Iqtishadiyah

Potret Kegagalan Kapitalisme Global

Hampir seluruh ekonomi dunia mengadopsi ideologi kapitalis dengan fondasi sekularnya sebagai sistem ekonomi. Dengan dominasi atas ekonomi global, kemiskinan dan ketidaksetaraan telah meningkat ke titik saat sekarang: tiga perempat dari semua kekayaan berada di tangan hanya sepersepuluh dari populasi dunia.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan berbagai fakta kegagalan dan “dosa” sistem Kapitalisme global bagi peradaban manusia.

 

  1. Ketimpangan Ekonomi Masyarakat.

Lembaga riset Oxfam dalam laporan riset bertajuk, The Inequality Virus: Bringing Together a World Torn Apart by Coronavirus Through a Fair, Just and Sustainable Economy, 1 mencatat kekayaan 1.000 miliuner dunia sempat turun dari 9.150 miliar dolar AS pada Februari 2020 ke 6.432 miliar dolar AS pada Maret 2020. Akan tetapi, hanya dalam waktu sembilan bulan atau per November 2020, kekayaan para miliuner sudah kembali ke level 9.139 miliar dolar AS. Dengan kata lain, selama periode kurang dari satu tahun, miliuner dunia berhasil menambah kekayaan sebesar 2.707 miliar dolar AS. Hal itu terjadi saat ekonomi dan bisnis lesu dilanda pandemi.

Jika kekayaan itu didistribusikan secara merata, maka jumlahnya lebih dari cukup untuk mencegah terjadinya penambahan kemiskinan sebagai dampak pandemi. Oxfam memperkirakan biaya untuk mencegah 226 juta orang jatuh di bawah garis kemiskinan (5,5 dolar AS per hari) – sesuai prediksi Bank Dunia – hanya memerlukan anggaran sekitar 88 miliar dolar AS.

Pemerintah di berbagai belahan dunia harus bekerja keras mencegah terjadinya ketimpangan yang semakin memburuk akibat Covid-19. Diprediksikan jika indeks gini ratio sebagai alat ukur ketimpangan memburuk 2 persen, maka ada potensi tambahan 501 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagai dampaknya, dibutuhkan lebih dari 10 tahun agar angka kemiskinan bisa kembali ke level sebelum pandemi. Tanpa intervensi memadai, maka jumlah pada tahun 2030 jumlah orang miskin dunia akan mencapai 3,4 miliar orang. Angka tersebut lebih tinggi daripada tahun 2019 yaitu sebanyak 3,2 miliar orang.

 

Gambar 1. Delapan (8) orang terkaya dunia mempunyai kekayaan yang setara dengan 50% populasi penduduk termiskin dunia

 

  1. Langgengkan Eksploitasi Negara Maju atas Negara Miskin.

Tanggal 9 Januari 2022, Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi di Colombo. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Gotabaya meminta keringanan pembayaran utang ke Cina yang berbasis bunga. Dalam satu dekade terakhir, Cina telah meminjamkan lebih dari 5 miliar dolar AS kepada Sri Lanka yang digunakan untuk pembangunan jalan raya, pelabuhan, bandara dan pembangkit listrik tenaga batubara, sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt & Road Initiative/BRI) yang digagas oleh Cina. Namun saat ini, negara kepulauan tersebut tengah dilanda krisis devisa sehingga berada di ambang kebangkrutan.

Situasi di Pakistan tidak jauh berbeda dengan Sri Lanka. Menurut dokumen yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Pakistan, utang luar negeri Pakistan pada bulan Juni 2013 mencapai 44,35 miliar dollar AS. Pada bulan April 2021, utang luar negeri tersebut telah melonjak menjadi 90,12 miliar dolar AS. Sejumlah 24,7 miliar dolar AS atau 27,4% di antaranya merupakan utang luar negeri dari  Cina. Akibatnya, sebagian besar pendapatan pajak Pakistan saat ini harus dihabiskan untuk membayar bunga utang.

Prof. Noreena Herzt (2005) dalam bukunya, The Silent Take Over,2 menyatakan bahwa hegemoni Kapitalisme global telah merampas independensi suatu negara secara politik dan ekonomi. Hegemoni Kapitalisme semakin menguat di era demokratisasi.

Isu-isu demokratisasi yang dikampanyekan oleh sejumlah negara kapitalis sesungguhnya hanyalah instrumen akal bulus untuk menyandera suatu negara. Pasalnya, yang ada di dalam benak negara-negara kapitalis utama adalah bagaimana bisa menguasai suatu negara dan kemudian bebas mengambil kekayaan sumberdaya alamnya serta menjadikannya sebagai tujuan pasar bagi produk-produknya. Utang ribawi adalah jebakan yang sempurna untuk menguasai sebuah negara. Bahkan jika diperlukan, negara kapitalis akan memberikan pinjaman utang sampai negara tidak lagi mampu membayar utang-utangnya.

 

  1. Sumber Keguncangan Sistem Moneter dan Maraknya Perdagangan Spekulatif.

Keguncangan sistem moneter dimulai sejak terjadinya penghapusan emas sebagai cadangan mata uang, dan dimasukkannya dolar AS sebagai pendamping mata uang sebagaimana kesepakatan dalam Perjanjian Bretton Woods. Selanjutnya, justru dolar AS menjadi substitusi mata uang emas dan perak pada awal dekade tujuh puluhan. Hal ini yang menyebabkan dolar AS mendominasi perekonomian global. Namun, dampak negatifnya, goncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di AS pasti akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain.

Dalam tatanan kapitalisme juga dikenal dengan adanya bursa saham dan pasar modal. Faktanya yang terjadi di bursa saham dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi, tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang diperjualbelikan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang jelas menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah. Pasalnya, naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima dan tanpa dasar yang riil, bahkan tanpa adanya keberadaan komoditi yang sedang diperjualbelikan. Hal itu akan memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Begitulah. Berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi.

Kapitalisme juga menyuburkan adanya berbagai transaksi spekulatif, sebagaimana yang dapat dijumpai pada cryptocurrency atau mata uang kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, Cardano maupun Litecoin – lima mata uang kripto yang paling popular. Bitcoin dan cryptocurrency lainnya adalah sarana untuk berinvestasi yang mengandung spekulasi yang tinggi. Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, Bitcoin sebagai cryptocurrency merupakan investasi yang murni spekulasi. Bahkan risiko berinvestasi di Bitcoin jauh lebih tinggi dibandingkan di pasar saham karena tidak ada dasar perhitungan fundamental (Tribunnews.com, 17/2/2021).

 

  1. Lestarikan Krisis Keuangan dan Ekonomi.

Penerapan sistem kapitalisme juga telah memicu terjadinya krisis-krisis ekonomi maupun keuangan yang berulang, dengan dampak yang semakin parah. Krisis demi krisis seperti krisis di Asia, Amerika Serikat, Eropa maupun berbagai belahan dunia lainnya, terjadi karena dipicu adanya pertumbuhan sektor non riil yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor riil.

Pada akhirnya semua itu akan memunculkan fenomena economic bubble (gelembung ekonomi), yaitu suatu perdagangan dalam volume besar yang harga barang atau benda itu terjadi perbedaan antara nilai nominal dan nilai intrinsiknya. Gelembung ekonomi terjadi terutama di sektor ekonomi non riil maupun sektor riil yang berhubungan erat dengan sektor non riil.

Sistem ekonomi non riil yang muncul dalam sistem ekonomi kapitalis inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya gelembung ekonomi, yaitu menjadikan uang sebagai komoditas seperti transaksi yang terjadi di pasar modal dan lembaga keuangan ribawi. Gelembung ekonomi juga bisa dipicu oleh sektor riil terutama pada harga aset dan properti yang harganya meningkat tajam sehingga harganya sangat fantastis dan tidak rasional. Gelombang ekonomi tersebut bisa menimpa semua negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Yang paling merasakan dampaknya adalah negara yang paling dominan ekonomi non riilnya dibandingkan dengan ekonomi riilnya.

Meletusnya gelembung ekonomi berupa Depresi Besar (The Great Depression) di tahun 1929-1939, gelembung Dotcom (Dotcom Bubble) pada tahun 1998-2000, maupun krisis keuangan yang disebabkan oleh ambruknya perusahaan peminjaman utang pembelian rumah (subprime mortage) pada tahun 2007-2009 yang lalu, menunjukkan bahwa sistem Kapitalisme merupakan sistem yang rentan dengan krisis.

 

Kapitalisme Jelas Telah Gagal dari Semua Sisinya.

Dari penjelasan di atas, jelas dapat dibuktikan bahwa Kapitalisme telah gagal dalam mendistribusikan kekayaan di antara manusia dengan cara yang adil. Bahkan di tempat kelahiran Kapitalisme dan menjadi pusatnya saat ini, yaitu Eropa dan AS, distribusi kekayaan tetap merupakan kegagalan yang besar.

Kapitalisme tidak memiliki solusi untuk distribusi kekayaan yang berkeadilan, pertumbuhan ekonomi yang merata, perubahan rezim pajak, mencegah krisis ekonomi dan keuangan, menjaga stabilitas sistem moneter, maupun mencegah terjadinya perdagangan yang spekulatif. Hal tersebut merupakan masalah sistemik yang penyelesaiannya pun tidak mudah. Reformasi Kapitalisme hanya akan melanggengkan masalah.

 

Dunia Membutuhkan Tatanan Ekonomi Global Baru

Untuk itu, dunia membutuhkan tatanan ekonomi global baru yang hanya bisa disediakan oleh Islam dan hanya dapat dilakukan oleh sebuah negara Islam, yaitu Khilafah. Tatanan ekonomi Dunia Islam akan mengutamakan pemerataan ekonomi dan menghilangkan kesenjangan, menolak pinjaman berbunga, menggunakan emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai mata uang, menggunakan mata uang sendiri dalam perdagangan internasional dan transaksi bersama serta mencegah adanya praktik perdagangan yang spekulatif.

Khilafah inilah yang akan mengakhiri dominasi dolar, menolak institusi kolonialis seperti IMF dan Bank Dunia dan menyatakan minyak, gas, dan pembangkit listrik sebagai milik publik. Khilafah akan menegakkan tatanan ekonomi revolusioner ini di dunia.

Allah SWT telah menganugerahkan wilayah kaum Muslim dengan kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah dan beraneka ragam. Jalur laut, darat dan udara utama untuk perdagangan internasional melewati wilayah negeri-negeri Islam. Di atas segalanya, umat Islam memiliki harta berupa iman. Dengan iman itulah umat Islam dapat meruntuhkan tatanan ekonomi kapitalis yang eksploitatif saat ini.

Oleh karena itu, umat Islam harus berusaha dengan segenap kemampuannya untuk mencabut tatanan ekonomi kapitalis yang menindas, eksploitatif dan tidak adil ini, seraya memastikan penerapan satu-satunya agama yang haqq di hadapan Allah SWT. Itulah Islam. Tentu dengan menegakkan kembali Khilafah yang berjalan kokoh di atas metode Kenabian.

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Fajar Kurniawan; (Analis Senior, Pusat Kajian dan Analisis Data/PKAD)]

 

Catatan kaki:

1        Berkhout, E., et.al. 2021. The Inequality Virus: Bringing together a world torn apart by coronavirus through a fair, just and sustainable economy. Oxfam. London, UK.

2        Herzt, Noreena. 2005. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy. Harper Collins Publisher, USA.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × five =

Back to top button