Dunia Islam

Arah Baru Situasi Suriah

Pemberitaan di berbagai media internasional menggambarkan seolah situasi Suriah sudah mereda. Beberapa langkah seolah menunjukkan peredaan tersebut. UNHCR melaporkan mengenai upaya pengembalian pengungsi Suriah untuk dapat kembali ke negerinya. Pasukan koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat pun diumumkan akan mulai ditarik. Demikian juga hubungan antarnegara di Timur Tengah yang awalnya merenggang, kini seolah sudah menuju pada perbaikan kondisi. Betulkah ada keadaan baru dalam situasi konflik di Suriah?

 

Pengembalian Pengungsi

Direktur Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa atau UNHCR untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Amin Awad, menyatakan bahwa setidaknya 250.000 pengungsi Suriah dinyatakan bisa kembali ke tanah airnya pada 2019, meskipun ada rintangan besar yang mereka hadapi. Tentu ini jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan keberadaan sekitar 5,6 juta pengungsi Suriah yang masih berada di negara-negara tetangga, antara lain Turki, Lebanon, Yordania, Mesir, dan Irak. Mereka termasuk satu juta anak Suriah yang lahir di luar negeri dengan akta kelahiran asing yang telah disepakati pemerintah Suriah.

Meskipun konflik Suriah mereda, konflik ini telah menewaskan lebih dari 360 ribu orang sejak 2011. Awad mengatakan bahwa orang-orang yang kembali menghadapi banyak rintangan. Salah satu rintangan adalah masalah yang terkait dengan wajib militer dan pertanyaan di sekitar mereka ketika mereka meninggalkan Suriah. Ada rintangan yang terkait dengan keamanan fisik bahkan di tempat-tempat pertempuran yang telah berhenti.

 

Penarikan Mundur Pasukan AS

Pada tanggal 20 Desember 2018, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengklaim bahwa kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah berhasil dikalahkan. Atas keputusan tersebut, Trump pun mengumumkan perintah mengejutkan berupa penarikan kembali pasukan militer AS dari Suriah.

Sebagaimana diketahui, saat ini ada sekitar 2.000 pasukan AS yang berada di Suriah. Sebagian besar mereka ditempatkan di Suriah Utara, meski ada juga sebagian kecil yang ditempatkan di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.

Tentu penarikan pasukan militer AS ini bisa menyebabkan konsekuensi geopolitik di Suriah. Mantan penasihat kebijakan luar negeri Hillary Clinton, Jesse Lehrich, menyesalkan keputusan penarikan pasukan AS. Dia menilai langkah itu akan membesarkan Presiden Suriah Bashar Assad dan memperkuat Rusia serta Iran.

Senator Republik, Marco Rubio, juga tidak setuju dengan penarikan pasukan AS. Rubio menggemakan penilaian Lehrich bahwa penarikan pasukan AS akan mengubah Suriah condong ke Rusia dan Iran. Menurut dia, langkah itu bisa mengarah pada konflik lain antara Israel dan Hizbullah yang didukung Iran.

Senator Republik lainnya, Lindsey Graham, mengatakan penarikan pasukan AS akan menjadi kesalahan besar seperti yang dilakukan Obama, yang memungkinkan kebangkitan ISIS dan menempatkan Kurdi dalam bahaya.

Namun demikian, setelah memicu perdebatan, Presiden AS Donald Trump dilaporkan sepakat memperpanjang masa penarikan 2.000 tentara AS dari Suriah menjadi empat bulan. Trump mengatakan bahwa pihaknya akan menarik pasukan pelan-pelan dari Negara konflik itu. Kesepakatan ini tercapai setelah Trump berbicara dengan Jenderal Paul Lacamira, komandan pasukan AS untuk memerangi ISIS di Irak dan Suriah. Keduanya berdiskusi saat Trump menggelar kunjungan sembunyi-sembunyi ke Irak untuk memeriksa pasukannya.

Presiden AS Donald Trump menegaskan kembali keputusannya untuk menarik semua pasukan dari Suriah. AS tak ingin menjadi polisi Timur Tengah. Trump mengatakan, AS tak mendapat apa-apa dari kehadirannya di Suriah, terutama setelah ISIS dihancurkan. Menurut dia, sudah saatnya bagi pihak lain untuk melanjutkan. Trump juga mengklaim, Rusia, Iran, Suriah dan negara lain sebenarnya tak suka jika AS pergi. Namun kini mereka harus berjuang melawan ISIS tanpa AS.

Trump memercayakan penangangan sisa-sisa kelompok ISIS di Suriah kepada Turki. Trump berkomunikasi melalui telepon dengan Erdogan pada Minggu (23/12/2018). Menurut dia, Erdogan sudah memberikan jaminan akan menumpas sisa kekuatan ISIS yang ada.

Ankara melalui Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menyambut baik keputusan AS untuk menarik tentaranya dari Suriah. Turki sepenuhnya mendukung keutuhan wilayah Suriah. Turki telah memerangi ISIS selama bertahun-tahun. Cavusoglu juga mengatakan dia dan pejabat lain Turki sudah mengadakan kontak dengan para pejabat AS “pada tingkat yang berbeda” mengenai masalah itu.

Meski demikian, Juru Bicara Gedung Putih Sarag Sanders mengatakan koalisi yang dipimpin AS di belasan negara lain akan terus melanjutkan perjuangan untuk memerangi para teroris.

Dalam konteks terkait, Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Florence Barley, menekankan perlunya “menyelesaikan misi” untuk mengalahkan ISIS sebelum koalisi AS menarik diri dari Suriah. Paris beranggapan organisasi tersebut belum kalah.

Barley menggambarkan bahwa pengumuman Trump menarik 2.000 tentara AS dari Suriah pada pertengahan Desember lalu sangat mengejutkan. Ia menegaskan bahwa perang terhadap ISIS di Suriah belum berakhir, dan militernya akan menyelesaikannya.

Namun demikian, Koalisi anti-ISIS pimpinan AS dilaporkan sudah memulai proses penarikan pasukan dari Suriah. Kolonel Sean Ryan menyampaikan bahwa Koalisi sudah memulai proses penarikan secara sengaja dari Suriah. Karena khawatir akan keamanan operasional, tidak akan dibahas jadwal waktu tertentu, lokasi atau pergerakan pasukan. Walaupun demikian, warga di dekat penyeberangan perbatasan yang biasanya digunakan oleh pasukan AS untuk keluar dan masuk dari Suriah ke Irak mengatakan, tak melihat pergerakan pasukan AS yang jelas atau berskala besar.

 

Pemulihan Hubungan Negara-negara Arab dengan Suriah

Penarikan pasukan koalisi yang dipimpin oleh AS ini tentu dibarengi dengan tindakan-tindakan politis yang bertujuan untuk tetap mengamankan kepentingan negara-negara Barat di Suriah dan Timur Tengah. Salah satunya adalah pemulihan hubungan negara-negara Arab dengan Suriah.

Sebagaimana diketahui, konflik Suriah telah menyeret negara-negara di kawasan Timur Tengah terbagi atas beberapa kubu. Banyak faktor yang menyebabkan pecahnya penyikapan negara-negara Arab terhadap konflik yang terjadi di Suriah.

Kini, masa itu diharapkan berakhir. Dengan ‘komando’ dari AS, negara-negara Arab melakukan harmonisasi hubungan. Presiden AS Donald Trump bahkan mengatakan, Arab Saudi akan menggelontorkan “uang yang diperlukan” untuk membantu merekonstruksi Suriah yang dilanda perang.

Trump mengatakan Riyadh akan mendukung Suriah setelah penarikan militer AS. Sebenarnya Pemerintah Saudi, sejak Oktober 2018 lalu, telah mengirimkan USD 100 juta ke AS, dua bulan setelah berjanji untuk membantu menstabilkan bagian-bagian Suriah.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengungkapkan, Presiden Suriah Bashar Assad akan tetap berkuasa untuk sementara waktu. Hunt menilai dukungan Rusia turut berperan dalam mempertahankan kedudukan Assad. Hunt menegaskan, Inggris tetap pada posisi sebelumnya. Inggris meyakini bahwa tak akan ada perdamaian yang berlangsung lama di Suriah bila negara tersebut masih dipimpin oleh Assad. Hunt melanjutkan, tiap pihak yang ingin terlibat di Suriah perlu memastikan bahwa kedamaian benar-benar dapat tercipta di negara tersebut.

Upaya normalisasi tersebut terus berjalan. Presiden Suriah Bashar Assad menerima kunjungan delegasi Persatuan Pengacara Arab (Arab Lawyers Union) yang dipimpin oleh sekjen organisasi ini, Nasser Hamoud al-Kerween, ke Suriah, Senin (7/1/2019). Persatuan Pengacara Arab mengucapkan selamat kepada pemimpin, rakyat dan tentara Suriah atas kesolidan dan kekompakan mereka dalam perjuangan melawan terorisme yang menerjang mereka. Organisasi ini menegaskan dukungan mereka pada pemulihan hubungan Suriah dengan negara-negara Arab, dan menyebutkan bahwa Suriah menjadi target konspirasi karena keteguhannya pada prinsip-prinsip nasional dan Arab, terutama terkait dengan isu Palestina. Rombongan delegasi Persatuan Pengacara Arab terdiri antara lain atas Ketua Persatuan Pengacara Arab, Ketua Asosiasi Pengacara Mesir, Ketua Asosiasi Pengacara Yordania, dan Sekjen Persatuan Pengacara Arab.

Sebelumnya, Presiden Sudan Omar al-Bashir menjadi pemimpin Liga Arab pertama yang menginjakkan kaki di Damaskus, Suriah, sejak perang berkobar di negara itu nyaris delapan tahun silam. Kantor berita Suriah, SANA, mengatakan bahwa al-Bashir tiba di Damaskus disambut langsung oleh Presiden Bashar al-Assad sebelum akhirnya keduanya menuju Istana Presiden. Menurut Kantor Presiden Suriah, keduanya membahas hubungan bilateral dan situasi serta krisis yang dihadapi oleh banyak negara Arab.

Setelah Sudan, pemimpin negara anggota Liga Arab lainnya, yakni Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz, juga mengunjungi Damaskus.

Pada Oktober lalu, Assad mengatakan kepada surat kabar Kuwait bahwa Suriah telah mencapai pemahaman utama dengan negara-negara Arab setelah permusuhan selama bertahun-tahun. Dia tidak menyebutkan nama sejumlah negara Arab tersebut. Meski demikian, dia mengatakan bahwa sejumlah delegasi Arab dan Barat telah mulai mengunjungi Suriah untuk mempersiapkan pembukaan kembali misi diplomatik mereka.

Yordania juga telah membuka kembali penyeberangan Nassib ke Suriah pada Oktober lalu. Adapun Israel dilaporkan mengambil sejumlah langkah untuk meningkatkan hubungan dengan rezim Assad. Pada bulan yang sama, pelintasan Quneitra di Dataran Tinggi Golan yang diduduki sebagian telah dibuka kembali di bawah pengawasan militer Rusia.

Sementara itu, Turki, pendukung utama terakhir dari oposisi Suriah, mengatakan bahwa pihaknya siap untuk terlibat dengan Damaskus jika pemerintah Assad mengadakan menggelar Pemilu yang bebas dan adil.

Uni Emirat Arab bahkan membuka kembali kedutaan besarnya di Damaskus, Suriah, pada 28/12/18. Ini menandai dorongan diplomatik untuk Presiden Bashar al-Assad dari negara Arab sekutu AS yang pernah mendukung pemberontak melawannya. UEA mengatakan langkah itu bertujuan untuk menormalkan hubungan dan untuk mengurangi risiko campur tangan regional dalam urusan Arab, Suriah. Pada saat konflik, UEA adalah satu dari beberapa negara kawasan yang mendukung kelompok-kelompok bersenjata yang menentang Assad, meskipun perannya kurang menonjol dibandingkan dengan Arab Saudi, Qatar atau Turki.

Di Liga Arab, majelis anggota permanen Liga Arab telah setuju untuk mendiskusikan tentang dicantumkannya kembali Suriah sebagai negara anggota. Surat kabar milik Pemerintah Mesir, Al-Ahram, mengutip sejumlah sumber melaporkan, beberapa negara anggota Liga Arab telah menyatakan dukungannya untuk membawa kembali Suriah menjadi anggota. Hal itu akan memungkinkan Presiden Suriah Bashar Assad menghadiri Arab Economic Summit yang digelar di Lebanon akhir bulan ini. Sebelumnya Mesir dan Tunisia dilaporkan telah mendiskusikan tentang kemungkinan mengundang Assad dalam KTT Liga Arab ke-33 yang dihelat di Tunis pada Maret mendatang.

Hal ini tentu mengecewakan pihak oposisi yang selama konflik mereka didukung negara-negara Arab. Pemimpin oposisi Suriah Nasr al-Hariri meminta negara-negara Arab tidak membangun kembali hubungan dengan pemerintahan Bashar Assad. Menurut dia, hal itu akan menempatkan rakyat Suriah dalam bahaya.

 

Penutup

Jelas, konflik Suriah memang telah mengalami peredaan. Namun, situasi yang terjadi menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan bagi rakyat Suriah. Bashar Assad tetap berkuasa. Oposisi melemah. Dukungan negara-negara Arab yang disokong oleh negara-negara super power kembali mempertahankan kepentingan mereka di Suriah. Normalisasi telah diupayakan.

Namun, ini belum menandakan akhir, karena masih banyak PR besar yang dihadapi Suriah. WalLâhu a’lam. [Dari berbagai sumber]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 − one =

Back to top button