Tarikh

Cara Khilafah Mengatasi Krisis Ekonomi Bagian 5 (Habis): (Menghentikan Had Pencurian dan Pungutan Zakat) – Bagian 5 (Habis)

Langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. ketika terjadi bencana adalah menghentikan sementara hukuman bagi pencuri. Hal ini dilakukan bukan karena mengabaikan hukum yang sudah pasti dalam Islam, namun lebih disebabkan karena syarat-syarat pemberlakuan hukum untuk pencuri tidak terpenuhi. Saat itu orang mencuri dan memakan barang milik orang lain karena sangat Iapar. Itu semata untuk menyambung nyawanya karena memang tidak bisa  mendapatkan makanan. Mereka bukanlah orang yang bertindak sekehendaknya dan tidak bermaksud mencuri.

Karena itu Khalifah Umar tidak memotong pencuri yang mengambil unta lalu menyembe-lihnya. Justru Khalifah memerintahkan pemimpin kabilahnya, Halib, untuk membayar harga Unta tersebut.1

Khalifah Umar berkata, “Tidaklah tangan dipotong karena kurma2 dan tidak pula pada masa paceklik (krisis/bencana).”3

Pendapat Khalifah Umar ini menjadi salah satu sandaran hukum syariah berupa Ijmak Sahabat bagi pencuri ketika mencuri untuk sekadar menyambung nyawanya. Para Sahabat yang hidup pada masa Khalifah Umar mendiamkan dan menyetujui pendapat Umar. Inilah Ijmak Sahabat tentang hukum pencuri dalam situasi khusus tersebut. Tidak sama hukumnya bagi pencuri di luar kondisi tersebut.

Sejumlah mazhab fikih menjadikan pemahaman Umar ini menjadi rujukan. Disebutkan dalam Al-Mughni: Ahmad berkata, “Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan. Maksudnya, orang yang sangat memerlukan, bila mencuri barang untuk dimakan, tidaklah dipotong tangannya karena sama seperti terpaksa.

Jauzjani meriwayatkan dari Umar, ia berkata, “Tidak ada potong tangan pada masa paceklik (krisis/bencana).” Ia berkata, “Saya tanyakan hal itu pada Ahmad, ‘Kau berpendapat demikian?’ Ahmad menjawab, ‘Demi usiaku, saya tidak memotong tangannya bila kebutuhan mendorong dia, sementara orang-orang berada dalam masa sulit dan lapar’.”4

Ini merupakan pemahaman Umar yang mendalam untuk tujuan-tujuan syariah. Khalifah Umar memandang inti masalah ini dan tidak cukup melihat sisi luarnya saja. Khalifah memandang faktor penyebab pencurian. Umar menemukan faktor pendorongnya adalah rasa lapar yang dinilai sebagai  kondisi darurat yang membolehkan hal-hal terlarang. Ini seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Umar dalam kisah anak-anak kecil pencari  kayu bakar, “KaIian mempergunakan mereka dan membuat mereka lapar  hingga salah satu di antara mereka bisa memakan sesuatu yang haram, baginya halal.”5

Namun demikian, ini berbeda kasus jika terjadi penjarahan-penjarahan yang dilakukan dengan brutal dan mengerikan. Yang diambil bukan hanya barang yang untuk di makan. Barang-barang lain pun diambil seperti; televisi, ban motor/mobil, kulkas, dll. Ini jelas tidak termasuk dalam kondisi pengkhususan di atas. Sebab barang-barang di atas bukan barang-barang yang bisa langsung dimakan yang menyebabkan rasa lapar jadi hilang sehingga nyawa bisa tersambung lagi. Jika terjadi pencurian seperti ini maka hukum had terkait dengan pencurian harus ditegakkan. Jika memenuhi nishâb maka pencurinya harus dipotong tangannya. Tidak ada pengecualian, karena sudah melebihi batas pengkhususan hukum syariah.

Selain tidak menghukum pencuri yang mencuri karena terpaksa demi sekadar menyambung hidup, Khalifah Umar juga menunda pungutan zakat pada krisis/bencana. Khalifah menghentikan pungutan kewajiban zakat pada masa bencana/krisis. Saat  kelaparan berakhir dan bumi mulai subur, Umar kembali mengumpulkan zakat pasca bencana/krisis. Artinya, Khalifah menilai itu sebagai hutang bagi orang-orang yang mampu agar bisa menutupi kelemahan bagi orang-orang yang memerlukan dan agar di Baitul Mal ada dana setelah semuanya diinfakkan.6

Diriwayatkan dari Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, “Umar bin al-Khathab menunda zakat pada masa krisis/bencana dan tidak mengirim para petugas penarik zakat. Pada tahun berikutnya, Allah mengentaskan paceklik, kemudian Umar memerintahkan mereka agar mengeluarkan zakat dan para petugas zakat menarik zakat dua tahun. Kemudian mereka diperintahkan untuk membagikan zakat satu tahun dan sedekah satu tahunnya diberikan pada Umar.”7

Mâ syâ ALlâh. Beginilah tuntunan dari syariat Islam kepada pemimpin ketika menangani krisis/bencana yang melanda di tengah-tengah masyarakatnya.

Dari apa yang dipaparkan dari tulisan pertama hingga terakhir ini, kita bisa memahami komprehensifnya syariah Islam menuntun kepala negara dalam menyelesaikan bencana/krisis. Dengan langkah-langkah strategis, taktis juga ­full power. Khalifah wajib memberi contoh langsung dan terbaik ketika ada bencana. Tidak makan-makanan enak selama bencana/krisis. Makanannya dipastikan tidak lebih enak dari makanan rakyatnya yang terkena bencana. Demikian juga pakaian, tempat tidur dan gaya hidupnya. Semuanya disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi masyarakatnya. Tujuannya satu, agar kepala negara bisa merasakan langsung penderitaan rakyatnya. Bukan basa-basi, namun nyata menyesuaikan seluruhnya dengan kondisi masyarakat hingga selesai krisi/bencana. Tidak sekadar pencitraan.

Selanjutnya memastikan semua penanganan berjalan dengan baik. Seluruh aparat terlibat membantu dengan optimal menanggulangi krisis/bencana tersebut. Tidak ada ruang bagi ABS (asal Bapak senang). Kepala Negara (Khalifah) memastikan betul bahwa program tanggap darurat berjalan dengan baik dan bantuan sampai ke yang membutuhkan dengan baik dan mencukupi pula. Tersebar merata, tidak ada yang sampai kekurangan atau di satu titik berlimpah, sedangkan di titik lain tidak ada sama sekali.

Selain itu, memobilisasi bantuan dari daerah sekitar. Memotivasi agar berlomba-lomba meringankan saudaranya. Wajar jika bantuan datang berduyun-duyun. Tercatat kepala bantuan sudah sampai di tempat bencana/krisis, ekor bantuan masih dari asal bantuan. Ini adalah sikap persaudaraan sejati.

Bukan hanya itu saja, Khalifah juga langsung memimpin tawbat[an] nasûhâ. Bisa jadi bencana/krisis yang ada akibat kesalahan-kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh Khalifah dan atau masyarakatnya. Khalifah harus menyerukan tobat. Meminta ampun kepada Allah agar bencana ini segera berlalu. Yang terakhir adalah apa yang dilakukan Khalifah seperti di atas. Memberhentikan sementara hukum had bagi pencuri dan menunda pemungutan zakat.

Jelas tampak bahwa syariah Islam ada cara tersendiri dan khas dalam menanggulangi krisis bencana. Religius, strategis, totalitas, menyeluruh dan penuh keteladanan. Ini semua dijalankan dalam bingkai keimanan dan ketakwaan dalam Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

       Al-Khilafah wa Al-Khulafa Ar-Rasyidin, Salim Al Bahnisawi, hal: 165.

2        Tidak diberlakukan hukum potong tangan selama kurma masih menempel dipohonnya dan tiak di simpan.

       Mushannaf Abdurrazzak, 10/242, Al Misbah Al Munir, hal: 292.

       Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 8/287.

       A’lam Al Muwaqqi’in, 3/11, Al-Ijtihad fi Al-Fikih Al-Islami, hal: 136.

       Al-Khilafah wa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Salim Al-Bahnisawi. hal: 166.

       As-Syaikhan min riwayat Al-Baladzari, hal: 324.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × five =

Back to top button