Dari Redaksi

Menggusur Tanah Rakyat, Belajarlah Kepada Khalifah Umar RA.

Konflik tanah di Pulau Rempang-Galang kembali membuktikan kerakusan pemilik modal dengan menggunakan tangan negara. Rakyat dituding  bersalah dan harus kalah. Padahal dalam konflik ini rakyat yang dirugikan, ditangkap, diteror dan terancam tanahnya dirampas.

Dengan arogan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menyatakan penduduk yang menempati Pulau Rempang tidak memiliki sertifikat sejak dulu. Dalam Rapat di DPR RI, Hadi mengatakan tanah itu semuanya di bawah Otorita Batam.  Selain mempersoalkan sertifikat rakyat, rezim Jokowi juga menjadikan proyek ini, sejak 28 Agustus 2023, menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak lain untuk memuluskan rencana dan memperkuat legitimasinya.

Hal ini tentu saja ditolak oleh warga Rempang. Tanah yang mereka tempati adalah tanah yang sudah mereka tempati secara turun-temurun. Mereka telah ada di sana sejak tahun 1934. Bahkan nenek moyang mereka ada yang sudah tinggal di sana sejak tahun 1719, jauh sebelum Indonesia ada. Cara berpikir rezim ini, oleh Candra Purna Irawan, dari LBH Pelita Umat, dikecam sebagai mirip dengan rezim kolonial yang menggunakan konsep domein verklaring (negaraisasi tanah), meskipun sudah dihapus dalam UU Agraria. Prinsip domein verklaring ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara. Ini yang memungkinkan negara mengambil dan mengusir rakyat yang dianggap tidak memilik bukti kepemilikan. Cara seperti ini dilakukan Belanda untuk merampas tanah rakyat yang dianggap tidak memilik sertifikat yang diakui kolonial.

Konflik yang disikapi dengan arogansi dan kekerasan di lapangan oleh aparat negara kembali menunjukkan kepada kita, betapa rusak ideologi Kapitalisme yang telah menempatkan pemilik modal sebagai penguasa sejati. Sistem kapitalisme dengan ekonomi liberal dan politik demokrasinya telah menciptakan para oligarki rakus. Mereka mengendalikan negara dengan uang dan kekuasaannya.

Di Rampang-Galang ini rencananya akan dibangun lokasi Mega Proyak Rempang Eco City, kawasan perdagangan, industri dan real estate. Proyek ini  sarat investasi asing, terutama Cina. Proyek ini akan dilakukan anak perusahaan Group Artha Graha milik Tomi Winata, yang dikenal masuk dalam lingkaran 9 naga oligarki Indonesia. Dikabarkan untuk proyek ini sudah digelontorkan investasi sebesar Rp 381 triliun. Bahkan rezim Jokowi memberikan konsesi kerja selama 80 tahun untuk pengelola.

Wilayah ini juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group dengan nilai investasi sebesar 11,6 miliar US dolar atau sekitar Rp 174 triliun.

Konflik ini juga semakin menunjukkan kepada kita bahwa rezim dalam sistem kapitalisme sejatinya adalah pelayan pemilik modal. Tak segan mereka mengorbankan rakyat dengan alat kekuasaan negara. Hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam.

Dalam Islam, fungsi kepala negara, selain menjaga agama, juga mengurus urusan-urusan (dunia) rakyat. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkaam ash-Shulthaaniyyah. Dua tugas pokok kepala negara (Khalifah) adalah menjaga agama (fii hiraasah ad-diin) dan mengurus urusan rakyat (wa siyaasat ad-dunyaa’). Artinya, kepala negara dalam Islam adalah pelayan rakyat. Bukan malah membuat kebijakan yang membawa derita bagi rakyat.

Dalam Islam, boleh saja Khalifah atau kepala negara meminta kepada rakyat, yang merupakan pemilik tanah, untuk menjual tanah miliknya kepada negara. Namun, itu semua dilakukan harus benar-benar untuk kemaslahatan umat dan tetap harus dalam persetujuan pemilik tanah. Tidak boleh negara memaksa rakyat pemilik tanah meskipun bisa jadi di atas tanah itu akan dibangun untuk kebaikan. Inilah yang pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Saat itu ada seorang Yahudi yang sudah tua renta. Dia mengadu jauh-jauh dari Mesir kepada Khalifah di Madinah. Pasalnya, Gubernur Amr bin Ash, dengan alasan  untuk kepentingan membangun masjid yang megah di samping Kantor Gubernur, menggusur paksa rumahnya.

Memang sang Gubernur telah membujuk sang kakek dengan penawaran 15 kali lipat dari harga pasar. Namun, orang Yahudi ini keberatan untuk melepaskan rumah miliknya. Meskipun gubuk reot, rumah itu penuh dengan kenangan bagi sang kakek dan dibeli dari hartanya sendiri. Mendengar pengaduan ini, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. marah besar. Mukanya merah. Ia lalu mengirimkan kepada sang Gubernur  tulang belikat unta yang ia pungut dari sampah. Tulang itu digores oleh Khalifah Umar dengan ujung pedangnya huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan satu goresan melintang. Khalifah Umar pun meminta sang Kakek untuk menyerahkan tulang itu kepada Gubernur.

Ketika Amr bin Ash menerima tulang itu, ia pun gemetar. Ia segera memerintahkan untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali rumah sang kakek. Amr bin Ash menjelaskan tulang itu sebagai tanda peringatan dari Khalifah Umar ra.. Lewat tulang itu, Khalifah Umar seolah hendak mengingatkan: apa pun pangkat dan kekuasaan seseorang, suatu saat akan bernasib sama seperti tulang ini. Adapun goresan huruf alif yang lurus, artinya Khalifah memperingatkan dia harus adil ke atas dan ke bawah. Kalau tidak, Khalifah Umar tidak segan-segan memenggal kepala sang gubernur. SubhaanalLaah. Yahudi itu pun tersentuh dengan keadilan Islam. Ia kemudian memilih masuk Islam. Ia bahkan merelakan rumahnya untuk dijadikan masjid.

Rasulullah saw. pun pernah memperingatkan untuk jangan main-main dengan tanah yang merupakan milik orang lain. Siapapun pelakunya akan mendapatkan hukuman berat. Aisyah ra. berkata, “Wahai Abu Salamah hindarkanlah bertengkar dalam urusan tanah karena Nabi saw. pernah bersabda, ‘Siapa saja yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh lapis  bumi’.” (al-Bukhari).

AlLaahu Akbar!  [Farid Wadjdi]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + eight =

Back to top button