Ibrah

Tobat

Salah satu amal yang wajib dilakukan oleh seorang Muslim adalah tobat dari dosa. Baik dosa besar maupun dosa kecil. Baik dosa kepada Allah SWT maupun dosa kepada sesama manusia. Baik dosa yang disengaja maupun dosa yang tak disengaja.

Tobat tentu harus dilakukan dengan penuh kesungguhan. Itulah tobat yang benar-benar murni/tulus (tawbat[an] nashuha]. Tobat semacam ini mempersyaratkan, antara lain:

Pertama, penyesalan yang sedalam-dalamnya. Penyesalan tentu saja membutuhkan bukti. Tidak sekadar kata-kata. Dalam hal ini Ibnu al-Jauzi rahimahulLah berkata, “Wahai orang yang menyesali dosa-dosa: Manakah bukti penyesalanmu? Manakah tangisanmu atas ketergelinciran kakimu? Manakah rasa khawatirmu atas sakitnya hukuman-Nya? Manakah rasa cemasmu karena takut atas teguran (azab)-Nya?” (Ibnu al-Jauzi, At-Tabshirah, 1/2971).

Seorang yang benar-benar menyesal dari perbuatan dosa tak akan memandang remeh dosa. Termasuk dosa kecil sekalipun. Dalam hal ini Bilal bin Sa’ad berkata, “Janganlah kamu memandang pada kecilnya dosa. Namun, perhatikanlah kepada siapa kamu berbuat dosa.” (Ahmad bin Hanbal, A-Zuhd, hlm. 311).

Artinya, jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil. Apalagi, sebagaimana dosa besar, dosa kecil pun sama-sama merupakan maksiat kepada Allah SWT. Apalagi dosa-dosa kecil, jika sering dan biasa dilakukan, akan menjadi banyak juga jika pelakunya tidak sering-sering bertobat kepada Allah SWT.

Maka dari itu, seorang Muslim tidak akan fokus menghitung-hitung amal kebaikannya. Ia justru akan fokus menghitung-hitung keburukan-keburukan (dosa-dosa)-nya. Dalam hal ini Bilal bin Sa’ad rahimahuLah berkata, “Mengingat-ingat  amal-amal kebaikanmu sembari melupakan amal-amal keburukanmu adalah sebuah kelengahan/kelalaian.” (Ahmad bin Hanbal, Az-Zuhd, hlm. 312).

Artinya, lebih baik sering mengingat-ingat amal-amal buruk (dosa/maksiat) kita daripada banyak mengingat-ingat amal kebaikan kita. Mengingat-ingat amal buruk (dosa/maksiat) kita akan mendorong kita untuk banyak bertobat. Mengingat-ingat amal kebaikan kita akan menjadikan kita merasa cukup beramal shalih. Padahal boleh jadi dosa/maksiat yang kita lakukan jauh lebih banyak dari amal shalih kita kerjakan.

Kedua, banyak memohon ampunan (beristighfar) kepada Allah SWT. Meski ma’shum, Baginda Rasulullah saw. biasa memohon ampunan kepada Allah SWT tidak kurang dari 100 kali. Tentu istighfar lebih layak dilakukan oleh kita, umatnya. Sebabnya, setiap hari, bahkan setiap waktu, kita berbuat dosa. Karena itu di antara doa penting yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah saw. kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ra. adalah doa permohonan ampunan.  Diriwayatkn bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Ajari aku suatu doa yang akan aku panjatkan dalam shalatku.” Rasulullah saw. lalu bersabda: Katakanlah:

اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang banyak, sementara tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Karena itu ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu dan sayangilah aku. Sungguh Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Mutaffaq ‘alaih).

 

Ketiga, bertekad kuat untuk tidak mengulangi dosa yang sama. Dengan kata lain, tobat yang benar harus dibuktikan dengan upaya yang keras untuk selalu taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bukan malah sering terjatuh ke dalam kemaksiatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Baginda Rasulullah saw. menyebut orang yang banyak bermaksiat sebagai orang yang enggan masuk surga. Beliau bersabda, “Setiap orang dari umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau bersabda, “Siapa saja yang menaatiku pasti masuk surga. Siapa saja yang bermaksiat kepadaku, berarti dia enggan masuk surga.” (HR al-Bukhari).

Di antara bentuk kesungguhan untuk selalu taat kepda Allah SWT dan Rasul-Nya adalah ia sungguh-sungguh beramal. Kesungguhan beramal dibuktikan melalui kesungguhan dalam belajar. Sebabnya, amal yang benar tentu harus didasarkan pada ilmu. Bukan semata-mata kesungguhan. Karena itu tentu bohong jika seseorang mengaku bertobat kepada Allah SWT, lalu berusaha untuk taat dengan banyak beramal, tetapi enggan untuk terus memperbanyak ilmu yang menjadi pilar amalnya. Tak ada alasan karena sudah tua lalu enggan belajar. Dalam hal ini al-A’masy berkata, “Jika saya melihat orang yang sudah tua masih enggan belajar fikih (agama), saya suka ingin menamparnya.” (Ad-Daynuri, ‘Uyun al-Akhbar, 2/536).

Demikianlah sikap para ulama dulu saat melihat orang tua yang enggan belajar agama. Boleh jadi orang enggan belajar agama karena merasa usianya tidak muda lagi. Padahal justru karena sudah tidak muda lagi, mereka harus lebih giat belajar agama demi mengejar ketertinggalan saat masih muda,  karena  waktu (umur)-nya tinggal sedikit.

Keempat, tidak menunda-nunda amal. Seorang yang bertobat kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh tak akan pernah menunda-nunda amal. Sebabnya, ia sadar, kesempatan dia hidup tidak banyak. Apalagi sebagian hidupnya sudah digunakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Dalam hal ini Khalid bin Ma’dan rahimahulLah berkata, “Saat pintu kebaikan telah terbuka di hadapan salah seorang di antara kalian, segera masuki, karena dia tidak tahu kapan pintu kebaikan tersebut menutup kembali.” (Ahmad bin Hanbal, Az-Zuhd, hlm. 311).

Artinya, jangan sejali-kali menunda beramal shalih karena merasa masih banyak  kesempatan. Padahal kesempatan itu bisa saja tiba-tiba hilang dan tak akan kembali lagi.

Terakhir, kita berharap, tobat kita di dunia ini bisa menghapus sama sekali penyesalan di akhirat nanti. Sebabnya jelas, di akhirat nanti, banyak manusia yang akan menyesali diri. Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLah berkata, “Sungguh kebanyakan orang-orang yang telah diwafatkan berangan-angan bisa hidup kembali meski hanya sesaat saja agar bisa bertobat dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan. Padahal hal demikian adalah mustahil bagi mereka.” (Ibnu Rajab, Latha’if al-Ma’arif, hlm. 727).

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [ABI]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five + fourteen =

Check Also
Close
Back to top button