Tafsir

Seruan Kepada Rasulullaah saw. Pada Awal Kenabian (Bagian 3)

(QS al-Muddatstsir [74]: 6-7).

وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ  ٦ وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ  ٧

Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak! Untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah! (QS al-Muddatstsir [74]: 6-7).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ   (Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak). Kata مَنَّ memiliki beberapa makna. Kalimat: مَنَّ اللهُ عَلَيْهِ berarti وَهَبَّةً نِعْمَةً طَيِّبَةً (Dia menganugerahkan kepadanya nikmat yang baik). Makna ini sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran [3]: 164.

Adapun kalimat: مَنَّ عَلَى أَخِيْهِ berarti فَخَرَ بِنِعْمَتِهِ عَلَيْهِ حَتَّى كَدَّرَهَا وَأَفْسَدَهَا (Dia membanggakan pemberiannya kepada saudaranya hingga mengeruhkan dan merusaknya). Dia mengungkit-ungkit pemberiannya kepada temannya itu untuk mencela dan menyakitinya. Ini sebagaimana dalam QS al-Baqarah [2]: 264.

Kalimat: مَنْ عَلَيْهِ بِمَا صَنَعَا berarti: ذَكَرَ وَعَدَّدَ لَهُ مَا فَعَلَهُ مِنَ الْخَيْرِ (menyebut dan mengungkit-ungkit kebaikan yang telah dilakukan kepadanya).

Bisa juga bermakna memberikannya tanpa kompensasi sebagaimana dalam (QS Muhammad [47]: 4).1

Juga untuk menyebut sesuatu yang berkurang atau perkara yang melemahkan dan melelahkan, seperti perjalanan dan safar. Demikian pula sesuatu yang memotongnya, seperti tali dan kematian.2

Karena memiliki beberapa makna, para ulama pun berbeda pendapat tentang makna ayat ini.

Sebagian mengatakan makna ayat ini adalah: “Janganlah engkau memberikan pemberian dengan maksud untuk diberi lebih banyak daripadanya!”

Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas yang mengatakan, “Janganlah kamu memberikan suatu pemberian dengan maksud agar memperoleh balasan yang lebih banyak darinya.”3

Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Atha’, Thawus, Abu al-Ahwas, Ibrahim al-Nakha’i, al-Dahhak, Qatadah, dan as-Saddi serta lain-lainnya.4

Penafsiran ini juga disampaikam al-Khazin dan al-Baghawi, dan dipilih Ibnu Katsir.5 Ini juga merupakan pendapat kebanyakan mufassirin.6 Artinya, makna firman-Nya: وَلاَ تَمْنُنْ artinya لاَ تُعْطِ (janganlah kamu beri). Kalimat: مَنَّنْتُ فُلاَنًا كَذَا artinya: أَعْطَيْتُهُ (saya memberi dia). Ini juga sebagaimana dalam QS Shad [39]: 38.7

Larangan itu khusus berlaku kepada Rasulullah saw. Di dalam Tafsir Al-Jalâlayn disebutkan, “Maksudnya, janganlah kamu memberi sesuatu agar kamu dapat meminta balasan yang lebih banyak dari apa yang telah kamu berikan. Hal ini khusus berlaku hanya bagi Nabi saw. Sebab, dia diperintahkan untuk mengerjakan akhlak-akhlak yang paling mulia dan pekerti yang paling baik.8

Menurut Fakhruddin al-Razi,  menurut lahiriahnya, lafal ini tidak memberikan makna umum. Indikasi keadaan tidak menghendaki berlaku umum karena larangan itu kepada beliau untuk menyucikan tugas kenabian. Itu tidak terjadi pada umat. Namun, menurut sebagian orang, makna tersebut pada diri umat adalah riya. Allah SWT melarang semua itu.9

Penafsiran lain disampaikan Al-Hasan al-Basri. Menurut beliau, ayat ini bermakna: “Janganlah kamu merasa bangga dengan amalmu di hadapan Tuhanmu karena sudah sudah banyak.” 10  Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi’ bin Anas. 11

Pendapat ini juga dipilih Ibnu Jarir al-Thabari. Maknanya, “Janganlah kamu merasa bangga kepada Tuhanmu karena banyaknya amal shalihmu!”

Menurut Ath-Thabari, penafsiran ini lebih tepat. Sebab, itu sesuai dengan konteks ayat-ayat sebelumnya yang memuat perintah Allah SWT kepada Nabi saw. untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada-Nya dan bersabar dengan gangguan yang menimpanya. Ini adalah salah satu jenis dari perintah-perintah itu dan lebih serupa dengannya dibandingkan dengan penafsiran lainnya.12

Setelah Allah SWT memerintahkan kepada beliau empat perkara, yakni memberikan peringatan kepada kaumnya, mengagungkan Tuhannya, menyucikan pakaiannya, dan menjauhi berhala, kemudian Dia berfirman: وَلاَ تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ Artinya, “Janganlan kamu merasa bangga kepada Tuhanmu dengan amal-amal yang berat itu, seperti orang yang menganggap telah banyak beramal. Namun, bersabarlah atas semua perintah itu  karena mengharap ridha Allah  untuk mendekatkan diri kepada-Nya tanpa merasa bangga atas hal itu.”13

Ada pula yang mengatakan bahwa makna تَمْنُنْ adalah تَضْعُفُ (merasa lemah). Di antaranya adalah Mujahid yang berkata, “Janganlah kamu merasa lemah diri untuk berbuat banyak kebaikan.” Menurut Mujahid, kata تَمْنُنْ dalam perkataan orang-orang Arab bermakna تَضْعُفُ (merasa lemah diri).14

Artinya, janganlah kamu merasa lemah untuk mengerjakan ketaatan lebih dari empat perkara yang diperintahkan dalam ayat sebelumnya. Yang berpendapat demikian mengatakan bahwa ada huruf أَنْ yang dihilangkan di antara dua kata itu, sebagaimana firman-Nya:

قُلۡ أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ تَأۡمُرُوٓنِّيٓ أَعۡبُدُ

Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah.” (QS az-Zumar [39]: 64).

 

Kalimat asalnya: أَنْ أَعْبُدَ Kemudian huruf أَنْ dihilangkan. 15

Penafsiran lain lagi disampaikan oleh Ibnu Zaid yang berkata, “Janganlah kamu merasa berjasa telah memberikan kepada manusia dengan kenabian, lalu meminta imbalan lebih banyak dengan mengambil imbalan duniawi dari mereka.”16

Penjelasan menarik disampaikan Ibnu ‘Asyur. Menurut Ibnu’Asyur, relevansi ‘athf ayat 7ini dengan ayat sebelumnya (yang berisi perintah meninggalkan berhala) adalah bahwa al-mann dalam pemberian yang sangat banyak merupakan salah satu khuluq atau pekerti orang-orang musyrik. Karena itu ketika Allah SWT memerintahkan beliau untuk meninggalkan berhala, Dia juga melarang salah satu pekerti penyembah berhala dengan sebuah larangan yang bermakna perintah untuk bersedekah dan memperbanyak untuknya  dalam bentuk kinâyah. Seolah dikatakan Allah Swt berfirman: “Bersedekahlah dan perbanyaklah dalam sedekah; وَلاَ تَمْنُنْ  Artinya, janganlah kamu sering mengungkit-ungkit pemberianmu, lalu mencegahmu untuk menambahnya lagi. Atau, menyinggung penyesalan atas pemberianmu itu. Huruf as-sîn dan at-tâ` dalam firman-Nya: تَسْتَكْثِرُ bermakna لِلْعَدِّ (mengungkit-ungkit), yakni sering mengungkit-ungkit pemberianmu. Ini termasuk badî’ al-ta`kîd (penegasan yang sangat bagus) untuk mewujudkan perkara yang diperintahkan dengan menjadikan sedekah itu seolah terwujud. Sebab, bersedekah itu telah merupakan salah satu akhlak Rasulullah saw. lantaran beliau adalah orang yang paling dermawan. Itu sudah dikenal sebelum beliau diutus sebagai nabi. Allah SWT telah menyiapkan beliau dengan akhlak yang mulia, sebagaimana dikatakan Khadijah ra. kepada beliau dalam hadis tentang permulaan wahyu: إِنَّكَ تَحْمِلُ الْكُلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ (Sungguh engkau biasa membantu orang yang sengsara dan mengusahakan barang keperluan yang belum ada). Dengan demikian ayat ini mengisyaratkan tentang sedekah, sebagaimana dalam ayat sebelumnya mengisyaratkan tentang shalat. Termasuk kebiasaan al-Quran adalah menggabungkan antara shalat dan zakat.”17

Menurut Ibnu ‘Asyur, makna اَلْمَنُّ adalah تَذْكِيْرُ الْمُنْعِمِ الْمُنْعَمَ عَلَيْهَ بِإِنْعَامَهُ (penyebutan orang yang memberikan kenikmatan kepada orang yang diberi tentang kenikmatan yang diberikan). Adapun الإِسْتِكْثَارُ adalah عَدُّ الشَّيْئِ كَثِيْرًا (banyak mengungkit-ungkit sesuatu). Artinya, janganlah menganggap besar apa yang telah engkau berikan. Ini merupakan larangan yang berlaku umum untuk semua istiktsâr, betapa pun besarnya pemberian itu.18

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ  ٧

Untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.

 

Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersabar. Pada asalnya, ash-shabr  bermakna al-habs (menahan). Semua yang menahan sesuatu, berarti shabarahu (dia telah menahannya).19

Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, sabar berarti al-imsâk fî dhayyiq (menahan diri dalam kesempitan). Dikatakan: Shabartu ad-dâbbah berarti habastuhâ bilâ  ‘alaf (aku menahan hewan tanpa memberikan makanan).20

Ibnu ‘Asyur juga mengatakan bahwa ash-shabr adalah تَبَاتُ النَّفْسِ (keteguhan jiwa dan  menanggung beban yang berat, sakit, dan semacamnya).21

Adapun secara istilah, sabar berarti menahan jiwa atas apa yang diharuskan oleh akal dan syariah; atau atas apa yang diharuskan oleh keduanya (akal dan syariah) untuk menahannya.22

Dalam ayat ini Rasulullah saw. diperintahkan untuk bersabar terhadap Tuhannya. Dikatakan وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ Frasa وَلِرَبِّكَ bermakna لِوَجْهِهِ أَوْ أَمْرِهِ (karena mengharap keridhaan-Nya atau karena perintah-Nya).23  Artinya, sabar dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya.

Al-Imam al-Qurthubi berkata, “Artinya, terhadap Tuanmu, Pemilikmu dan Tuhanmu, maka bersabarlah kamu dalam menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya dan beribadah kepada-Nya.”24

Al-Khazin menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah untuk bersabar dalam ketaatan kepada-Nya beserta perintah dan larangan-Nya untuk memperoleh pahala Allah SWT.25

Termasuk bersabar dalam menjalankan perintah-Nya dalam menyampaikan peringatan dan risalah kepada manusia beserta semua risiko yang akan dihadapi. Ibnu Zaid berkata, “Kamu akan menanggung perkara besar, termasuk di dalamnya diperangi bangsa Arab dan bangsa lainnya. Karena itu bersabarlah atasnya karena Allah SWT.”26

Al-Jazairi juga berkata, “Karena itu bersabarlah atas apa yang kamu jumpai dalam menyampaikan risalahmu dan menyebarkan dakwahmu. Dakwah kepada kebaikan dan kesempurnaan. Inilah yang diajarkan Allah SWT kepada Rasulullah saw. pada awal dakwah beliau.”27

Ibnu Katsir berkata, “Jadikanlah kesabaranmu dalam menghadapi gangguan mereka untuk mendapatkan ridha Allah SWT.” Hal ini juga dikatakan oleh Mujahid.28

Sebagian mufassir mengatakan bahwa bersabar dalam menerima segala qadha’ terhadapnya untuk mengharap ridha Allah Swt.29 Juga terhadap segala yang tidak disukai.

Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Maksudnya, bersabarlah untuk Tuhanmu atas semua yang kamu jumpai berupa perkara-perkara yang dibenci.”30

Ada pula yang menjelaskan bahwa sabar yang diperintahkan itu mencakup semua perkara tersebut. Wahbah al-Zuhaili berkata, “Artinya, jadikanlah kesabaranmu atas gangguan mereka adalah karena Allah SWT semata. Sesungguhnya kamu dibebani perkara yang besar. Orang Arab dan orang asing akan memerangimu. Oleh karena itu, bersabarlah atsnya karena Allah SWT. Bersabar pula dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT.”31

 

Beberapa Pelajaran Penting

Sebagaimana telah diterangkan, surat ini termasuk surat yang pada permulaan wahyu diturunkan. Pada awal-awal surat ini terdapat perintah dan larangan kepada Rasulullah saw, yakni: Pertama, perintah menyampaikan peringatan. Perintah ini terdapat dalam banyak ayatlain (Lihat, misalnya: QS Ibrahim [14]: 44).

Banyak juga ayat yang menyebut beliau juga sebagai an-nadzîr (pemberi peringatan) (Lihat: QS al-Hijr [15]: 89; QS al-Hajj [22]: 49, Fathir [35]: 24, Shad [38] 70, dan lain-lain).

Patut dicatat, tugas utama seorang utusan Allah SWT adalah menyampaikan risalah kepada manusia yang disertai dengan penyampaian berita gembira dan pemberian peringatan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 119).

Kedua, perintah mengagungkan Allah SWT. Pengagungan itu terwujud dalam keyakinan maupun perbuatan.

Sebagaimana telah dijelaskan perintah dalam ayat ini juga mengisyaratkan perintah untuk shalat. Sebab, dalam ibadah tersebut dibuka dengan takbir dan disertai dengan takbir setiap pergantian gerakannya kecuali dari rukuk ke i’tidal.

Ketiga, perintah untuk bersuci dan menyucikan diri. Secara hakiki, ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. untuk menyucikan pakaiannya dari najis. Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, menjadi sangat relevan. Jika dalam ayat sebelumnya mengisyaratkan perintah untuk shalat, maka dalam ayat ini mengisyaratkan salah satu syarat pelaksanaan shalat, yakni bersuci.

Ayat ini, sebagaimana telah dijelaskan juga dapat dimaknai secara majazi, yakni perintah untuk menyucikan diri dari akhlak dan perilaku tercela.

Keempat, perintah meninggalkan berhala dan segala perbuatan dosa.Dalam banyak ayat, perintah menjauhi berhala merupakan satu paket dengan perintah untuk menyembah Allah SWT, seperti QS an-Nahl [16]: 36). Orang yang menjauhi berhala dinyatakan sebagai orang yang mendapatkan kabar gembira (QS al-Zumar [39]: 17).

Selain itu, dapat pula dipahami perintah untuk menjauhi perbuatan dosa dan kemaksiatan yang dapat mendatangkan azab. Tentang hal ini, banyak sekali dijelaskan dalam ayat lainnya.

Kelima, perintah menginfakkan harta ikhlas karena Allah SWT. Menurut kebanyakan ulama, ayat di atas mengandung larangan terhadap pemberian yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan balasan lebih besar.

Larangan tersebut juga dapat dipahami sebagai perintah untuk memberikan sebagian harta yang didorong karena ingin mendapatkan ridha Allah SWT semata. Bukan untuk mendapatkan balasan dari manusia, apalagi lebih. Bukan pula pemberian yang diiringi dengan sikap dan perkataan menyakitkan bagi orang yang diberi dengan menyebut-nyebut dan  mengungkit-ungkit pemberian.

Keenam, perintah untuk bersabar karena Allah SWT. Bersabar di sini dapat dipahami mencakup semua kesabaran yang diperintahkan. Bersabar terhadap semua perintah dan larangan-Nya, termasuk menjalankan perintah dakwah dan menyampaikan risalah. Bersabar untuk mendapati segala risiko dari perintah dan larangan Allah SWT tersebut. Juga bersabar dalam menerima semua musibah dan perkara yang telah ditetapkan dalam qadha’-Nya.

Semua perintah itu, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan hanya untuk beliau, berlaku pula untuk umatnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3, 2129

2        Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Qahirah, al-Mu’jam al-Wasîth, vol. 2, 888

3        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 14; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264

4        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 14

5        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 363; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174

6        al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 363; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 700

7        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 700

8        al-Mahalli dan al-Suyuthi, Tafsîr al-Jalâlayni (Kairo: Dar al-Hadits, tt), 776

9        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 700. Lihat juga al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 363; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174;

10      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264

11      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264

12      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 16

13      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 700

14      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174

15      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 700

16      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264

17      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 298-299

18      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 299

19      al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, vol. 12 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 2001), 121; Murtadha al-Zabidi, Tâj al-‘Arûs, vol. 12 (tt: Dar al-Hidayah, tt), 271

20      al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), 474

21      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 299

22      al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), 474

23      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 259

24      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 69

25      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 363; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 388; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 14 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 405

26      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174

27      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 463

28      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264

29      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 69

30      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 16

31      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 221

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − eighteen =

Back to top button