Gejolak Sudan: Amerika Menyiapkan Pengganti Bashir
Sudan kembali bergejolak. Seperti yang diberitakan VOA online (18/3), Ratusan warga Sudan hari Minggu (17/3) ambil bagian dalam protes anti-pemerintah di ibukota dan kota-kota lainnya ketika pemerintah mengumumkan telah memperoleh pinjaman 300 juta dolar untuk mengatasi krisis ekonomi yang memicu kerusuhan.
Demonstrasi dimulai pada bulan Desember 2018 lalu menentang kenaikan harga dan kelangkaan makanan. Demonstrasi ini dengan cepat meningkat menjadi seruan agar Presiden Omar al-Bashir mundur. Demonstrasi ini merupakan salah satu tantangan terbesar selama pemerintahannya yang sudah berlangsung hampir 30 tahun. Pasukan keamanan menanggapi demonstran dengan tindakan keras yang menewaskan puluhan orang. Demonstrasi ini dipimpin oleh Asosiasi Profesional Sudan, yang menjadi induk serikat profesional independen.
Gambar-gambar yang diunggah di internet menunjukkan puluhan orang berunjuk rasa di Khartoum dan kota kembarnya, Omdurman. mereka meneriakkan: “Kebebasan, martabat dan keadilan.” Mereka juga meneriakkan “rakyat inginkan rezim jatuh”. Mereka menggemakan slogan populer selama pergolakan Arab 2011 yang sempat menentang despotisme di wilayah tersebut, namun tidak sampai ke Sudan.
Protes spontan masyarakat Sudan terhadap kondisi ekonomi yang semakin memburuk tidak bisa dilepaskan dari kebijakan rezim Omar al-Bashir. Dia menerima paket-paket IMF dan Bank Dunia di bawah tekanan Amerika Serikat. Pada awalnya, rezim Bashir mengira dengan tunduk kepada Amerika dengan melepaskan Sudan Selatan, mengikuti program IMF dan Bank Dunia, dan sanksi-sanksi terhadap Sudan dicabut, akan membawa ekonomi Sudan lebih baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Pasca sanksi dicabut, Sudan pun makin kritis, awal 2018. Saat Pemerintah Sudan menaikkan harga roti, kondisi ekonomi semakin memburuk. Mata uang Sudan jatuh terhadap dolar. Harga-harga naik. Krisis bahan bakar. Harga roti pun berlipat-lipat sampai kemudian langka. Inflasi meningkat hingga 70 persen. Kemiskinan meningkat hingga mencapai angka yang tertinggi. Pengangguran semakin meluas.
Semua ini terjadi setelah Pemerintah Sudan menjalankan rekomendasi dan paket-paket IMF. Seperti di tempat-tempat lain, IMF menginstruksikan kebijakan yang mematikan. Meminta rezim Sudan mengambangkan kurs mata uang, mencabut subsidi bahan bakar, listrik dan gandum.
IMF dan Bank Dunia berjanji memberikan bantuan teknis untuk Sudan dalam mengimplementasikan program reformasi ekonomi! Janji itu diberikan dalam pertemuan IMF dan Bank Dunia di sela-sela pertemuan di Pulau Bali Indonesia pada Oktober 2017. IMF menegaskan bahwa hal itu adalah penting untuk menciptakan situasi yang diperlukan untuk menarik para investor dan memperkuat pertumbuhan ekonomi di Sudan. Kepatuhan rezim Sudan pada perintah-perintah ini justru menyebabkan kondisi perekonomian dan kehidupan masyarakat terpuruk.
Rezim al-Bashir dikenal loyal kepada Amerika dan patuh menjalankan politik Amerika. Petaka terbesar adalah pemisahan Sudan Selatan, yang terjadi di bawah pengawasan Amerika. Dampaknya, Sudan kehilangan pemasukan besar dari minyak. “Dampak dari pemisahan Sudan selatan pada tahun 2011, Khartoum kehilangan tiga perempat pemasukan minyak yang sebelumnya menggelontorkan sekitar 80% pendapatan mata uang asing ke kas Negara.” (Al-Jazeera.net, 26/12/2018).
Kesempitan hidup makin menghimpit masyarakat. Meletuslah Revolusi Sudan di wilayah utara Sudan di Provinsi Nahru an-Nil di Kota ‘Athirah pada 19/12/2018. Api perlawanan kemudian menyebar di seluruh kota-kota Sudan.
Menyiapkan Pengganti al-Bashir?
Sebagaimana di tempat-tempat lain, Amerika memperlakukan agen-agennya yang menjadi penguasa lokal sama. Dipakai selama dianggap masih bermanfaat, dicampakkan ketika tak lagi berguna. Amerika biasanya melihat sejauh mana gerakan masyarakat. Kalau tampak akan berhasil mencongkel agennya dari kekuasaan, Amerika akan menyiapkan agen baru, yang seolah-olah berpihak kepada perubahan. Inilah yang dilakukan Amerika terhadap Soeharto. Ketika gerakan rakyat semakin menguat, posisi Soeharto semakin melemah, Amerika pun mencampakkan Soeharto dan menyiapkan penguasa baru yang menjadi bonekanya. Demikian pula halnya yang terjadi pada Husni Mubarak di Mesir yang disingkirkan dalam Arab Spring.
Pada awalnya Amerika sangat mendukung keberadaan Basyir, meskipun secara retorika politik, kadang sepertinya menyerang Basyir. Sejalan dengan kepatuhan Basyir, Amerika melakukan langkah-langkah melonggarkan tekanan terhadap Basyir, seperti pencabutan larangan terbang bagi warga Sudan, mencabut beberapa sanksi, dan berusaha menghapus Sudan dari daftar terorisme.
Dukungan Amerika juga tampak dari pernyataan asisten khusus Presiden Amerika dan penasehat senior untuk urusan Afrika Cyril Sartor saat mengunjungi Sudan (17/2/2019). Didampingi Direktur Urusan Afrika di Badan Keamanan Nasional, Darren Seraile, dia mengatakan setelah pertemuannya di Istana Republik, “Saya melakukan pertemuan yang membuahkan hasil dan membangun dengan asisten Presiden dan saya datang untuk melanjutkan dialog kedua pihak yang mengarah pada pencabutan nama Sudan dari daftar negara sponsor terorisme.”
Seraile menegaskan, dengan kesabaran lebih Pemerintah akan bisa menemukan solusi politik dan tidak akan ada pemaksaan solusi dari luar terhadap Sudan. Dia menitikberatkan bahwa melalui kerjasama kedua negara akan menemukan jalan untuk kemitraan yang kuat (Shuruq News, 18/02/2019).
Semua itu menjelaskan bahwa kunjungan tersebut bukan dorongan untuk protes, tetapi menunjukkan dukungan Amerika kepada Pemerintahan al-Bashir dan tidak ada pemaksaan solusi dari luar. Amerika juga menetapkan syarat-syarat untuk mencabut nama Sudan dari daftar negara sponsor terorisme.
Ditambah lagi dengan penguasa regional Timur Tengah yang merupakan agen Amerika, juga bersikap sama. Sejalan dengan bergabungnya Sudan dalam koalisi Saudi dalam Perang Yaman, Saudi terus menggelontorkan investasi baru dalam bidang-bidang pertanian Sudan. “Saudi adalah investor Arab terbesar di Sudan selama tahun 2016 dengan investasi sekira 15 miliar dolar. Investasi itu terpusat pada pakan, gandum dan shorgum dan mendukung perekonomian Khartoum… (Al-Khaleej on line, 17/7/2017).
Duta besar Kerajaan Arab Saudi menegaskan, “Nilai investasi riil Arab Saudi di Sudan lebih dari 12 miliar dolar.” (Al-Bawabah, 03/12/2018).
Sudan pun, pada Senin 7/5/2018, mengumumkan kesepakatan dengan Saudi untuk suplay minyak selama lima tahun (Sudan Tribune, 7/5/2018).
Adapun Mesir sebagai pilar pertama masih mendukung al-Bashir. Saat mengunjungi Mesir (27/1/2019), Al-Sisi menyambut dia di bandara dan menampakkan keramahannya kepada al-Bashir. Ini menunjukkan bahwa Amerika belum memutuskan untuk menyingkirkan al-Bashir. Jika tidak, al-Sisi tidak akan melakukan itu, sementara dia cenderung kepada Amerika dan menjadi pengikutnya. Duta besar Sudan di Mesir menggambarkan kunjungan itu sebagai “kunjungan paling penting secara waktu dan isi” (Ash-Shabah al-Mishriyah, 27/1/2019).
Namun, Amerika bisa saja berubah kalau melihat Bashir tidak bisa dipertahankan. Posisi Amerika seperti biasa, tampil seolah-olah mendukung perlawanan rakyat. Tampak bagaimana Amerika mengungkapkan keprihatinannya atas keputusan Presiden Sudan Omar al-Bashir mendeklarasikan keadaan darurat nasional yang berlaku selama satu tahun menyusul gelombang protes anti-Pemerintah.
“Kami terus mengevaluasi dampak deklarasi yang dikeluarkan pada Jumat (22/2),” kata Jonathan Cohen, pelaksana tugas Duta Besar Amerika untuk PBB, dalam rapat Dewan Keamanan pada Senin (25/2).
“Kami sangat prihatin mengenai darurat nasional itu dan mengimbau Pemerintah Sudan menghormati hak semua orang di Sudan. Segera akhiri penindasan keras terhadap protes damai dan meminta pertanggungjawaban semua pelaku pelanggaran dan pelecehan,” kata Cohen.
Arah Revolusi Sudan
Sangat disayangkan, arah Revolusi Sudan masih seputar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan perut, sekadar penggantian rezim. Hal ini pula yang menjadi penyebab kegagalan Arab Spring selama ini. Pengalaman Mesir dan Indonesia, sekadar dorongan kebutuhan perut dan tuntutan pergantian rezim, tidak akan membawa perubahan mendasar. Pada saat yang sama korban berjatuhan. Selama perubahan tidak mengarah pada Islam, Sudan tidak akan benar-benar bisa menyelesaikan masalahnya. Meskipun terjadi pergantian rezim, sistem kapitalisme masih bercokol. Intervensi Amerika pun masih diterima dan kuat. Padahal sistem kapitalisme dan campur tangan Amerikalah yang selama ini menjadi sumber masalah di Dunia Islam.
Perjuangan seharusnya diarahkan pada perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Itulah perubahan ke arah melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariah Islam secara totalitas di bawah naungan Khilafah. Inilah yang akan benar-benar menyelamatkan Sudan dan negeri-negeri Islam lainnya. Syariah Islam akan memberikan kebaikan pada semua pihak (rahmatan lil alamin), dengan penguasa yang benar-benar amanah dan menolak campur tangan Amerika dalam bentuk apapun. [Farid Wadjdi]