Nafsiyah

Al-Khawf dan Ar-Rajâ’ (Tunggangan Orang Beriman dalam Berjuang)

Jalan perjuangan Islam penuh dengan rintangan onak dan duri. Tentu hal ini menuntut seorang pejuang menghadirkan tunggangan yang menyampaikan pada tujuan. Semakin jauh tujuan, semakin banyak rintangan menghadang. Sebagaimana tingginya bangunan diikuti besarnya terpaan angin. Begitu pula himmah ‘âliyyah (cita-cita luhur dalam perjuangan). Di sinilah pentingnya al-khawf (takut) dan al-rajâ’ (pengharapan). Digambarkan oleh al-Hasan ra.:

الرَّجَاءُ وَالْخَوْفُ مَطِيَّتَا الْمُؤْمِنِ

Ar-Rajâ’ dan al-khawf adalah dua tunggangan orang beriman.

 

Dalam Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 302) dinukilkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) berkata, “Sudah seharusnya al-khawf dan al-rajâ’ itu menyatu (seimbang). Tatkala salah satunya mengalahkan sisi lainnya, binasalah orang tersebut.”

Sebagian ulama merinci bahwa tatkala menghadapi kematian, sisi ar-rajâ’ dikedepankan untuk menghadirkan prasangka baik kepada Allah dengan mengharapkan ampunan-Nya. Sebaliknya, tatkala hidup sehat maka sisi al-khawf diutamakan untuk mendorong sikap istiqamah di atas Islam menjauhi keburukan. Nabi saw. bersabda:

لاَيَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ

Janganlah salah seorang di antara kalian wafat melainkan ia berprasangka baik kepada Allah (HR Muslim dan Ibn Majah).

 

Syaikh Nawawi al-Bantani asy-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Syarh Sullam at-Tawfîq (hlm. 105) pun menegaskan bahwa di antara sifat terpuji bagi hamba Allah adalah khâ’if[an] wa jil[an] yakni rasa takut atas azab Allah dan takut terjerumus ke dalam kebinasaan (al-muhlikât).

Apa itu sifat ar-rajâ’? Pengharapan dengan berprasangka baik kepada Allah. Ditandai amal shalih yang dilakukan demi mengharap rahmat, ampunan serta pertolongan-Nya. Diiringi dengan sifat al-khawf, yakni takut terhadap kemurkaan dan azab-Nya akibat keburukan yang dilakukan.

Kedua sifat ini wajib menghiasi setiap Mukmin. Apalagi mereka yang berjuang memperjuangkan Islam. Mengharapkan rahmat, ampunan serta pertolongan-Nya dibuktikan dengan optimis berdakwah memperjuangkan tegaknya Islam kâffah dan istiqamah di atas metode dakwah Rasulullah saw.. Juga disertai rasa takut atas kemurkaan-Nya jika mengabaikan kewajiban tersebut. Tidak gentar menghadapi penentangan manusia-manusia yang terpedaya. Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

Sungguh orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah [2]: 218).

 

Bukankah dalam ayat khabari thalabi ini Allah menegaskan karakter orang-orang beriman dan berjuang di jalan-Nya dengan sifat rajâ’? Diperjelas petunjuk makrifatulLâh bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Syaikh ‘Atha bin Khalil dalam tafsirnya (hlm. 298) menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Jahsyi ra. dan kaumnya. Ayat ini mengandung pujian kepada mereka yang disifati dengan keimanan, hijrah dan jihad di jalan Allah. Mereka mengharapkan rahmat Allah dan ampunan-Nya atas apa yang mereka perbuat. Allah lalu menutup ayat ini dengan ampunan serta rahmat bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa ar-rajâ’ adalah mengharapkan rahmat dan ampunan-Nya, yang dibuktikan dengan amal shalih yang dilakukan.

Kedua sifat ini diwajibkan Allah SWT melekat pada diri setiap Mukmin, sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٦

Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS al-A’râf [7]: 56).

 

Menurut Al-Hafizh ath-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya (XII/487), kalimat lâ tufsidû fî al-ardh merupakan larangan untuk berbuat kesyirikan dan kemungkaran di muka bumi karena ia membuahkan fasâd (kerusakan). Dalam perspektif balaghah, ini merupakan ungkapan kiasan yang menyebutkan larangan atas akibat, namun yang dimaksud mencakup larangan atas penyebab kerusakan itu sendiri, yakni kezaliman semisal kesyirikan, serta perbuatan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah (dakwah).

Sebaliknya, Allah SWT memuji hamba-Nya yang berbuat kebaikan (ihsân), ikhlas beribadah mengharap keridhaan-Nya disertai khawf dan rajâ’. Kalimat inna rahmataLlâh qarîb[un] dalam ayat khabar thalabi di atas menegaskan informasi besarnya ganjaran bagi mereka yang berbuat kebaikan diiringi rasa takut (khawf[an]) dan pengharapan (thama’[an]), yang menjadi tangga meraih rahmat-Nya (Jannah). Bukankah kita mendapati Imam al-Syafi’i (w. 204 H) dalam Dîwan-nya bersenandung?

إليك إله الخلق أرفع رغبتي # وإن كنتُ –ياذ المنِّ والجود – مجرماً

ولَّما قسا قلبي، وضاقت مذاهبي # جَعَلْتُ الرَّجَا مِنِّي لِعَفْوِكَ سُلّمَا

Kepada Engkaulah, Sesembahan makhluk, aku ajukan keinginanku

Meski diriku, duhai Zat Yang Maha Pemurah nan Dermawan, adalah pelaku keburukan

Tatkala kalbuku mengeras dan jalan-jalanku menyempit

Aku jadikan pengharapan diriku kepada ampunan-Mu sebagai tangga keselamatan

 

Berputus Asa dari Rahmat Allah

Sebaliknya, Allah SWT mencela sikap berputus asa dari rahmat-Nya. Ini menjadi karakter orang-orang yang tersesat, pelaku kezaliman:

قَالَ وَمَن يَقۡنَطُ مِن رَّحۡمَةِ رَبِّهِۦٓ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ ٥٦

Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS al-Hijr [15]: 56).

 

Firman Allah SWT ini menggambarkan perkataan Ibrahim a.s. ini kepada kaumnya. Diawali huruf tanya (man) yang maksudnya adalah pengingkaran (istifhâm inkârî), yakni tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-orang yang menyalahi jalan kebenaran, melakukan kezaliman.

Allah SWT pun melarang sikap berputus asa dari rahmat-Nya dengan berbuat zalim di muka bumi:

۞قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣ وَأَنِيبُوٓاْ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَأَسۡلِمُواْ لَهُۥ مِن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَكُمُ ٱلۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ ٥٤

Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kembalilah kalian kepada Tuhan kalian dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian, kemudian kalian tidak dapat ditolong (lagi) (QS az-Zumar [39]: 53-54).

 

Berbuat kesyirikan, membunuh jiwa yang diharamkan, termasuk menjegal dakwah Islam dan menzalimi para pengemban dakwah adalah potret berputus asa dari rahmat Allah yang wajib ditobati. Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm (VII/95) ketika menafsirkan ayat ini menjelaskan: Ayat yang mulia ini merupakan seruan kepada semua orang yang berbuat salah, baik dari kalangan orang-orang kafir maupun selain mereka, untuk bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya. Ayat ini mengandung informasi bahwa Allah mengampuni seluruh dosa bagi orang yang bertobat darinya dan kembali kepada kebenaran dari dosa tersebut meskipun dosa tersebut seluas lautan.

Pertobatan seseorang yang sebelumnya tenggelam dalam kekafiran diterima jika ia memasuki Islam, mengimani dan mengamalkan Islam dalam kehidupan. Dalam syair diungkapkan:

ويغفر غير الشرك ربي لمن يشا # وحسن الرجا والظن في لله أجمل

Tuhanku mengampuni dosa selain syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki

Baiknya pengharapan serta prasangka kepada Allah lebih baik

 

WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Peneliti Balaghah al-Quran dan Hadits Nabawi)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 − five =

Back to top button