yang mengutus laut untuk memberi peringatan.  Ya, peringatan.  Jadi, benar. Yang dapat menolong kita dari murka-Nya adalah ketaatan.  Persoalannya, apakah saat menyaksikan kedahsyatan gempa, tsunami dan likuifaksi, ketaatan kita bertambah?  Ataukah justru tetap bergelimang dalam kemaksiatan kepada-Nya?

Bangunan dan manusia ditelan bumi.  “Saya awalnya tidak mengerti.  Apa bisa bumi menelan manusia.  Namun, setelah saya lihat video di Youtube, wah bener.  Ngeri…,” tutur Pak Dwi.

“Berarti mirip dengan cerita yang ada di dalam al-Quran.  Ada orang yang tenggelam ditelan bumi,” tambah Mas Dedi.

Tak mau ketinggalan, Asep menambahkan, “Memang, bila Allah SWT telah menghendaki sesuatu, sering di luar akal dan pikiran manusia.  Kejadiannya luar biasa.”

Mas Dedi menambahkan, “Sayangnya manusia sekarang mah sulit taat.  Teu tobat-tobat.”

Turut dalam perbincangan ringan itu saya katakan, dulu pada zaman Nabi Musa, ada yang namanya Qarun.  Dia salah satu kolega Fir’aun, penguasa Mesir.  Kekayaannya tidak terhitung.  Orang zaman now menyebutnya unlimited.  Tak heran perilakunya sangat angkuh dan sombong.  Punya harta, berkuasa pula.  Masyarakat pun dia perlakukan dengan zalim.  Di dalam surat al-Qashash ayat 76, Allah SWT menggambarkan hal ini (yang artinya): “Sungguh Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zalim terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepada dia perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepada dia, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.” (TQS al-Qashash [28]: 76).

Qarun memandang hartanya semata hasil kerjanya.  Tak mau mengeluarkan hak fakir miskin dari hartanya.  Bahkan fitnah dan hoax ia tebar tentang Nabi Musa as.  Dalam suatu riwayat, dengan kekuatan hartanya Qarun melakukan operasi intelijen.  Dia menyuruh seorang wanita membuat pengakuan berbuat serong dengan Musa.  Pada saat para pembesar Israel berkumpul, Qarun dengan lantang berkata, “Wahai Bani Israil ketahuilah, Musa yang kalian anggap sebagai nabi dan orang baik itu sebenarnya tidak demikian. Ia telah menghamili wanita ini.”

Wanita itu pun memberikan kesaksian.  Namun, qadarulLâh, lisan wanita itu menjadi kelu.  Alih-alih membuat pengakuan berbuat serong, ia justru berkata, “Musa tidak berbuat apa-apa dengan saya.  Dia orang baik. Saya diupah oleh Qarun untuk mengatakan bahwa saya dihamili oleh Musa.”

Tipudaya dan kedustaan pun terkuak.  Kekuasaan, keangkuhan, harta, pembangkangan kepada Allah SWT, pemberangusan terhadap pembela wahyu Allah, kezaliman, kedustaan/hoax dan operasi intelijen saat itu terjadi.  Menyatu.  Tatkala itu Qarun pun dibenamkan oleh Allah al-Qawiyu al-‘Azizu.  Di dalam al-Quran disebutkan: Lalu Kami membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada bagi dia suatu golongan pun yang menolong dirinya dari azab Allah. Tiadalah dia termasuk orang-orang (yang dapat) membela dirinya.” (TQS al-Qashash [28]: 81).

Juga, dinyatakan: Qarun, Fir’aun dan Haman. Sungguh telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang nyata. Namun, mereka berlaku sombong di bumi, dan mereka orang-orang yang tidak luput (dari azab Allah).” (TQS. Al-‘Ankabut [29]: 39).

Akibatnya pun tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang berbuat zalim seperti itu saja.  Orang-orang shalih pun dapat terkena dampaknya, sebab begitulah sunnatullah.  Allah SWT menegaskan: Takutlah kalian terhadap malapetaka yang tidak sekadar menimpa orang-orang zalim di antara kalian saja.  Ketahuilah, sungguh Allah amat dahsyat siksa-Nya (TQS al-Anfal [8]: 25).

Kini, kondisi seperti itu jelas terlihat.  Dulu dakwah Nabi Musa as. ditentang.  Kini, dakwah para ulama, kiai atau ustadz dipersekusi.  Dilarang.  Dibubarkan.  Ormas Islam yang berdakwah tanpa kekerasan pun dicabut badan hukumnya.  Kalimat tahid ditakuti dan distigma berbahaya.  Sikap sok kuasa dan angkuh tak lagi dapat disembunyikan.  Harta kekayaan menumpuk pada segelintir orang.  Indeks gini Maret 2018 sebesar 0,399.  Di tengah derita korban gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu, ada pertemuan IMF yang menelan biaya hampir 800M. Hoax bertebaran setiap saat.  Operasi intelijen untuk memojokkan gerakan Islam terlihat jelas polanya. Adu domba umat Islam demi meraih kekuasaan begitu terang.  Kemaksiatan dibiarkan, bahkan didukung.

Saat semua ini terjadi, tak salah bila petaka, baik yang menimpa orang zalim maupun orang shalih, harus dipandang sebagai teguran dan peringatan keras dari Allah SWT.  “Mungkin alam mulai bosan, bersahabat dengan kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa….,” begitu kata Ebiet G. Ade tahun 80-an.

Apa yang harus dilakukan?  Hanya satu, kembali kepada Allah SWT dengan cara mentaati-Nya.  “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one + ten =

Back to top button