KEWAJIBAN NAFKAH
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya (HR Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim dan ath-Thabarani).
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda. Rasulullah saw. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang tidak memberi nafkah orang yang berada dalam tanggungannya (HR Muslim dan Ibnu Hibban).
As-Sindi seperti dikutip oleh Abu Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd mengatakan: Frasa “man yaqûtu” dari kata qâtahu, yakni seseorang memberi dia makan. Mungkin dijadikan berasal dari at-taf’îl. Itu sesuai dengan riwayat: man yuqîtu, dari kata aqâta, yakni orang-orang yang nafkahnya menjadi keharusannya. Mereka adalah istrinya, keluarganya dan hamba sahayanya.
Al-Manawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan: “man yaqûtu” yakni orang yang harus ditanggung makannya. Az-Zamakhsyari mengatakan: qâtahu yaqûtuhu jika dia memberinya makan … wa aqâta ‘alayhi maka dia muqîtun jika dia menjaga dan mengontrolnya.
Al-Manawi mengatakan: Ini gamblang tentang kewajiban menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungan seseorang karena dikaitkan dengan dosa jika ditinggalkan. Namun demikian, hal itu terbayang pada orang yang berkelapangan, bukan orang yang kesusahan. Karena itu orang yang mampu berusaha menafkahi keluarganya hendaknya tidak menelantarkan mereka. Jadi bersamaan dengan kekhawatiran atas keterlantaran mereka, dia dipaksa mencari rezeki untuk mereka. Namun demikian, tidaklah mencari rezeki untuk mereka kecuali dalam kadar kemampuan.
Di antara hukum yang ditunjukkan oleh hadis di atas adalah kewajiban seseorang menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Ash-Shan’ani di dalam Subûl as-Salâm mengatakan: “Hadis tersebut merupakan dalil atas kewajiban nafkah bagi manusia untuk orang-orang yang ada dalam tanggungannya. Sebab tidak menjadi dosa kecuali meninggalkan apa yang telah diwajibkan atas dirinya…Orang-orang yang menjadi tanggungannya dan orang-orang yang dia tanggung makannya adalah mereka yang wajib dinafkahi yaitu istrinya, anak-anaknya dan hamba sahayanya…”
Hadis di atas menyatakan kewajiban nafkah berupa makanan. Namun demikian, yang wajib bukan hanya makanan, tetapi semua kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya untuk hidup secara ma’ruf (layak) sesuai kelayakan di masyarakat. Allah SWT berfirman:
…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …
Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 233).
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ ٦
Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kalian tinggal menurut kemampuan kalian (QS ath-Thalaq [65]: 6).
Nafkah ini juga mencakup kebutuhan lainnya menurut kehidupan yang layak di masyarakat. Ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Disebutkan bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, pernah berkata kepada Nabi saw., “Sungguh Abu Sufyan orang yang pelit. Dia tidak memberiku nafkah yang mencukupi diriku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil dari dia, sementara dia tidak tahu.”
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Hindun bertanya, “Apakah ada dosa atas diriku jika aku mengambil sesuatu dari hartanya.”
Rasul saw. lalu bersabda kepada Hindun:
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ الْمَعْرُوفِ
Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara layak (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Frasa “apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara layak” bermakna mutlak dan bersifat umum; hanya dibatasi dengan batasan bil makrûf (secara layak). Hal itu menunjukkan bahwa apa yang mencukupi itu tidak terbatas pada kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang; tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya yang layak sebagaimana kelayakan di masyarakat.
Hadis terakhir ini juga menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan secara layak merupakan kewajiban seorang laki-laki (suami) sekaligus merupakan hak istri dan anak (juga siapa saja yang manjadi tanggungan suami). Ketika tidak terpenuhi, istri boleh mengambil haknya itu untuk kecukupan dia dan anak-anaknya dari harta suaminya meski tanpa sepengetahuan atau ijin dari suaminya itu. Hak itu tentu tidak terbatas untuk istri saja, tetapi juga untuk anak dan siapa saja yang nafkahnya menjadi tanggungan orang itu, atas dasar kesamaan hak mereka.
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan untuk hidup secara layak di masyarakat. Kebolehan istri mengambil harta suaminya tanpa ijin atau sepengetahuan suami, untuk pemenuhan kebutuhan dia dan anaknya, itu menunjukkan hukum Islam atas jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu. Ini baru sebagiannya.
Untuk memastikan pemenuhan nafkah untuk keluarga itu, Islam antara lain mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dorongan sangat besar juga diberikan untuk pemenuhan nafkah keluarga itu. Islam telah menetapkan bahwa pembelanjaan untuk nafkah keluarga lebih agung pahalanya dibandingkan dengan infak fi sabilillah, membebaskan budak dan sedekah kepada orang miskin. Rasul saw. bersabda:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ الله وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu, yang paling agung pahalanya adalah yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu (HR Muslim).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]