Agenda Global Rajab: 100 Tahun Tanpa Khilafah
Hampir satu bulan melakukan kampanye global, memperingati 100 tahun keruntuhan Khilafah di seluruh dunia, Hizbut Tahrir menutup agenda ini dengan acara puncak Konferensi Internasional yang diadakan pada tanggal 29 Rajab 1442 H (13 Maret 2021). Konferensi Internasional via online ini menghadirkan pembicara dari berbagai negara dengan tema yang beragam. Acara ini disaksikan dari berbagai penjuru dunia, dimulai jam 20.00 waktu Madinah.
Kampanye global Rajab ini digerakkan oleh Hizbut Tahrir mengambil tema umum: 100 Tahun Khilafah Diruntuhkan, Tegakkan Kembali Wahai Kaum Muslimin. Tujuannya untuk mengingatkan umat satu peristiwa penting pada Bulan Rajab yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan kaum Muslim saat ini. 100 tahun lalu Inggris, dengan dukungan pengkhianat Arab dan Turki, meruntuhkan Khilafah pada Bulan Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924. Sejak saat itu, tidak ada lagi payung institusi politik global umat Islam yang mempersatukan umat, melindungi umat dan menerapkan syariah Islam secara total. Lebih kurang 100 tahun sejak saat itu umat kehilangan Khilafah, sebuah negara adidaya yang mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia.
Seperti yang disampaikan Ustadz Ismail Yusanto, peringatan ini bukanlah sekedar romantisme sejarah. Namun, sekadar mengingatkan umat tentang malapetaka besar yang terjadi di tengah-tengah mereka, yaitu keruntuhan Khilafah. Dengan itu umat kembali diingatkan akan kewajiban kolektif penegakan kembali Khilafah.
Konferensi Internasional ini dibagi menjadi tiga sesi acara. Sesi pertama dibuka dengan pidato Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim al-Jalil Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rashtah. Dalam sambutannya, Amir Hizbut Tahrir ini mengingatkan berbagai derita umat setelah Khilafah diruntuhkan Mustafa Kamal. Negeri-negeri Islam dipecahbelah menjadi negara-negara kecil yang lemah dan tak berdaya. Palestina dengan bantuan Inggris dijajah Zionis Yahudi. Negara-negara Barat termasuk Amerika, kemudian menjaga eksistensi penjajah Yahudi ini sebagai harga mati. Umat Islam pun dijajah dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, sosial budaya, hingga pendudukan militer.
Bukan hanya Palestina, negeri-negeri Islam lainnya mereka duduki, dipecahbelah dan dilemahkan. Kashmir digabungkan oleh orang musyrik Hindu ke negara India. Rusia menganeksai Krimea. Timor Timur dicabut dari Indonesia, Ciprus yang selama ini menjadi benteng kaum Muslim selama tahun-tahun yang panjang dikuasai oleh Yunani. Kaum Muslim Rohingya dibantai di Myanmar “Burma”. Alih-alih Bangladesh membantu saudara mereka yang terpaksa melarikan diri dari negeri Arakan, negeri mereka sendiri, rezim Bangladesh menyusahkan para pengungsi dengan mengumpulkan mereka di Pulau Bhasan Char, pulau berbahaya yang terancam banjir. Tidak layak untuk dihuni manusia! Kemudian Turkistan Timur, dianeksasi Cina, diubah menjadi Xianjiang. Negara Cina komunis ini pun bertindak brutal terhadap Muslim Uighur, memperlakukannya secara bengis.
Tanpa Khilafah, negeri-negeri Islam dipimpin oleh penguasa boneka Barat. Para ruwaybidhah, orang bodoh yang mengurusi umat. Mereka lebih melayani kepentingan penjajah kafir dibandingkan rakyatnya sendiri. Mereka bertindak represif untuk membungkam aspirasi rakyatnya kembali kepada Islam sebagai bagian tugas pokok dari tuan-tuan imperialism mereka. Tanpa peduli harus membantai rakyatnya sendiri, menelantarkan rakyat mereka yang hidup miskin, menderita, di negeri yang sesungguhnya kaya. Namun, kekayaan alam negeri Islam dibiarkan oleh penguasa ruwaybidhah ini untuk dikeruk penjajah imperialis.
Untuk itu al-Alim al-Jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah mengajak umat untuk kembali bersama-sama menegakkan Khilafah ar-Rasyidah. Amir HT ini juga menyeru ahlul quwah wal man’ah, yang memiliki kekuatan ril, untuk menjadi wahai ahlun nushrah, yang menolong perjuangan mulia ini. Beliau menyerukan:
Tidak adakah di antara Anda sekalian sosok Mushab bin ‘Umair, As’ad bin Zurarah, Usaid bin Hudhair dan Saad bin Muadz yang menolong Allah SWT dan Rasul-Nya saw. sehingga mereka mulia di dunia dan akhirat? Bahkan ‘Arasy ar-Rahman pun berguncang karena kematian Saad bin Muadz, karena pertolongannya kepada agama Allah. Jabir ra. berkata: Aku mendengar Nabi saw. bersabda, “’Arasy berguncang karena kematian Sa’ad bin Mu’adz.” (HR al-Bukhari).
Para pembicara mengangkat berbagai tema-tema penting yang menarik. Mahmud Kar, Kepala Kantor Media Hizbut Tahrir wilayah Turki, menyoroti Krisis Demokrasi di negara-negara yang justru menjadi jantung demokrasi seperti Amerika Serikat. Maraknya isu rasialis yang tak berhenti hingga kini. Penyerbuan Capitol Hill oleh pengikut Trump. Kesenjangan kaya dan miskin di negara itu. Penyakit sosial yang akut seperti bunuh diri. Tingginya kejahatan di Negara Paman Sam itu. Semua itu menjadi indikasi kegagalan demokrasi di jantungnya sendiri.
“Negara Amerika dalam posisi yang tidak bisa lagi menggunakan sihir tipudayanya dengan mengatakan, ‘Kami telah membawakan Anda demokrasi ‘, untuk melestarikan kolonisasi negara-negara lain, karena dunia sekarang mengatakan Amerika harus lebih dulu menerapkan demokrasi mereka sebelum mengajak orang lain…,” tegas Mahmud Kar.
Kritik terhadap sistem Kapitalisme juga diangkat oleh pembicara dari Inggris, Jamal Harwood. Anggota Komita Eksekutif Hizbut Tahrir Wilayah Inggris ini menyoroti kegagalan ekonomi kapitalisme untuk mensejahterakan umat manusia. Ekonomi kapitalisme juga gagal menciptakan stabilitas ekonomi, menumbuhkan ekonomi riil dan menghentikan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.
“Penderitaan yang kita saksikan di dunia Muslim dan di Barat berasal dari ketiadaan Islam dalam kehidupan. Tidak ada ekonomi Islam tanpa masyarakat Islam. Tidak ada masyarakat Islam tanpa aturan Islam (syariah). Namun, di sinilah kita sekarang, 100 tahun Hijrah sejak umat belum memiliki baiat di pundak mereka untuk pemimpin kaum Muslimin, Khalifah,” ujar Harwood.
Syaikh Said Ridwan dari Yordania juga mengingatkan umat untuk kembali pada hukum-hukum Allah SWT. Kembali pada Islam inilah yang akan menyelesaikan persoalan umat Islam. Syaikh Said Ridwan membacakan al-Quran Surat Thaha ayat 123 yang artinya: (Ketahuilah), siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka (QS Thaha []: 123).
“Wahai kaum Muslim, sungguh kembalinya Khilafah merupakan persoalan keyakinan bahwa Khilafah akan memuliakan dan meninggikan Islam, memenangkan agama Allah atas agama-agama yang lain. Dengan Khilafah, penyembahan hanya kepada Allah SWT. Dengan Khilafah, syariah Islam akan diterapkan secara totalitas, Islam akan diemban ke seluruh penjuru dunia sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam,” ujarnya.
Pembicara dari Kuwait, Syaikh Utsamah ath-Thuwaini, mengingatkan bahwa Khilafah yang diinginkan umat Islam adalah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Bukan sistem politik pewarisan (Kerajaan). Menurut dia, Islam tidak membolehkan sistem pewarisan dalam masalah kepemimpinan negara. Dalam Islam, kekuasaan ada di tangan umat, pada umatlah hak untuk membaiat Khalifah.
“Hukum syariah telah menjadikan keabsahan pengangkatan Khalifah dengan adanya baiat dari umat (kaum Muslimin). Bukan jamaah tertentu. Bukan pula kelompok tertentu seperti militer, partai atau politisi. Pada umat terdapat hak untuk memilih Khalifah, akad pengakatan Khalifah berdasarkan prinsip keridhaan dan pemilihan,” ujarnya
Salah satu pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat adalah mengapa harus Hizbut Tahrir. Hal ini jawab tuntas Syaikh Yusuf Makharza dari Palestina dengan makalah yang berjudul: Mengapa Harus Hizbut Tahrir?
Syaikh Yusuf menjelaskan bahwa Hizbut Tahrir mengusung pemikiran Islam agar umat muncul kesadaran politik sehingga umat menjadikan Islam sebagai satu-satunya mabda’ yang harus diemban oleh umat.
Dari Malaysia, DR Muhammad Abul ‘Ain, menyoroti kelancangan Barat terhadap kesucian umat Islam. “Penghapusan Khilafah pada tahun 1924 merupakan pukulan terakhir bagi Negara yang telah melindungi Muslim dan Islam selama lebih dari seribu tahun. Sepertinya Barat telah membalas dendam. Kedengkian dan kebencian mereka terhadap Islam tidak berakhir di situ. Jatuhnya Khilafah menandakan intensifikasi keberanian Barat atas kesucian Muslim dan Islam,”ujarnya.
Bagaimana peran Muslimah disoroti secara khusus oleh Dr. Nazreen Nawaz, Direktur Bagian Wanita Kantor Media Hizbut Tahrir. Menurut Nazreen, tidak ada masa saat wanita Muslimah benar-benar dihargai, dihormati dan dikembangkan potensinya, kecuali masa Khilafah. Namun, sekarang, kita melihat tragedi dan penderitaan akibat hilangnya Khilafah membekas dalam kehidupan wanita Muslim secara global. Kehormatan, perlindungan dan hak istimewa yang tak terhitung jumlahnya yang diberikan kepada mereka oleh Hukum Allah SWT menjadi salah satu korban utama dari ketiadaan negara yang mulia ini.
“Para Muslimah saat ini menjadi korban teror rezim tiran yang menganiaya mereka hanya karena mengenakan pakaian islami mereka atau karena mengibarkan panji agama mereka. Jadi, tidak mengherankan bahwa hari ini kita mendengar seruan Khilafah bergema dari para wanita umat ini dari seluruh penjuru dunia!” tegasnya
Pesan untuk para pemuda pun disampaikan. Keberadaan pemuda dalam proses perubahan masyarakat, tidak bisa dibantah. Syaikh Nashir Ridho dari Sudan mengajak para pemuda sebagai garda terdepan perjuangan untuk bergabung bersama menegakkan Khilafah di tengah-tengah umat. “Wahai harapan dan harapan umat, jangan seperti unta di gurun yang sekarat karena kehausan, sementara ia membawa air tepat di punggungnya! Ketahuilah dengan pasti bahwa petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar.” Imbaunya. [AF]