Nafsiyah

Hijrah Memenangkan Agama Allah

Hijrah bukan sekadar berganti jubah. Tak sekadar pengakuan telah berubah. Tanpa amal shalih, hijrah takkan berbuah Jannah. Hijrah menjadi pembuktian tadhiyah (pengorbanan) untuk memenangkan agama Allah. Hijrah bukanlah cara untuk rehat (râhah). Hijrah adalah cara memenangkan dakwah, menancapkan panji-panjinya di Bumi Allah. Dengan itu tumbuh kebaikan di bumi dan turun keberkahan dari langit. Keberkahannya mampu menyatukan pemikiran (fikrah) dan gerak langkah (harakah) orang-orang yang beriman kepada Allah, saling mencintai karena-Nya, menjemput keberkahan. Segala pujian milik Allah yang berfirman:

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ٩

Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (QS al-Hasyr [59]: 9).

 

Segala pujian milik Allah yang merajut kalbu orang-orang beriman (Muhajirin-Anshar), diikuti dengan doa kebaikan yang dipanjatkan (QS. Al-Hasyr [59]: 10) sebagai potret keberkahan hijrah di jalan Allah. Adakah peradaban seagung peradaban umat ini yang menunjukkan keluhuran akhlak, kokohnya ukhuwwah, kekhusyu’an kalbu berkhidmat untuk Islam dan umat?

 

‘Ibrah dari Hijrah Para Nabi as.

Hijrah, sebagaimana diutarakan Ibn al-Arabi dalam Ahkâm al-Qur’ân, dengan konotasi berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya (min Dâr al-Kufr ilâ Dâr al-Islâm), dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya (min hâl[in] ilâ hâl[in] âkhar[in]), menjadi jalan para nabi melindungi dan menguatkan dakwah.

Khalîlullâh Ibrahim a.s. mendakwahi kaumnya untuk menegakkan agama Allah; mentauhidkan-Nya dan menegakkan syariah-Nya. Kaum dengan fanatisme buta pada kesyirikan nenek moyangnya berbalik memerangi dakwahnya, menghinakan diri mereka sendiri:

فَأَرَادُواْ بِهِۦ كَيۡدٗا فَجَعَلۡنَٰهُمُ ٱلۡأَسۡفَلِينَ  ٩٨ وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهۡدِينِ  ٩٩

Mereka hendak melakukan tipudaya kepada dia. Lalu Kami menjadikan mereka orang-orang yang hina. Ibrahim berkata, “Sungguh aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS al-Shaffat [37]: 98-99).

 

Maknanya, mereka hendak melakukan kejahatan kepada Nabi Ibrahim as. dengan melemparkan dirinya ke dalam nyala api. Sebelumnya mereka tak mampu mengalahkan hujjah Nabi Ibrahim as. yang meruntuhkan keyakinan jahiliah mereka. Pada saat yang sama, tidak ada yang mereka dapatkan melainkan kegagalan yang nyata. Allah menjadikan api tersebut menjadi sejuk sebagai salah satu bukti kemukjizatan Nabi Ibrahim as.

Pengakuan Ibrahim as. innî dzâhib[un] ilâ Rabbî, menunjukkan bahwa beliau berhijrah dari negeri kaumnya ke negeri yang diperintahkan Allah. Imam Muqatil, sebagaimana dinukil al-Syaikh Ali ash-Shabuni dalam Shafwat at-Tafâsîr (III/36) menuturkan bahwa Ibrahim as. berhijrah ke Bumi Syam, untuk menyembah Allah dan mendakwahkan agama-Nya di sana:

۞فَئامَنَ لَهُۥ لُوطٞۘ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّيٓۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ  ٢٦

Lalu Luth membenarkan (kenabian)-nya. Berkatalah Ibrahim, “Sungguh aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku). Sungguh Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS al-‘Ankabut [29]: 26).

 

Begitu pula Kalîmullâh Musa as. dan kaumnya. Mereka berhijrah menyelamatkan din mereka dari fitnah Fir’aun dan bala tentaranya. Sebelumnya Nabi Musa mendakwahi Fir’aun untuk bertobat dari pembangkangannya kepada Allah dengan mengaku sebagai tuhan. Setelah memuncak kejahatan mereka, Allah memerintahkan Musa as. dan pengikutnya berkorban dengan berhijrah menghindari kejahatan Fir’aun yang menjadi-jadi. Ini menjadi sebab turunnya pertolongan-Nya:

فَأَسۡرِ بِعِبَادِي لَيۡلًا إِنَّكُم مُّتَّبَعُونَ  ٢٣ وَٱتۡرُكِ ٱلۡبَحۡرَ رَهۡوًاۖ إِنَّهُمۡ جُندٞ مُّغۡرَقُونَ  ٢٤

(Allah berfirman), “Berjalanlah kamu dengan membawa hamba-hamba-Ku pada malam hari. Sungguh kalian akan dikejar dan biarkanlah laut itu tetap terbelah. Sungguh mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan.” (QS ad-Dukhan [44]: 23-24).

 

Apa yang terjadi? Allah SWT memenangkan Nabi Musa as. dan orang-orang beriman. Ini sebagaimana Allah mengganjar pengorbanan Rasulullah saw. dan kaum Muhajirin dengan kemenangan Islam. Hijrah kaum Muslim hingga puncaknya ke Yastrib (Madinah) demi menjaga Islam mendatangkan keberkahan berupa kemenangan Islam.

Tanda kekalahan Iblis dan sekutunya, tampak bahkan sebelum peristiwa hijrah Rasulullah saw. ke Madinah terealisasi, yakni tatkala setan golongan jin berteriak histeris menyaksikan Peristiwa Bai’at ‘Aqabah II (bai’at as-sam’u wa al-thâ’ah). Baiat ini menandai babak baru terbitnya fajar kekuasaan Islam di Madinah. Baiat ini  pun menjadikan Rasulullah saw. sebagai penguasa di sebuah negeri yang dipimpin dua suku besar, Aus dan Khazraj, yang kemudian bersatu menjadi kaum Anshâr.

Ada hal yang menjadi benang merah dari dinamika hijrah para nabi; (1) Upaya memenangkan dakwah; (2) Bukti tadhiyah (pengorbanan) di jalan dakwah. Keadaan mereka menggambarkan kebenaran firman-Nya:

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ  ١٤٦

Berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut-(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar (QS Ali ‘Imran [3]: 146).

 

Maknanya, mereka berjuang untuk meninggikan kalimat Allah, didukung para pengikutnya; ulama rabbani dan hamba-hamba-Nya yang shalih.

Dari pelajaran di atas, kita dapati benang merah bahwa berhijrah bukan sekadar berpindah tempat, namun berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik. Termasuk dibuktikan dengan menjauhi apa yang Allah larang. ‘Abdullah bin ‘Amru ra. bertutur bahwa Nabi ْ‎ bersabda:

الْمُهَاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهى الله عنه

Orang yang berhijrah adalah siapa saja yang berhijrah (meninggalkan) apa saja yang Allah larang atas dirinya (HR al-Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud).

 

Inilah hakikat hijrah yang ditegaskan Al-Imam Ibn Baththal (w. 449 H) dalam Syarh Shahîh al-Bukhârî (V/240). Hijrah harus senantiasa dilakukan hingga Hari Kiamat, menjadi apa yang ia sebut al-muhâjir at-tâm (sempurna hijrahnya) dengan meninggalkan apa yang Allah haramkan. Dalam ungkapan al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H), dalam Mirqât al-Mafâtîh (VI/2406), yakni min al-ma’shiyah ilâ al-tawbah.

Menariknya, Rasulullah saw. mengisyaratkan keumuman segala bentuk apa yang Allah larang, di balik ungkapan mâ nahalLâhu ‘anhu, mencakup segala hal yang bertentangan dengan ajaran Allah, mencakup pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam seperti Demokrasi, Kapitalisme, Komunisme, Liberalisme, Pluralisme, Multikulturalisme, Feminisme dan segala pandangan yang menyimpang dari Islam. Inilah hakikat hijrah sebenar-benarnya hijrah. Hijrah seperti ini lah hijrah yang memenangkan Islam, berbuah Jannah, wa bilLâhi al-tawfîq. Umar bin al-Khaththab ra.:

إن قَوْمٌ أَعَزَّنا الله بالإِسْلامِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِه

Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Karena itu kami tak akan pernah mencari kemuliaan dengan selainnya.

 

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Peneliti Balaghah al-Quran dan Hadis Nabawi)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − nineteen =

Back to top button