Melayakkan Diri Menjadi Generasi Pejuang
Ramadhan Syahr al-Qur’ân telah berlalu. Namun, perjuangan menegakkan hukum-hukum al-Quran dalam kehidupan harus senantiasa terdepan. Inilah esensi la’allakum tattaqûn sebagai petunjuk hikmah pensyariatan ibadah shaum Ramadhan sebulan penuh (QS al-Baqarah [2]: 183).
Hikmah yang sama Allah lekatkan pada penegakan sanksi hukum qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 179), yang tak bisa ditegakkan melainkan dengan tegaknya sistem Islam, Al-Khilâfah.
Diksi tattaqûn yang diungkapkan dalam bentuk al-fi’l al-mudhâri’ mengisyaratkan bahwa ketakwaan harus senantiasa dilakukan selama manusia diamanahi usia. Tidak terbatas pada bulan Ramdhan, melainkan harus dibuktikan pada sebelas bulan setelahnya.
Esensinya ada pada perjuangan menghidupkan sebelas bulan berikutnya dengan perjuangan menghidupkan waktu demi waktu dengan perjuangan mendakwahkan Islam (fî sabîlillâh). Hal ini yang diisyaratkan hadis riwayat Abu Hurairah ra. yang berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:
موقفُ ساعةٍ في سبيلِ اللهِ خير من قيامِ ليلةِ القد ر عندَ الحَجرِ الأسوَدِ
Kedudukan satu jam di jalan Allah lebih baik daripada menegakkan Lailatul Qadar di sisi al-Hajar al-Aswad (HR Ibn Hibban dan Al-Baihaqi)
Hadis mulia ini mengandung informasi (khabar ibtidâ’î) yang memberikan kabar gembira tentang besarnya keutamaan berjuag di jalan Allah. Jika menegakkan Lailatul Qadar saja lebih baik daripada seribu bulan qiyâm di luar Lailatrul Qadar maka satu jam berjuang (jihad) di jalan Allah lebih baik daripada itu semua.
Al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), ketika menguraikan bentuk jihad, menggolongkan dakwah dengan hujjah bagian dari seutama-utamanya jihad:
Sesungguhnya Rasulullah saw. menjadikan menuntut ilmu bagian dari amal perbuatan di jalan Allah, karena dengan ilmu tegak fondasi-fondasi Islam, sebagaimana Islam pun tegak dengan jihad, maka agama ini tegak dengan ilmu dan jihad.
Karena itu jihad ada dua macam: Pertama, Jihad dengan tangan dan tombak (senjata) (al-jihâd bi al-yadd wa al-sanân). Ini yang diikuti oleh banyak orang (yakni pada umumnya manusia, mencakup orang awam dan ahli ilmu);
Kedua, Jihad dengan hujjah (argumentasi syar’i) dan penjelasan (al-jihâd bi al-hujjah wa al-bayân). Ini merupakan jihad orang pilihan yang meniti jalan Rasulullah saw. Ini adalah jihadnya para pemimpin umat (Al-Imâm) dan seutama-utamanya jihad karena besar manfaatnya, banyak persiapan bekalnya dan banyak musuhnya (Ibnu al-Qayyim, Miftâh Dâr as-Sa’âdah, I/70).
Berjuang dengan hujjah artinya berjuang mendakwahkan penegakan Islam. Ini besar manfaatnya dalam kehidupan sebagaimana ia pun membutuhkan ilmu, pengorbanan waktu dan tenaga, harta bahkan jiwa. Rasulullah saw. pun menggambarkan aktivitas mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zalim dalam rangka mengkritik dan meluruskannya merupakan seutama-utama jihad (afdhal al-jihâd). Tatkala mereka berdakwah secara berjamaah, dalam rangka menegakkan dan mendakwahkan hukum-hukum Allah tegak di muka bumi, kelompok seperti ini yang memenuhi karkater dalam hadis bisyârah:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ، لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، أَوْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِي أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُون عَلَى النَّاسِ
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku, yang tegak di atas perintah Allah. Tidak membahayakan mereka siapapun yang mencela mereka, atau menyelisihinya, hingga tiba keputusan Allah dan mereka meraih kemenangan atas manusia (HR Muslim, Ahmad).
Karakteristik kelompok dalam hadis ini sesuai dengan manthûq dalam firman-Nya:
وَمِمَّنۡ خَلَقۡنَآ أُمَّةٞ يَهۡدُونَ بِٱلۡحَقِّ وَبِهِۦ يَعۡدِلُونَ ١٨١
Di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan haq dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan (QS al-A’raf [7]: 181).
Kata thâ’ifat[un] (kelompok) diungkapkan dalam bentuk nakirah. Ini berfaidah ta’mîm (umum); menunjukkan keluasan cakupannya, tak terbatas pada suatu kelompok dari kelompok kaum Muslim selama mereka memiliki karakter istimewa: “qâ’imat[an] bi amrilLâh”.
Kata thâ’ifat[un] mengisyaratkan urgensi amal kolektif (jamaah) karena ia lafal tunggal berkonotasi jamak (plural). Ini serupa dengan kata ummat[un] (QS. آli ’Imran [3]: 104). Hal ini diperjelas oleh hadis tamtsîl safînah (perumpamaan perahu). Thâ’ifah manshûrah ini melekat pada kelompok dakwah yang memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Allah secara totalitas dalam kehidupan.
Kalimat qâ’imat[an] bi amrilLâh, mengandung konotasi mustamsikat bi amrilLâh, yakni kelompok yang berpegang teguh pada perintah Allah, sebagaimana penafsiran atas firman-Nya:
۞لَيۡسُواْ سَوَآءٗۗ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ أُمَّةٞ قَآئِمَةٞ يَتۡلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ وَهُمۡ يَسۡجُدُونَ ١١٣
Mereka itu tidak sama. Di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus (masuk Islam). Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu pada malam hari, sedangkan mereka juga bersujud (sembahyang) (QS Ali Imran [3]: 113).
Al-Azhari (w. 360 H) dalam Tahdzîb al-Lughah (IX/268) menjelaskan makna ummat[un] qâ’imat[un] dalam ayat ini, yakni mustamsikat bi dînilLâh (kelompok yang berpegang teguh pada Islam), sebagaimana diriwayatkan al-Imam al-Farra. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) pun dalam Al-Nihâyat fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar (IV/126) ketika menjelaskan al-qâ’imah dalam riwayat:
العلم ثالثةٌ: آيةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ
Ia menuturkan:
القائِمةُ: الدَّائِمَةُ الْمُسْتَمِّرةُ الَّتِي العَملُ بِهَا مُتَّصِلٌ لَا يُتْرك
Al-Qâ’imah, yakni pihak yang senantiasa konsisten dengan suatu aktivitas berkesinambungan, tidak pernah ditinggalkan.
Adapun frasa amrulLâh (perintah Allah), dengan konotasi dînulLâh (Islam), mencakup perintah dan larangan. Dalam ilmu balaghah ini merupakan bentuk kiasan (al-majâz al-mursal); menyebutkan sebagian, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kull). Pada kalimat qâ’imat[an] bi amriLlâh: Kata qâ’im menggambarkan pelaksanaan perintah Allah, tak sekadar melaksanakan, namun menegakkannya dengan niat yang benar dan tatacara yang sejalan dengan tuntunan Islam itu sendiri, serta dilakukan secara konsisten. Ini berdasarkan petunjuk pada kalimat (), disambungkan dengan huruf ba () yang berkonotasi ma’a (), sehingga menunjukkan karakteristik senantiasa teguh dengan perintah Allah (dâ’imat ma’a amrilLâh).
Karakter ini pada akhir zaman melekat pada kelompok dakwah yang berdiri di atas asas akidah Islam, dan konsisten bergerak mendakwahkan penegakan syariah Islam, dengan metode dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw.
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Tafsîr al-Munîr (IV/32) ketika menjelaskan korelasi QS. Ali Imrân [3]: 104 sebagai penjelasan atas ayat:
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ١٠٣
Berpegangteguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai (QS Ali Imran [3]: 103).
Beliau menyatakan bahwa sikap berpegang teguh pada tali agama Allah ditunjukkan dalam QS Ali Imran [4]: 104: Allah memerintahkan kita berpegang teguh terhadap al-Quran dan konsisten menegakkan Dinul Islam. Allah pun menjelaskan tatacara berpegang teguh terhadap al-Quran, yakni dengan mendakwahkan al-khair (al-Islâm) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Wa bilLâhi at-tawfîq.
Kaum Muslim tentu tak ingin seperti kaum yang duduk-duduk berdiam diri, berpangku tangan menunggu pertolongan turun dari langit. Padahal Rasulullah saw. telah beramal, menggariskan jalan dakwah bagi umatnya, dan memberikan sebaik-baiknya keteladanan. Hingga salah seorang sahabat yang mulia pun bersaksi dalam syairnya, dinukil al-Hafizh Ibn Katsir dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (IV/535):
لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ * لَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلِّلُ
Betapa kita duduk menganggur, sedangkan Rasul saw. sibuk berjuang
Sungguh itu adalah perbuatan sesat menyesatkan
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; (Peneliti Balaghah al-Quran & Hadis Nabawi)]