Takrifat

Mafhûm Al-Mukhâlafah – Mafhûm Ash-Shifat

Menurut Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, mafhûm al-mukhâlafah adalah apa yang madlul lafalnya pada posisi diam berlawanan dengan madlul-nya pada posisi pengucapan. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3, setelah menyatakan hal yang sama, menjelaskan bahwa makna dan hukum yang dipahami dari madlul lafal berlawanan (mukhâlif[an]) dengan apa yang dipahami dari lafal itu sendiri. Jadi makna lazim untuk madlul lafal itu, jika berlawanan dengan madlul tersebut, maka itu adalah mafhûm al-mukhâlafah.

Salah satu dari jenis mafhûm al-mukhâlafah yang menjadi hujjah dan diamalkan, seperti penjelasan Al-‘Allamah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 3 dan Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, adalah mafhûm ash-shifat.

 

Mafhûm ash-Shifat

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menjelaskan, mafhûm ash-shifat adalah pengaitan hukum dengan shifat zat (sesuatu), maka itu menunjukkan penafian hukum dari zat itu ketika shifat itu tidak ada.

Menurut Imam asy-Syawkani di dalam Irsyâd al-Fuhûl, mafhûm ash-shifat adalah pengaitan hukum terhadap zat dengan salah satu sifat.

Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh mengatakan, yang dimaksud ash-shifat menurut para ulama ushul adalah pembatasan lafal yang musytarak makna dengan lafal lain yang dikhususkan (mukhthashshin) bukan dengan syarat dan bukan ghâyah, dan yang mereka maksudkan bukan hanya an-na’tu saja seperti para ahli nahwu. Hal itu dibuktikan dengan pemisalan mereka dengan contoh sabda Rasul saw., “Mathlu al-ghaniyyi zhulm[un].” Padahal pembatasannya tidak lain dengan idhâfah saja dan mereka menjadikannya sebagai shifat.

Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) menjelaskan, begitulah menurut ahlu al-bayân. Ash-Shifat menurut mereka secara maknawi bukan an-na’tu. Yang mengkhususkan shifat hanya an-na’tu adalah ahli nahwu saja.

Pengamalan mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm ash-shifat menjadi pendapat asy-Syafi’i, Malik, Ahmad, mayoritas fukaha dan ahlu azh-zhahir. Mereka berpendapat bahwa pengkhususan sesuatu dengan suatu shifat menunjukkan penafiannya dari apa yang selainnya.

Imam asy-Syafii berkata, “Yang logis dalam lisan al-‘Arab bahwa sesuatu jika memiliki dua sifat, lalu salah satunya disifati dengan sifat tertentu, yang logis bahwa yang di dalamnya tidak ada sifat itu maka berlawanan dengannya.”

Hanya saja shifat itu syaratnya harus merupakan washf[un] mufhim[un] atau dalam istilah Imam al-Haramayn al-Juwayni, harus shifat munâshib. Artinya, shifat yang penyebutannya dalam ucapan itu memberi faedah ‘illat (sebab). Jika bukan merupakan washf[un] mufhim[un] maka tidak memiliki mafhum.

Imam al-Haramayn al-Juwaini (w. 478 H) mengatakan, karena setiap shifat yang darinya tidak dipahami munâsabatu al-hukmi maka yang disifati dengannya seperti laqab (maksudnya tidak memiliki mafhûm mukhâlafah).

Shifat itu harus merupakan washf[un] mufhim[un] atau washf[un] munâsib[un]. Sebabnya, jika penyebutan shifat itu tidak memiliki munâsabah (kesesuaian) dengan hukum itu, itu artinya hukum itu tidak dikhususkan dengan shifat itu dan karenanya tidak menafikan hukum dari apa yang shifat itu tidak ada padanya. Shifat itu bukan washf[un] mufhim[un] atau washf[un] munâsib[un] ketika benak tidak langsung beralih kepadanya ketika mendengarnya dan tidak langsung terlintas di dalam benak bahwa shifat itu menjadi alasan hukum itu atau tidak menjadi ‘illat-nya.

Jadi mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm ash-shifat bisa diamalkan, shifat itu haruslah washf[un] mufhim[un] atau washf[un] munâsib[un]. Jika bukan, maka mafhum-nya tidak bisa diamalkan. Contohnya, sabda Rasul saw., “Li as-sâ`ili haqq[un] wa in jâ`a ‘alâ faras[in] (Orang yang meminta punya hak meski dia datang di atas hewan tunggangan).” (HR Ahmad).

Shifat as-sâ‘il tidak munâsib (tidak sesuai) menjadi sebab dia diberi harta zakat sehingga tidak punya mafhum. Karena itu zakat diberikan kepada yang berhak baik dia meminta atau tidak.  Juga ucapan Umar, “Laysa li muhtajir[in] haqq[un] bada tsalâtsi sinîn (Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah setelah tiga tahun).” (HR Abu Ubaid).

Shifat al-muhtajir tidak menjadi alasan hilangnya hak kepemilikan tanah. Hilangnya hak atas tanah itu bukan hanya atas al-muhtajir saja.

Contoh mafhûm al-mukhâlafah dalam bentuk mafhûm ash-shifat, adalah sabda Rasul saw.:

وَفِي صَدَقَةِ الغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا

Pada zakat domba adalah pada yang digembalakan (HR Ahmad, al-Bukhari, an-Nasai, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).

 

Al-Ghanam (domba) merupakan isim zat, punya dua sifat: as-sâ‘imah (digembalakan) dan al-ma‘lûfah (diberi makan/tidak digembalakan). Hukum kewajiban zakat dikaitkan dengan sifat as-sâ‘imah. Hal itu menunjukkan tidak adanya kewajiban zakat pada al-ma’lûfah.

Contoh lainnya, firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ ٦

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (QS al-Hujurat [49]: 6).

 

Shifat fâsiqun itu munâsib dengan hukum, yaitu tabayyun. Mafhûm al-mukhâlafah-nya, tidak wajib bagi kita melakukan tabayyun (memeriksa dengan teliti) atas berita dari orang yang bukan fasiq.

Dalil bahwa mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm ash-shifat diamalkan dan merupakan hujjah di antaranya: Pertama, pengaturan hukum terhadap shifat memberitahukan peng-’illat-an, yakni shifat itu menjadi ‘illat untuk hukum itu. Sifat digembalakan, misalnya, adalah ‘illat untuk kewajiban zakat hewan ternak. Ketika itu, hukum menjadi tidak ada dengan tidak adanya sifat tersebut. Jika disebutkan kewajiban zakat dalam hewan ternak yang digembalakan, maka pertanyaannya adalah apa hukum hewan ternak yang diberi makan (al-ma’lûfah)? Iu adalah hukum apa yang tidak diucapkan. Jadi penetapan kewajiban zakat pada as-sâ`imah (yang digembalakan) dan diam dari al-ma’lûfah (yang diberi makan) memberi faedah tidak wajib zakat pada al-ma’lûfah. Ini termasuk dalam dalâlah al-iltizâm.

Pengkhususan hukum di dalam nas dengan suatu shifat harus punya faedah untuk menjaga ucapan dari kesia-siaan. Jika tidak ada faedah selain penafian hukum dari yang tidak disifati dengan shifat itu maka harus dibawa ke pemahaman ini. Jika tidak maka pengkhususan dengan shifat itu menjadi sia-sia. Kalam Asy-Syâri’ mustahil sia-sia. Oleh karena itu pengkhususan hukum dengan shifat itu harus dibawa ke penafiannya ketika shifat itu tidak ada. Artinya, pengaitan suatu hukum dengan satu shifat harus dipahami lawannya pada apa yang shifat itu tidak ada padanya.

Selain itu, hukum yang ditata di atas seruan yang dibatasi dengan shifat berarti dikaitkan dengan sebab berupa shifat itu. Hal itu karena pengaturan hukum terhadap shifat memberitahukan peng-’illat-an, dan tidak adanya ‘illat mengharuskan tidak adanya hokum. Dengan demikian, hal mengharuskan penafian hukum pada apa yang shifat itu tidak ada padanya.

Kedua, nas menetapkan penggunaan mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm ash-shifat. Misalnya, sabda Rasul saw.,  “Layyu al-wâjidi yuhillu ‘irdhahu wa ‘uqûbatahu (Orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utang, melepaskan kehormatannya dan sanksinya.” (HR Abu Dawud).

Al-Wâjid adalah al-ghaniy (orang kaya). Layyu adalah mathlu (menunda-nunda pembayaran).  Ikhlâlu ‘irdhihi adalah dia dituntut. ‘Uqûbatuhu adalah habsuhu (ditahan). Mafhûm al-mukhâlafah-nya, yang bukan al-wâjid maka semua itu tidak halal terhadap dirinya. Jadi Rasul saw. menginginkan dari hadis itu bahwa orang yang bukan al-wâjid maka tidak halal kehormatan dan sanksinya. Termasuk hal itu sabda Rasul saw., “Mathlu al-ghaniyyi zhulm[un] (Penundaan pembayaran oleh orang kaya adalah kezaliman).” (HR al-Bukhari).

Itu menunjukkan bahwa penundaan pembayaran dari orang fakir bukanlah kezaliman. Pemahaman demikian itu terbukti di dalam ‘urf penggunaan para ahli bahasa, yakni secara bahasa.

Diriwayatkan dari Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, ulama ahli bahasa yang menjadi rujukan, ketika beliau mendengar hadis Rasul saw., “Layyu al-wâjidi yuhillu ‘irdhahu wa ‘uqûbatahu (Orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utang), hal itu menghalalkan kehormatannya dan sanksinya).”

Beliau berkata, “Orang yang bukan al-wâjid (bukan orang kaya) maka tidak halal kehormatan dan sanksinya.”

Ketika mendengar sabda Rasul saw., “Mathlu al-ghaniyyi zhulm[un] (Penundaan pembayaran oleh orang kaya merupakan kezaliman),” Abu Ubaid berkata, “Penundaan pembayaran oleh orang fakir bukan kezaliman.”

Abu Ubaid yang termasuk fushaha‘ al-‘Arab dan ahli bahasa memahami bahwa pengaitan dan pengkhususan hukum dengan shifat menunjukkan penafian hukum itu dari apa yang shifat itu dinafikan darinya.

Dengan demikian mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm ash-shifat sah dijadikan hujjah dan diamalkan. Hanya saja, memang ada beberapa kondisi yang mana mafhûm ash-shifat dan mafhûm al-mukhâlafah umumnya tidak bisa diamalkan, yang akan dibahas pada artikel lainnya.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 2 =

Back to top button