Ancaman Bagi Mereka Yang Mendustakan Al-Quran
وَذَرۡنِي وَٱلۡمُكَذِّبِينَ أُوْلِي ٱلنَّعۡمَةِ وَمَهِّلۡهُمۡ قَلِيلًا ١١ إِنَّ لَدَيۡنَآ أَنكَالٗا وَجَحِيمٗا ١٢ وَطَعَامٗا ذَا غُصَّةٖ وَعَذَابًا أَلِيمٗا ١٣
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki segala kenikmatan hidup, dan berilah mereka penangguhan sebentar. Sungguh di sisi Kami ada belenggu-belenggu (yang berat) dan neraka yang menyala-nyala; juga makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih. (QS al-Muzzammil [73] 11-13)
Sabab an-Nuzûl
Ayat ini turun mengenai para pembesar Quraisy dan pemimpin Makkah yang mengejek Nabi saw.1
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
وَذَرۡنِي وَٱلۡمُكَذِّبِينَ أُوْلِي ٱلنَّعۡمَةِ ١١
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki segala kenikmatan hidup.
Khithâb atau seruan ayat ini masih ditujukan kepada Rasulullah saw. sebagaimana dalam ayat sebelumnya. Hal ini ditandai dengan penggunaan wâwu al-‘athaf pada awal ayat ini sebagai penghubung kalimat sebelumnya.
Dalam ayat ini Allah SWT berfirman: [ذَرۡنِي] (Biarkanlah Aku). Kata [ذَرۡ] merupakan fi’l al-amr dari kata [وَذِرَ _ يَذَر] yang berarti meninggalkan atau membiarkan. Kalimat [ذَرْهُ], artinya [دَعْهُ] (tinggalkanlah dia).2
Demikian pula kalimat [ذَرْنِي] dalam ayat ini, juga bermakna [دَعْنِي] (Tinggalkanlah Aku).3
Adapun kata [الْمُكَذِّبِيْنَ] (orang-orang yang mendustakan) merupakan ism al-fâ’il dari kata [كذَّبَ] (mendustakan, mengingkari). Kalimat [كذَّب بِالأمرِ] maknanya adalah [أنْكَرَه وجَحَدَه] (mengingkari dan memungkirinya). Ini seperti dalam firman Allah SWT:
وَكَذَّبُواْ بِئَايَٰتِنَا كِذَّابٗا ٢٨
Mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami (QS al-Naba’ [78]: 28).4
Ini pula yang terdapat dalam ayat ini. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, mereka adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya.5
Menurut Ibnu ‘Asyur, yang dimaksud dengan al-mukadzdzibîn (orang-orang yang mendustakan) adalah orang-orang yang dimaksudkan oleh adh-dhamîr (kata ganti mereka) pada firman Allah SWT:
يَقُولُونَ وَٱهۡجُرۡهُمۡ ١٠
Mereka berkata dan tinggalkanlah mereka (QS al-Muzammil [73]: 10).
Mereka adalah penduduk Makkah yang mendustakan Nabi saw. Disebutkan secara zhâhir menggantikan dhamîr untuk memberikan pengertian bahwa pendustaan adalah menjadi sebab ancaman bagi mereka.6
Kata tersebut disifati dengan kata berikutnya: [اُولِى النَّعْمَةِ] (yang memiliki segala kenikmatan hidup). Kata [النَّعْمَةِ] dengan huruf nûn-nya di-fathah, bentuk jamaknya [أَنْعُمٌ], maknanya adalah [التَنَعُّم والتَرَفُّهُ] (kemewahan dan kemakmuran);7 atau, [رفاهة وطيب عيش] (kemakmuran dan kehidupan yang menyenangkan). Ini adalah lawan dari dari kata [البُؤْس] (kesengsaraan, keadaan yang buruk).
Adapun jika huruf nûn-nya di-kasrah [النِعْمَة], bentuk jamaknya [نِعَمٌ], maknanya adalah [الإِنْعامُ] (pemberian nikmat) dan [يُنْعمُ بِهِ] (sesuatu yang dinikmati), baik berupa harta, anak-anak, dan kehormatan yang menghasilkan kenikmatan.8
Menurut Ibnu ‘Asyur, an-ni’mah adalah yang sesuai dengan selera atau keinginan manusia, seperti kesehatan, keamanan, rezeki dan berbagai keinginan manusia. Jika huruf nûn-nya di-dhammah [النُّعْمَة], bentuk jamaknya [نُعْمٍ] bermakna [الْمَسَرَّة], (kegembiraan).9
Menurut Abu as-Su’ud, makna [اُولِى النَّعْمَة] adalah [أرباب التنعمِ] (orang-orang yang mendapat-kan banyak kesenangan).10
Menurut asy-Syaukani, mereka adalah orang-orang yang memiliki kekayaan, keluasan, kemewahan, dan kenikmatan di dunia.11
Menurut banyak mufassir, yang dimaksud dengan orang-orang mendustakan lagi memiliki kemewahan hidup di sini adalah para pembesar dan pemimpin Quraisy.12
Mereka disifati dengan [اُولِى النَّعْمَةِ] sebagai celaan kepada mereka karena sikap mereka yang mendustakan itu lantaran keterpedayaan dan kesombongan karena kekayaan mereka.13
Huruf al-wâwu yang berada di antara dua kata tersebut, yakni dhamîr al-yâ‘ al-mutakallim pada kata [ذَرْنِي] dan kata [الْمُكَذِّبِيْنَ], merupakan wâwu al-ma’iyyah. Dengan demikian kata sesudahnya berkedudukan sebagai maf’ûl ma’ah.14 Bisa juga wâwu al-‘athaf.15
Dalam konteks ayat ini, kalimat tersebut merupakan ancaman dan intimidasi.16
Menurut az-Zuhaili, Allah SWT mengancam dan memperingatkan orang-orang kafir Makkah dan yang lainnya, Dialah Yang Mahaagung yang tidak ada sesuatu pun bisa menghadapi murka-Nya.17
Tentang makna ayat ini, asy-Syaukani juga berkata, “Biarlah Aku bersama mereka dan jangan pedulikan mereka, karena Aku menjagamu dari urusan mereka dan membalas mereka untukmu.”18
Penjelasan senada dikemukakan oleh al-Harari, Muhammad Ali ash-Shabuni, azh-Zuhaili, dan lain-lain.19
Menurut Ibnu Katsir, seharusnya orang-orang memiliki banyak harta itu lebih taat daripada orang lain karena mereka dituntut menunaikan kewajiban yang tidak dimiliki oleh orang lain.20
Allah SWT berfirman:
وَمَهِّلۡهُمۡ قَلِيلًا ١١
Berilah mereka penangguhan sebentar.
Kalimat dalam ayat ini dihubungkan dengan kalimat sebelumnya dengan huruf wâwu al-‘athaf. Kata [مَهِّلْ] merupakan fi’l al-amr dari kata [مهَّلَ] (menangguhkan). Kalimat [مهَّل الشَّيءَ], maknanya adalah [أجّله وأخّر] (memberi tempo dan menangguhkannya).21
Adapun kata [قَلِيْلاً] berarti sedikit atau sebentar. Dalam ayat ini, kata tersebut berkedudukan sebagai sifat untuk mashdar yang dihilangkan, yakni: [تَمْهِيلًا قَلَيِلاً] (penangguhan sebentar). Bisa juga berkedudukan sebagai sifat bagi kata [زَمَانًا] (waktu) yang dihilangkan. Lengkapnya: [زَمَانًا قَلِيْلاً] (waktu sebentar).22
Maknanya: “Beri tangguhlah mereka sampai datangnya ajal mereka.” Demikian menurut asy-Syaukani dan lain-lain.23
Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Berilah mereka tangguh barang sebentar sampai mereka merasakan siksa yang berat.”24
Tentang azab yang ditimpakan kepada mereka, ada beberapa penjelasan. Ada yang mengatakan bahwa Allah SWT memberi mereka tangguh sampai Nabi saw. berhijrah dari Makkah. Ketika Nabi saw. keluar dari Makkah, Allah menghukum mereka dengan musim-musim paceklik dan siksa yang bersifat umum. Kemudian para petinggi Quraisy terbunuh pada Perang Badar sebagai bentuk siksaan khusus.25
Kemudian Allah SWT berfirman:
إِنَّ لَدَيۡنَآ أَنكَالٗا وَجَحِيمٗا ١٢
Sungguh di sisi Kami ada belenggu-belenggu (yang berat) dan neraka yang menyala-nyala.
Ayat ini diawali dengan huruf [إِنَّ] yang berguna untuk menguatkan berita yang disebutkan sesudahnya. Kata [لَدَى] merupakan zharf makân (keterangan tempat), yang bermakna [عِنْدَ] (di sisi). Kadang-kadang juga digunakan untuk keterangan waktu.26
Fakhruddin ar-Razi berkata: “Sesungguhnya di sisi Kami di akhirat terdapat sesuatu yang menjadi kebalikan dari kesenangan di dunia.”27
Diberitakan bahwa di akhirat terdapat [أَنكَالا وَجَحِيما]. Kata [الأَنكَال] merupakan bentuk jama‘ dari [النِّكْلُ] atau [النَّكْلُ], yang berarti [الْقَيْدُ] (kekang, ikatan, rantai).28
Demikian pula menurut al-Hasan, Mujahid, dan lainnya. Maknanya adalah sesuatu yang menghalangi manusia untuk bergerak.29 Ini juga dikatakan Zainuddin ar-Razi.30
Menurut yang lainnya, al-ankâl bukan sekadar kekang, rantai, atau belenggu, tetapi yang berat. Menurut az-Zamakhsyari, al-ankâl adalah [القُيُودُ الثِّقَالُ] (rantai-rantai yang berat).31
Hal senada juga dikatakan al-Alusi, al-Baidhawi, Sayyid Thanthawi, al-Harari, dan lain-lain.32
Menurut Muhammad al-Amin al-Harari bahwa kaki al-mujrimîn (para pelaku kejahatan) itu diikat untuk menghinakan dan menyiksa mereka, bukan karena takut mereka bisa melarikan diri.”33
Kalimat dalam ayat ini merupakan sebagai ta’lîl (menjelaskan alasan) terhadap perintah yang disebutkan dalam ayat sebelumnya: [وَذَرْنِيْ وَالْمُكَذِّبِيْنَ] (Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan). Arti-nya: “Karena di sisi kami ada sesuatu yang lebih keras daripada balasanmu kepada mereka.” 34
Di samping disediakan bagi mereka al-ankâl (rantai-rantai), juga disiapkan [جَحِيما] untuk menyiksa mereka. Yang dimaksud dengan jahîm adalah [نارا مُؤَجَّجَةٌ] (neraka atau api yang menyala-nyala);35 atau [نار محرقة شديدة الإيقاد] (api yang menghanguskan lagi sangat membakar).36
Dengan demikian ayat ini menerangkan bahwa bagi mereka di akhirat ada beberapa rantai yang besar dan berat untuk mengikat mereka dan api yang menyala di neraka untuk membakar mereka.37
Allah SWT berfirman:
وَطَعَامٗا ذَا غُصَّةٖ وَعَذَابًا أَلِيمٗا ١٣
Juga (ada) makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.
Selain itu, disiapkan juga makanan bagi mereka. (makanan). Hanya saja, makanan itu bukanlah sebuah kenikmatan. Ia justru merupakan tambahan siksaan yang sangat dahysat. Dalam ayat ini kata [طَعَامًا] (makanan) disifati dengan [ذَا غُصَّة]. Secara bahasa, kata [الْغُصَّةُ] adalah [الشَّجَا],38 yakni, [ما اعترض في الحلق من طعام أو شراب] (sesuatu yang melintang di tenggorokan, baik makanan atau minuman).39
Makna ini pula yang terkandung dalam ayat ini. Menurut asy-Syaukani, pengertian [الْغُصَّةُ] adalah [الشَّجَا فِي الْحَلْقِ] (sesuatu yang melintang di tenggorokan), yakni sesuatu yang menyangkut di sana, berupa tulang atau yang lainnya. Bentuk jamaknya adalah [غُصَصٌ].40
Makanan tersebut tidak gurih dan melekat di tenggorokan. Tidak bisa turun dan tidak bisa keluar. Itulah al-ghislîn, az-zaqqûm dan adh-dharî’. Demikian menurut Ibnu Abbas ra. Juga menurut beliau, itu adalah duri yang masuk ke dalam sehingga tidak bisa turun dan tidak bisa keluar. Al-Zajjaj mengatakan bahwa makanan mereka adalah adh-dharî’. Demikian sebagaimana diberitakan dalam QS al-Ghasyiyah [88]: 6.41
Di samping makanan yang sangat menyakitkan, disediakan pula [عَذَابًا لِيمًا], yakni siksa yang menyakitkan dan pedih lainnya sebagai tambahan atas siksa berupa rantai yang sangat berat.42
Muqatil berkata, “Itu merupakan jenis-jenis azab yang keras.” 43
Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuasaan-Nya dan tidak mengetahui hakikatnya kecuali Allah SWT. Semua itu disediakan dan disiapkan untuk mereka.44
Dalam ayat ini disebutkan [عَذَابًا] (azab) dalam bentuk nakîrah. Ini menunjukkan bahwa azab itu adalah lebih besar dan lebih sempurna daripada yang disebutkan sebelumnya. 45
Menurut Ibnu ‘Asyur, al-ankâl (belenggu atau kekang) itu sebagai balasan atas kekufuran mereka atas kenikmatan, kesehatan dan kekuatan mereka. Sebabnya, al-ankâl adalah al-quyûd (belenggu atau kekang). Siksa al-Jahîm merupakan neraka atau api Jahanam sebagai balasan atas kenikmatan naungan dan kesejukan. Adapun al-tha’âm dzâ ghushshat (makanan yang menyumbat tenggorokan) sebagai balasan bagi mereka yang terbiasa dengan makanan-makanan yang enak. Kemudian al-‘adzâb al-alîm (siksa yang sangat menyakitkan) sebagai balasan atas kenikmatan yang dirasakan oleh kulit. Sebabnya, [الأَلمَ] (kesakitan) merupakan lawan dari [اللَّذَّة] (kelezatan). Para ahli hikmah mendefinisikan al-ladzdzah adalah terbebas dari al-alam (kesakitan).46
Semua jenis siksaan tersebut disebutkan dalam bentuk nakîrah. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran dan kengeriannya.47
WalLâh a’lam bi al-shawwâb. [Bersambung]
[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 45; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 355; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘arabiyy, 1420 H), 169
2 Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 335
3 Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, vol. 9 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 51; Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Majîd, vol. 7 (Kairo: Doktor hasan ‘Abbas Zakkiiy, 1999), 167; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 269
4 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1915
5 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 690
6 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 256. Lihat al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 358
7 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 202. Lihat juga Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 316; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 256
8 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 316; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 119
9 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 270
10 Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, vol. 9, 51
11 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 381. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 45; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 690
12 Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn (Kairo: Dar al-hadits, tt), 774; Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, vol. 9, 51; al-Jazairin, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 458; Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Majîd, vol. 7, 167
13 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 269
14 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 303. Lihat juga al-Da’as, I’râb al-Qur`ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 395
15 Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Majîd, vol. 7, 167
1617 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70. Lihat Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyahm 2001), 389
18 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 203
19 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 381
20 al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31 (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), 353; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 443; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 203
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 256
22 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3, 2134
23 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 381
24 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 381
25 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 443
26 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 443
27 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3, 2004
28 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 689
29 Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 689
30 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 46. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 319
31 Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah
32 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 640
33 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 119; al-Baidhawi,Anwâal-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 256; Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur`ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 161; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 354
34 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 354-355. Lihat juga al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Suwar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 20
35 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 271
36 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 319; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 46
37 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 203
38 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 443
39 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 7 (Beirut: Dar Shadir, 1994), 60
40 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 2, 1623
41 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 382
42 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 46
43 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 443.Lihat juga al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 382
44 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 319
45 Lihat Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, vol. 9, 51; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 203
46 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 203
47 Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 271
48 Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 271