Iqtishadiyah

Sistem Ekonomi Islam

Pemikiran merupakan kekayaan terbesar yang dimiliki oleh umat Islam. Sejarah telah membuktikan, dengan mengadopsi kekayaan pemikiran tersebut, mereka dapat mencapai kebangkitan dan kemajuan atas umat lain. Sebaliknya, ketika mereka mengabaikan pemikiran tersebut, bukan hanya mengalami kemunduran, mereka juga diremehkan dalam percaturan global, bahkan dijajah, dan kekayaan mereka dirampas.

Dengan demikian, nilai kekayaan pemikiran tersebut tentu saja jauh di atas kekayaan yang bersifat material, seperti cadangan emas dan devisa, properti, infrastruktur, dan peralatan militer; ataupun penemuan-penemuan ilmiah di berbagai bidang, seperti pertanian, kedokteran, teknologi informasi; dan rekayasa industri manufaktur.

Demikian pula dengan umat Islam. Dengan mengolah kekayaan pemikiran tersebut secara produktif, umat Islam pun bukan hanya akan mampu menjaga kekayaan material dan non-material mereka, namun juga mampu memproduksinya secara produktif, progresif dan kontinu. Bahkan jika kekayaan-kekayaan material tersebut dihancurkan, mereka dengan mudah untuk menghasilkan kekayaan yang serupa atau bahkan lebih baik.

Dalam hal ini, pemikiran yang dimaksud adalah pemikiran yang berkaitan dengan pandangan mengenai kehidupan dan apa yang berkaitan dengannya. Dengan kata lain pemikiran tersebut adalah akidah Islam.1

Oleh karena itu, kemajuan umat Islam mensyaratkan adanya keimanan terhadap akidah Islam melalui proses berpikir yang jernih, juga pada syariah Islam yang bersumber dari akidah tersebut, sebagai solusi atas berbagai persoalan manusia. Meskipun demikian, kekayaan pemikiran tersebut hanya akan menghasilkan kemajuan bagi umat Islam jika ia diterapkan dalam sebuah sistem pemerintahan yang berdiri di atas pemikiran yang diadopsi oleh rakyatnya, dan hukum-hukum yang bersumber darinya dijadikan sebagai acuan dalam menyelesaikan persoalan mereka.2

Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat telah mencontohkan hal tersebut. Dengan penerapan Islam secara formal di Madinah, umat Islam mampu menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan dalam percaturan politik internasional kala itu. Kemajuan yang berbasis pemikiran tersebut kemudian diwarisi oleh generasi-generasi berikutnya hingga umat Islam tampil sebagai negara terkemuka dan mewarnai peradaban dunia. Paul Kennedy menyatakan:

 

Eropa memiliki keunggulan dalam bidang budaya, matematika, engineering, navigasi, dan bidang lainnya jika dibandingkan dengan peradaban-peradaban Asia. Namun, sebagian besar budaya dan warisan sains Eropa tersebut, bagaimana pun “dipinjam’ dari Islam, sebagaimana masyarakat Muslim meminjam dari Cina melalui perdagangan, penaklukan dan permukiman.” 3

 

Kemunduran Berpikir

Sayang, sejak pertengahan Abad 18 Masehi peradaban umat Islam mengalami kemunduran yang cukup serius. Sebabnya, kemampuan mereka umat untuk memahami pemikiran Islam semakin lemah, termasuk dalam memahami bahasa Arab. Padahal bahasa tersebut menjadi kunci untuk mengamalkan Islam secara sempurna. Bahasa Arab juga menjadi alat untuk berijtihad dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan baru dalam kehidupan manusia menurut perspektif Islam. Ketidakmampuan berijtihad dengan benar telah menghambat umat Islam untuk mencapai kemajuan.4

Ajaran Islam yang berkaitan dengan metode penerapan pemikiran Islam semisal dakwah, jihad dan Khilafah juga diabaikan. Tema pengkajian Islam kemudian dimonopoli oleh pembahasan mengenai ibadah-ibadah ritual dan akhlak. Pada abad ke-19, pemahaman umat Islam mengenai Islam bahkan bertambah buruk. Bahkan pemikiran Islam ditafsirkan agar sesuai dengan realitas. Bukan sebaliknya, mengubah realitas agar sesuai dengan Islam. Bahkan hakim syariah yang semestinya memberikan fatwa yang lurus mengenai Islam. Mereka malah mengeluarkan fatwa yang melegalkan riba yang sedikit dan alasan darurat bagi yang tidak mampu, menghentikan penerapan hudud dan membolehkan hukum pidana dari luar Islam.5

Akibatnya, pemikiran dan praktik ekonomi yang bertentangan dengan Islam perlahan-lahan menyelinap dalam pemikiran dan kehidupan umat Islam.

 

Serangan Terhadap Politik dan Ekonomi

Pemikiran Barat yang berbasis sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan, tumbuh dan mekar menjadi sumber kebangkitan negara-negara Eropa. Melalui penjajahan, mereka kemudian menyebarkan pemikiran mereka ke negeri-negeri Muslim. Pemikiran yang berkaitan dengan pemerintahan dan ekonomi merupakan dua pemikiran utama yang paling agresif ditanamkan oleh penjajah.

Pemikiran politik dalam bentuk sistem demokrasi dipropagandakan bahwa ia tidak bertentangan dengan Islam, agar dapat diterima oleh umat Islam. Tujuannya tidak lain agar penjajahan mereka terhadap negeri-negeri Islam tetap lestari.

Pemikiran dan sistem ekonomi yang telah berpengaruh kuat pada umat Islam juga diserang secara masif. Pasalnya, sistem tersebut menghambat mereka untuk mencengkeram kekayaan umat Islam. Sebagai contoh, sebagaimana yang dijelaskan Pamuk:

 

Lembaga kredit dan keuangan pada [Kekhilafahan] Usmani tetap mempertahankan prinsip Islam mereka dan sebagian besar tidak terpengaruh oleh perkembangan di Eropa sampai akhir Abad Ketujuh Belas. Jaringan kredit yang padat berkembang di pusat-pusat Kota Usmani dan sekitarnya meskipun saat itu riba tetap dilarang. Pengusaha Muslim terus menggunakan berbagai bentuk kemitraan bisnis yang berkembang di sebagian besar Dunia Islam. Namun, dengan meningkatnya integrasi ekonomi wilayah Usmani dengan Eropa, lembaga-lembaga keuangan Eropa baik pemerintah ataupun swasta mulai memberikan pengaruh selama abad ke-18.6

 

Karena itu, selain mempromosikan sistem demokrasi secara intensif, mereka juga aktif mempromosikan sistem ekonomi kapitalisme baik berbagai level melalui kaki tangan mereka, dan orang-orang yang telah terpesona dengan pemikiran-pemikiran tersebut. Celakanya, di tengah kemunduran taraf berpikir mereka, umat Islam malah menyambut pemikiran-pemikiran tersebut dengan gegap gempita. Jadilah, pemikiran-pemikiran tersebut diadopsi dan diterapkan secara berkelanjutan hingga saat ini.

Negara-negara Barat juga mendirikan berbagai lembaga internasional untuk mengontrol kegiatan ekonomi pada hampir seluruh negara di dunia. Pada konferensi Bretton Woods, di New Hampshire, tahun 1944, sejumlah negara maju sepakat mendirikan International Moneter Internasional (IMF). Secara spesifik IMF bertujuan untuk mempromosikan kerjasama moneter internasional, memfasilitasi pertumbuhan perdagangan, mempromosikan stabilitas nilai tukar, membangun sistem pembayaran multilateral dan menciptakan cadangan moneter global.7

Pada saat yang bersamaan, mereka juga membentuk World Bank. Tujuannya untuk memberikan pinjaman khususnya kepada negara-negara berkembang. Bentuk pinjamannya mencakup berbagai bidang seperti proyek infrastruktur, penanggulangan kemiskinan, pendidikan serta penguatan kelembagaan pemerintah dan swasta. Joseph Stiglitz menyebutkan bahwa Bank Dunia dan IMF merupakan dua lembaga yang aktif mempromosikan “Konsensus Washington,” yakni serangkaian kebijakan yang mendorong deregulasi ekonomi melalui stabilisasi, liberalisasi dan privatisasi.8

Dalam sistem perbankan, negara-negara Barat juga mendirikan Bank for International Settlements (BIS) yang berpusat di Basel, Swiss pada tahun 1930. BIS berfungsi sebagai bank untuk bank sentral di seluruh dunia. Setiap negara dapat menyimpan sebagian dari cadangan mereka pada lembaga itu. BIS juga beroperasi sebagai wali umum dan fasilitator penyelesaian keuangan antar negara.9

Regulasi perbankan di dunia, termasuk yang diadopsi oleh Indonesia, mengacu pada standar yang dibuat oleh BIS, seperti Basel III yang diadopsi oleh bank-bank di Indonesia.

Negara-negara Barat juga membentuk perjanjian untuk mengontrol kegiatan perdagangan internasional. Perjanjian itu disebut dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Pada prinsipnya perjanjian tersebut mendorong liberalisasi perdagangan bagi negara-negara anggotanya, dan menyelesaikan konflik perdagangan di antara mereka. Perjanjian tersebut juga membuat standar untuk mengatur perdagangan internasional.10

Pada tahun 1995, Word Trade Organisation (WTO) kemudian menggantikan peran GATT sebagai organisasi internasional yang bertanggung jawab untuk menjalankan perjanjian perdagangan internasional. WTO juga bertanggung jawab untuk menetapkan aturan baru untuk perdagangan barang dan jasa, investasi internasional dan perlindungan hak kekayaan intelektual pada negara-negara anggotanya.11

Dengan demikian hampir seluruh kegiatan ekonomi di dunia, termasuk di negeri-negeri Muslim telah berkiblat pada sistem ekonomi kapitalisme. Kemudian, perangkat-perangkat system—mulai dari regulasi, sumberdaya manusia, institusi pendukung hingga kurikulum pendidikan—tunduk pada sistem tersebut.

 

Urgensi Memahami Kelemahan Sistem Kapitalisme

Meskipun telah menjadi sistem ekonomi yang paling dominan diterima dan diterapkan di dunia ini, kapitalisme terbukti bukan sistem ekonomi yang ideal. Sepanjang lintasan sejarahnya, sistem kapitalisme telah menyebabkan berbagai krisis baik dalam level internasional, regional dan nasional; baik dalam bentuk depresi, resesi, hiperinflasi, kemiskinan dan ketimpangan maupun fluktuasi nilai tukar mata uang.

Sejak awal, sistem kapitalisme dan prinsip-prinsip utamanya telah mendapat serangan dan kritikan oleh berbagai pihak. Menurut Malkawi, di antara serangan paling serius adalah serangan para filosof sosialis dan komunis seperti Karl Marx, Engels dan Lenin. Meskipun demikian, kritik-kritik yang dilancarkan juga relatif lemah sehingga mendapat serangan balik dari para penentangnya.12

Kritik juga datang dari para sarjana Barat yang masih menggunakan perspektif kapitalisme untuk menyerang sistem tersebut. Kritik mereka yang paling utama adalah kegagalan peran pemerintah dalam urusan ekonomi masyarakat yang menganut prinsip pasar bebas. Prinsip tersebut dikenal juga dengan istilah laissez-faire (berasal dari bahasa Prancis, yang berarti ‘allow to do’ atau ‘biarkan saja’). 13

Stiglitz dkk, misalnya, mengkritik Pemerintah AS yang dinilai terlalu mendewakan pasar bebas. Mereka juga mengoreksi ketidakstabilan sistem moneter berbasis dolar yang membuat nilai tukar tidak stabil.14

Namun, kritik yang serius dan signifikan terhadap prinsip-prinsip dasar kapitalisme dikemukakan oleh pemikir Islam terkemuka, yaitu, Taqiuddin al-Nabhani. Dalam An-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam, beliau memfokuskan kritikannya pada tiga prinsip dasar kapitalisme yaitu kelangkaan relatif, nilai dan mekanisme harga.

Muhammad Baqir as-Sadr, dalam bukunya Iqtishaduna, juga membeberkan kesalahan kapitalisme, terutama dari aspek kekayaan dan kepemilikan pribadi.15

Menurut an-Nabhani, gambaran mengenai ekonomi sistem kapitalisme, yang menjadi dasar kebijakan ekonomi politik di negara-negara Barat, perlu diungkap secara jelas sehingga para pendukung sistem tersebut dapat mengetahui kerusakannya dan pertentangannya dengan Islam.

Dengan demikian mereka dapat melihat bahwa pemikiran ekonomi Islam, yang berbeda dengan sistem kapitalisme, baik asas ataupun rinciannya, merupakan solusi yang benar terhadap persoalan ekonomi dewasa ini.

WalLâhu a’lam bis-shawâb. [Muis]

 

Catatan kaki:

1        Nasyrah, larîq al-Nahah, tt.

2        Nasyrah, Kaifa Tunhi al-Ummah al-Islâmiyyah, tt.

3        Paul Kennedy, The Rise and the Fall of Great Powers: Economic Change and Military Conflict 1500 to 2000 (London: Unwin Hyman, 1988), 4

4        Taqiuddin al-Nabhany, Mafâhîm Hizb al-Tahrîr edisi ke-6 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2001), 3

5        Ibid., 7

6        Sevket Pamuk, A Monetary History of the Ottoman Empire (Cambridge: Cambridge University, 2000), 78.

7        Maurice D. Levi, International Finance, edisi ke-5 (London: Routledge, 2010), 235.

8        Lucy Komisar, Interview with Joseph Stiglitz https://www.globalpolicy.org/component/content/article/209/50588-interview-with-joseph-stiglitz.html?itemid=id#942. Diakses 16 Februari 2020.

9        Levi, International Finance, 250.

10      Steven Husted dan Michael Melvin, International Economics, edisi ke-9 (USA: Pearson, 2013), 171.

11      Ibid., 176.

12      Mohammad Malkawi, Fall of Capitalism and Rise of Islam (Xlibris, 2010), 36.

13      Ibid, 37.

14      Joseph E Stiglitz, et. al., Time for a Visible Hand: Lessons from the 2008 World Financial Crisis (Oxford University Press, 2010), 288.

15      Ibid, 38; Sayyid Muhammad Baqir al-badr, Iqticâdunâ edisi ke-20 (Beirut: Dar al-Ta’aruf lil Mathbu’at, 1989)

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × two =

Back to top button