Muhasabah

Kembalilah Kepada Allah SWT

Corona. Itulah kata yang kini menghebohkan dunia.  Bukan nama gadis, melainkan nama virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia.  Menurut para ahli, lebih dari 200 jenis Corona.  Virus yang sekarang sedang membuat sibuk manusia sejagat adalah Coronavirus COVID-19.

“Ini musibah besar.  Penularan kemana-mana.  Cepat,” ujar Pak Iwan membuka pembicaraan.  “Bayangkan, dalam jangka waktu secepat kilat, seantero dunia sudah kena virus tersebut,” tambahnya.

“Betul, ngeri juga ya,” Pak Ikhlas nimbrung.  “Di Indonesia pada hari pertama ada 2 orang terkena, dua minggu kemudian sudah 227 orang kena dan 19 orang meninggal dunia.  Tingkat kematian 8,4.  Terbesar di dunia,” sambung Pak Ichlas serius.

“Shalat berjamaah pun dianjurkan dilakukan di rumah.  Shalat Jumat dibolehkan tidak dilakukan.  Sekolah ditutup,” Mas Malik berkomentar.  Seraya menambahkan, “Ini sangat menyedihkan”.

Saya sampaikan dalam forum diskusi kecil itu, “Virus Corona yang tersebar cepat, menular dan menimbulkan korban meninggal adalah musibah.  Namun, ada musibah yang lebih dari itu.  Musibah hakiki.”

Orang-orang yang hadir di situ tertegun.  Hampir serentak bertanya, “Apa itu?”

Saya sampaikan bahwa dengan adanya virus COVID-19 visa umrah dihentikan sementara, umrah dilarang sejenak, orang pun tidak dapat tawaf sebagaimana biasa.  Mathaf (tempat tawaf) kosong.  “Jangan-jangan ini adalah teguran dari Allah SWT.  Jangan-jangan kita ‘dilarang’ memasuki Baitullah oleh-Nya.  ‘Dicegah’ tawaf oleh Rabbu hadzal bait”, jelas saya.  “Kita perlu memelototi diri kita apa kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan,” tambah saya.

Kawan-kawan pun menundukkan kepala, seakan malu.  Malu kepada Allah Pencipta Alam Semesta.

Pada saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana organisasi para ulama lain di dunia, telah mengeluarkan fatwa kebolehan tidak shalat berjamaah di masjid dan shalat Jumat diganti shalat zhuhur. Kita kehilangan keutamaan shalat berjamaah yang 27 kali lipat itu.  Kita kehilangan pahala melangkahkan kaki dari rumah ke masjid. Langkah kanan diangkat derajat dan langkah kaki kiri diampuni dosa.  Kita kehilangan keutamaan shalat tahiyatul masjid.  Iqamat pun dipercepat bahkan langsung dikumandangkan sesaat setelah azan. Kita pun kehilangan kesempatan untuk bermunajat kepada Allah SWT dan keutamaan waktu antara azan dan iqamat.  Kita kehilangan keutamaan menunggu kumandang azan di masjid.  Jangan sampai ini merupakan bentuk ‘pengusiran’ Allah SWT terhadap kita karena selama ini kita menjauhi-Nya.

Kasus COVID-19 menjadikan sekolah libur, pengajian dan tablig akbar dibatalkan. Bahkan kajian-kajian rutin keislaman, kalau toh tetap berjalan, dilakukan dengan daring (online).  Kita tak lagi menikmati naungan sayap malaikat saat kita melangkahkan kaki menuntut ilmu Islam.  Doa-doa dari para malaikat dan ikan-ikan di lautan bagi para penuntut ilmu, sebagaimana kata Nabi saw., barangkali tak semudah kita dapatkan sebagaimana selama ini.  Gelar sebaik-baik kita,  yakni yang belajar dan mengajarkan al-Quran, tidak lagi segampang selama ini untuk diperoleh.  Upaya menyatukan kesadaran masyarakat dalam suatu tablig akbar atau kajian umum pun hampir tidak mungkin dilaksanakan.  Keberkahan terkait ilmu dan menuntut ilmu ini seakan-akan ‘dijauhkan’ dari kita.  Apa dosa dan kesalahan kita?  Apakah gerangan yang menjauhkan kita dari cinta pada Allah SWT?  Jangan-jangan, kita selama ini abai terhadap ilmu.  Acuh tak acuh terhadap kajian keislaman alias halqah menurut istilah para ahli sirah.

Itu saya sampaikan pada kawan-kawan.  Mereka pun tetap tertunduk.  Tak mampu bicara.  Saya lihat Pak Iwan matanya berkaca-kaca.  Pak Ikhlas pun tepekur sambil memegang dada.

Saya sampaikan juga hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, “Sungguh seorang Muslim, jika berinteraksi dengan masyarakat dan dia sabar atas hal-hal yang menyakitkan dari meraka (akibat interaksi tersebut), itu lebih baik dibanding seorang Muslim yang tidak berinteraksi dengan masyarakat (uzlah) dan tidak sabar dengan hal-hal yang menyakitkan dari mereka (akibat interaksi tersebut).”

Apalagi jika interaksi atau kontak itu digunakan untuk dakwah.  Rasulullah saw. menasihati Sayyidina Ali kw., “Ali, sungguh seandainya Allah memberi hidayah kepada seorang laki-laki melalui engkau itu lebih baik bagimu dibandingkan apa saja yang matahari terbit di atasnya.” (HR al-Hakim).

Sekarang, dengan adanya Corono COVID-19, kita dibatasi untuk berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat.  Interaksi dan kontak dakwah langsung yang selama ini terasa manis kini tak ada lagi. Kontak online tak seindah berinteraksi langsung.  Kita kehilangan keutamaan berinteraksi dakwah dengan masyarakat.  Setidaknya, tidak sebanyak sebelumnya.  “Ya, Rabbana, jangan sampai ini terjadi karena selama ini kami menyia-nyiakan waktu.  Selama ini abai berinteraksi dalam rangka saling menasihati dalam kebenaran (tawashaww bilhaq), kesabaran (tawashaw bishabr dan kasih sayang (tawashaw bil marhamah).

“Jangan-jangan, kita selama ini kurang bersyukur atas nikmat kesempatan interaksi/kontak dengan sesama Muslim,” tegas saya.  Saya lihat mata mereka sembab.

“Kalau begitu, kita tidak perlu pedulikan semua itu. Kita tidak perlu social distancing. Apalagi lock down. Toh kita yakin kalau Allah SWT menghendaki kita semua akan sehat,” sergah Pak Wawan dengan nada sedikit serak.

Saya katakan, “Dari segi keyakinan, itu harus ada di dalam jiwa kita. Namun, secara ‘amali kita tetap harus melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.” tegas saya.

Dulu, Ya’la bin ‘Atha meriwayatkan dari ‘Amru bin al-Syarid dari bapaknya yang berkata, “Dalam delegasi Tsaqif (yang akan membaiat) terdapat seorang yang berpenyakit kusta. Rasulullah saw. lalu mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepada dia, ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’.” (HR Muslim).

Biasanya baiat dilakukan dengan bersalaman. Namun, dalam kasus ini beliau menerapkan apa yang disebut orang sekarang social distancing, tanpa bersentuhan.

Jadi, kita perlu kokohkan akidah, tempuh hukum sebab-akibat untuk mengatasi virus, dan last but not least kita harus segera kembali kepada Allah SWT. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 + 15 =

Back to top button