Iqtishadiyah

Membangun Kekuatan Pasar Global Dunia Islam

Ekonomi dunia hari ini tak henti dirundung duka. Perekonomian global, yang sudah mengalami kelesuan, makin terpuruk setelah Covid-19 datang menerjang. Keterpurukan ekonomi akibat Covid menjadi yang terburuk sejak great depression 1930-an. Ditengah perekonomian dunia yang tertatih dan berupaya untuk kembali pulih, kondisinya berbalik runyam karena peristiwa konflik Rusia-Ukraina.

Berdasarkan data World Food Programme (WFP), jumlah penduduk dunia yang menghadapi kerawanan pangan meningkat lebih dari dua kali lipat sejak pandemi Covid-19. Dari semula 135 juta orang menjadi 345 juta orang.

Dengan adanya konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan pembatasan ekspor, pasokan pangan kian terganggu. Gangguan tersebut mendorong harga pangan ke level tertinggi. Harga pangan dunia merangkak naik hampir 13% pada bulan Maret 2022, dan kemungkinan akan terus naik bahkan berpotensi menyentuh 20% pada akhir tahun ini. Tak hanya kerawanan pangan, dunia juga tengah menghadapi ancaman krisis energi. Jika tak ada upaya mencari solusi, situasi ekonomi dunia pada akhir 2022 bisa jadi akan lebih buruk daripada tahun-tahun sebelumnya.

Saat ini krisis sudah merata di berbagai belahan dunia. Brazil yang terkenal sebagai salah satu negara penghasil pengan terbesar di Amerika Latin dihadapkan pada kenyataan bahwa 36% penduduknya tidak mampu mendapatkan pangan untuk keluarga mereka. Kerawanan pangan di antara 20 persen penduduk termiskin di Brazil selama pandemi meningkat 75%. Angka itu mendekati level Zimbabwe, dengan kerawanan pangan 80% atau tertinggi di dunia. Mahalnya harga bensin dan bahan bakar juga menjadi ancaman bagi ketahanan pangan di beberapa negara Amerika Latin seperti Argentina, Ekuador, Panama dan Kolombia.

Kondisi sulit juga dialami di beberapa negara Afrika. Liberia, Sierra Leone, Nigeria, Burkina Faso, Togo, Niger, Mali, Chad dan Mauritania menghadapi realitas mengejutkan dengan melonjaknya harga pangan mencapai 40 persen. Diperkirakan jumlah warga Afrika Barat dan Tengah yang terkena dampak krisis pangan dan gizi akan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2022. Rekor ini diperkirakan akan naik sebanyak 4 kali lipat dalam 3 tahun, dari 10,7 juta penduduk pada tahun 2019 menjadi 41 juta penduduk di tahun ini.

Kondisi yang tidak kalah sulit juga menimpa negara-negara Eropa. Benua Biru terdiri dari negara yang menjadi pionir ekonomi dunia. Namun, mereka tidak bebas dari krisis pangan dan energi. Beberapa negara Eropa seperti Swedia, Italia, Slovakia, Denmark, Belanda, Jerman dan Austria bahkan telah kembali menggunakan energi fosil setelah supply gas dipangkas oleh Rusia.

Di AS, lonjakan inflasi menyebabkan harga gas hingga pangan naik drastis. Pada Juni 2022, inflasi AS tembus 9,1 persen, level tertinggi sejak 41 tahun terakhir. Akibatnya, ribuan keluarga pun berbondong-bondong mengantri makanan bantuan di bank pangan setiap harinya. Juru bicara Bank Makanan St. Mary Jerry Brown mengatakan jumlah warga yang antri untuk mendapatkan pasokan makanan meningkat tajam hingga 78 persen dibandingkan tahun lalu.

Di Cina, pemerintah mewanti-wanti warga untuk berhemat listrik, termasuk menghentikan sejumlah operasional pabrik akibat kekurangan pasokan listrik. Terbaru, Kementerian Perdagangan Cina meminta agar warganya mulai menimbun bahan-bahan kebutuhan sehari-hari bahkan hingga musim semi. Ini tidak pernah dilakukan dimasa pandemi Covid-19. Di Cina rata-rata harga pangan, terutama sayuran, melonjak 39,8% sejak September 2021.

Di negeri ini krisis pangan dan energi secara global memberikan tekanan terhadap inflasi domestik sepanjang 2022. Terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan inflasi Juli 2022 sebesar 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.

 

Beberapa Faktor Penyebab

Krisis pangan dan energi merupakan salah satu wujud krisis ekonomi yang terjadi berulang. Setelah great depression tahun 1930, krisis terjadi secara berulang. Resesi terjadi pada tahun 1975, 1982, 1991, 1998, 2008-2009, 2012, 2015-2016 dan 2019-2020. Krisis pangan dan energi yang terjadi di tahun ini diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: ekonomi non rill yang rentan terkoreksi; ringkihnya sistem moneter dan ego nasionalisme.

 

Ekonomi Non Rill yang Rentan Terkoreksi

Supplay dan demand bukan satu-satunya faktor yang membentuk harga. Namun, yang menjadi permasalahan utama pembentuk harga, yakni paper trading di pasar sekuritas. Faktor utama pembentuk paper trading adalah persepsi. Persepsi tentang geopolotik dan peristiwa-peristiwa ke depan sangat menentukan proses pembentukan harga. Rusia-Ukraina yang terlibat perang merupakan negara eksportir energi dan bahan pangan. Khusus Rusia merupakan negara produsen migas ketiga dunia. Perang Rusia-Ukraina ikut membentuk persepsi kelangkaan di pasar komoditas. Situasi ini justru kesempatan bagi para pemburu rente (mafia) di pasar modal untuk melipatgandakan jumlah paper trading. Akibatnya, terjadinya kenaikan harga energi lebih dominan akibat kenaikan harga di pasar sekuritas, bukan dipasar riil.

 

Ringkihnya Sistem Moneter

Salah satu biang kerok krisis dunia adalah mata uang kertas yang tidak berbasis emas dan perak. Akibatnya, daya beli akan mudah tergerus karena inflasi yang terus terjadi. Situasi ini dipahami dengan sangat baik oleh Rusia. Rusia segera memutuskan untuk mematok rubel dengan emas. Negara itu telah membeli emas dengan menggunakan harga tetap, yaitu 5.000 rubel per 1 gram, dari 28 Maret hingga 30 Juni. Nilai rubel mengikuti harga emas. Jadi, semakin tinggi harga emas yang dinilai dalam dolar AS, juga akan menyebabkan nilai tukar rubel semakin kuat terhadap dolar. Jika negara itu mengadopsi standar emas dan meminta negara lain membayar komoditasnya dengan rubel, yang telah distandarisasi dengan emas, maka gerakan ini dapat memiliki implikasi besar bagi rubel, dolar AS, dan ekonomi global. Jika gerakan Rusia untuk kembali ke standar emas ini diikuti negara-negara lain, maka pengaruh dolar akan semakin pudar.

 

Ego Nasionalisme

Ide nasionalisme yang tumbuh subur di awal abad 19 telah menimbulkan nestapa bagi manusia. Pemikiran ini sesungguhnya sangat rendah, karena membuat manusia berkumpul dan berperang untuk sekadar mempertahankan teritorial. Tak ubahnya dengan sekawanan binatang. Perang demi perang sangat rentan meletus untuk menjaga eksistensi ide ini. Perang Rusia-Ukraina merupakan salah satu bentuk egonasionalisme kedua negara. Dampak ekonominya adalah terputusnya rantai pasokan terhadap negara-negara yang berhubugan dagang dengan Rusia-Ukraina. Pasalnya, kedua negara merupakan pemasok utama energi dan pangan terhadap beberapa negara.

 

Kekuatan Energi dan Pangan Dunia Islam

Membangun kemandirian pangan dan energi merupakan persoalan mendasar. Sebabnya,  ketahanan pangan dan energi merupakan pilar ketahanan dan pertahanan negara sekaligus pilar pembangunan sektor lainnya. Ketidakmampuan suatu negara mencapai kemandirian pangan dan energi merupakan bentuk kelemahan negara itu. Ketergantungan pada negara lain akan menyebabkan gangguan ketahanan dan keamanan. Oleh karena itu impor pangan dan energi bukanlah pilihan yang bijak untuk suatu negara yang ingin tumbuh kuat. Sudah sepatutnya kaum Muslim mengukur kemampuan sendiri sembari berusaha menggagas kemandirian energi dan pangan.

Secara alamiah negeri-negeri Muslim merupakan negeri yang kaya dan memiliki ketersediaan energi dan pangan dalam jumlah yang cukup. Cadangan minyak (proven reserves oil) di seluruh negeri Islam adalah 998 miliar barel.  Produksi minyak mentah tahun 2019 total adalah sekitar 12 miliar barel pertahun.  Pada 2020 produksi ini turun karena ada pandemi Covid-19 sehingga konsumsi dunia turun.  Negara penghasil minyak terbesar adalah Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait dan Uni Emirat Arab.

Cadangan gas mereka sebesar 117 Triliun meter kubik. Produksinya pertahun adalah 1,3 triliun meter kubik, atau setara 8,8 miliar barel. Saat ini, hampir separuh produksi migas yang bersama-sama sekitar 20,8 miliar barel ini diekspor ke USA, Uni Eropa atau Tiongkok. Konsumsi total energi di negeri Muslim adalah setara 10,4 miliar barel minyak pertahun.

Untuk pangan, produksi biji-bijian makanan pokok adalah 425 juta ton setahun.  Persoalannya, banyak hasil biji-bijian ini yang diekspor ke negara-negara maju karena ladangnya sudah dikontrak kepada para pengusaha asing.

Adapun produksi daging ditaksir 36,8 juta ton.  Negeri Muslim penghasil daging terbesar adalah Turki, Pakistan, Indonesia, Iran dan Mesir.  Kalau ini dibagi dengan populasi akan didapat angka 21 kg daging perorang pertahun, atau 58 gram perorang perhari. Ini angka yang kecil untuk komposisi gizi harian.  Namun, negeri-negeri Muslim memiliki ketersediaan daging bervariasi yakni daging ikan, unggas atau protein nabati pengganti daging seperti tahu dan tempe.

Berdasarkan realitas tersebut maka Dunia Islam tidak butuh negara lain dalam hal energi dan pangan. Tidak sepatutnya di negeri-negeri muslim terdapat fenomena kemiskinan, kelaparan akut ataupun kekurangan gizi.

 

Membangun Pasar Global Dunia Islam

Sesungguhnya Islam memiliki cara yang unik untuk mewujudkan suatu negara menjadi negara yang independen dan antikrisis. Implementasi Islam secara totalitas akan menjadikan negara auto mandiri. Mulai dari karakteristik politik ekonomi Islam yang memanusiakan manusia; pengaturan kepemilikan; mata uang yang tahan krisis hingga pasar yang berbasis sektor riil.

Pertama: Karakteristik politik ekonomi Islam yang memanusiakan manusia. Politik Ekonomi  Islam adalah jaminan  pemenuhan semua kebutuhan  primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas.

Untuk merealisasikan hal ini, Negara dapat menempuh serangkaian kebijakan untuk mamastikan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ekspor bukanlah tujuan utama jika kebutuhan masyarakat dalam negeri belum terpenuhi. Agar ketersediaan energi dan pangan tersedia dalam jumlah cukup, Negara dapat melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pangan dan energi. Mengembangkan SDM ahli, mendukung penelitian teknologi dan pengembangan industri pangan sehingga semua kebutuhan terkait dapat dipenuhi tanpa bergantung pada import. Mulai dari pupuk, obat-obatan dan sarana produksi usaha tani lainnya. Untuk memastikan tidak terjadi kezaliman di pasar, Negara hadir menciptakan keadilan. Mulai dari memastikan tidak terjadi kemacetan rantai pasok ekonomi akibat perilaku oknum yang suka menimbun pangan; mengawasi proses terbentuknya harga sesuai mekanisme pasar; hingga potensi kezaliman terhadap para pedagang dipasar ulah premanisme maupun oknum.

Kedua: Pengaturan kepemilikan. Dalam Islam, konsep kepemilikan dibagi menjadi tiga yaitu: (1) milik pribadi; (2) milik umum; (3) milik negara. Energi masuk dalam ketagori milik umum. Bisnis pangan masuk dalam ketegori milik Individu. Terhadap kepemilikan individu, Negara hanya memastikan tidak terjadi distorsi pasar. Negara dalam menghukum pebisnis curang, zalim dan penimbunan terhadap produk pangan. Tidak ada perlakukan khusus terhadap individu tertentu dalam bisnis pangan. Dengan itu eksklusifitas pasar pangan dalam Islam dapat dicegah. Pasar di Dunia Islam merupakan pasar inklusif yang memberikan hak yang sama untuk semua warga negara berbisnis dengan cara yang dibolehkan syariah.

Adapun terkait energi, Islam memandang hukum asalnya adalah milik umat. Dengan sendirinya produk energi bukanlah barang yang boleh diperdagangkan. Energi harus dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang murah. Implementasi Islam dengan sendirinya menolak segala bentuk penguasaan korporasi terhadap sektor enegri. Negara Khilafah tidak akan pernah mengizinkan perusahaan swasta menguasa energi apalagi swasta asing. Jika Khilafah berdiri maka seluruh kepemilikan swasta terhadap sektor energi akan segera diambil-alih oleh Negara. Hasilnya, untuk seluruh masyarakat. Selain sumber energi yang sudah ada, Negara berupaya mengembangkan teknologi melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi energi; juga  berupaya untuk menghasilkan sumber-sumber energi baru dan terbarukan.

Ketiga: Mata uang yang tahan krisis. Salah satu biang kerok krisis dunia adalah mata uang kertas yang tidak berbasis emas dan perak. Akibatnya, dunia sangat rawan mengalamai pelemahan nilai tukar nilai uang terus melemah dari waktu ke waktu, dunia mengalami inflasi tanpa henti.  Dalam Islam mata uang wajib berstandar emas dan perak. Mata uang dengan standar emas perak memiliki nilai tukar yang stabil dan tahan terhadap inflasi.

Keempat: Pasar yang berbasis sektor riil. Ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil. Islam tidak mengenal sektor non-riil seperti yang ada dalam sistem ekonomi Kapitalis. Islam memandang kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti pertanian, industri, perdagangan dan jasa. Dari sektor inilah kegiatan ekonomi didorong untuk berkembang maju.

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Dr. Erwin Permana; (Akademisi)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =

Back to top button