Nisa

Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

Dr. Rahma Qomariyah

Demokrasi  lahir dari akidah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kekuasaan. Negara demokrasi tidak memberikan ruang kepada agama untuk mengatur pemerintahan. Agama dijauhkan dari pembuatan undang-undang dan peraturan. Rakyat adalah sumber kedaulatan. Rakyatlah yang berhak membuat undang-undang, diwakili oleh anggota legislatif yang dipilih berdasarkan suara mayoritas. Tuhan tidak mempunyai hak untuk  membuat undang-undang dan peraturan. Sekalipun bertentangan dengan agama, undang-undang/peraturan tetap bisa disahkan asal didukung suara mayoritas rakyat, seperti undang-undang/peraturan yang melegalkan zina, judi, narkoba dan perbuatan-perbuatan maksiat yang lain. Bahkan suatu kemaksiatan yang tidak pernah dilakukan oleh binatang sekalipun dilegalkan oleh negara  demokrasi. Ada 22 negara demokrasi  yang melegalkan pernikahan sejenis yaitu negara-negara Barat, Eropa-Amerika dan Afrika Selatan.[1]

Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Selain pemilik kedaulatan, rakyat adalah juga sumber kekuasaan. Rakyat berhak memilih kepala pemerintahan, baik kepala negara maupun kepala daerah, berdasarkan suara mayoritas. Karena pemerintahan demokrasi tidak berdasarkan agama tertentu, siapapun bisa menjadi kepala negara tanpa melihat agamanya, gender dan latar belakang yang lain. Kandidat beragama apapun bisa menjadi kepala daerah, bahkan kepala negara, sekalipun berbeda dengan agama mayoritas warga negara, seperti mantan gubernur DKI Jakarta dan wali kota Solo. Bahkan ateis sekalipun bisa menjadi pemimpin, asal dipilih suara mayoritas seperti di PM negara demokrasi Belgia. Demikian pula soal orientasi seksual, negara demokrasi tidak mempermasalahkan apakah normal atau menyimpang. Karena itu tidak aneh jika negara demokrasi dipimpin gay/lesbi Mantan PM Belgia Elio di Rupo; Bettel Perdana Menteri (PM) gay di Luxembourg sejak 2013;  Mantan PM Islandia Jóhanna Sigurðardóttir (AP).[2]

Demikian pula soal gender, baik laki-laki maupun perempuan, punya hak yang sama untuk menjadi anggota legislatif, kepala daerah maupun kepala negara.

Agar kepemimpinan wanita betul-betul bisa diterima oleh umat Islam, maka pegiat demokrasi, termasuk para feminis, dengan lantang mengatakan bahwa  Islam membolehkan  laki-laki dan perempuan menjadi pemimpin, baik pemimpin negara maupun pemimpin publik yang lain secara mutlak sebagaimana laki-laki.[3]

Feminis menolak hadis riwayat Imam al-Bukhari yang melarang wanita menjadi pemimpin negara: ”Lan yufliha qawm[un] wallaw amrahum imra’at[an] (Tidak akan pernah berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada wanita).”

Menurut dia, hadis di atas tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Alasannya, menurut Fatima Mernissi, kualitas perawi cacat. Hadis itu mengomentari putri Kisra yang tidak kapabel. Matan hadis ini tidak bisa menunjukkan larangan (pengharaman).[4]

Menurut dia pula, hadis ini tidak tepat dipakai sebagai dalil karena hadis pada tabaqat shahabat hadis ini hanya diriwayatkan satu rantai, Abu Bakrah saja. Karena itu hadis ini termasuk hadis ahad yang gharîb.[5]

Kepemimpinan Wanita dalam Islam

Pengusung demokrasi, termasuk para feminis menolak hadis ahad. Padahal para ulama hadis  sepakat bahwa hadis tentang larangan wanita menduduki posisi hukkam (penguasa) ini merupakan hadis ahad yang sahih sehingga wajib diterima dalam masalah penetapan hukum syariah. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah syariah, boleh berdalil dengan hadis ahad. Khabar ahad bukan dha’îf, bisa dipakai sebagai dalil, jika memenuhi syarat sebagai berikut: perawinya mukallaf, Muslim, dhâbit dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Imam al Nawawi dalam Mukadimah Syarh Shahih Muslim menyatakan, “Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan sahabat dan tâbi’în, juga kalangan ahli hadis, fukaha dan ulama ushul yang datang setelah para sahabat dan tâbi’în adalah: khabar ahad (hadis ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar’i yang wajib diamalkan.”[6]

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, wanita dibolehkan menjadi pegawai dan pimpinan swasta maupun pemerintahan yang tidak termasuk wilayâh alamri/wilâyah al-hukm antara lain sebagai kepala Baitul Mal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Ummah, qâdhi khushumât (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), qâdhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat). Dibolehkan juga bagi wanita menjadi kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan; rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan; dan lain-lain.

Adapun dalam posisi sebagai hukkam wanita tidak dibolehkan menduduki jabatan tersebut, antara lain: Khalifah (Kepala Negara Khilafah), Mu’awin (Pembantu Khalifah), Wali (Gubernur), Qadi qudat (Pemimpim para qâdhi/ hakim), Qâdhi Mazhâlim (Qâdhi/Hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat Khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi al-Quran dan al-Hadis).[7]

Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah  menyebutkan pendapat Abu Hanifah bahwa semua jabatan pemerintahan tidak boleh dijabat oleh wanita, namun wanita boleh menjabat sebagai hakim yang memutus perkara-perkara yang dia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya. Sebaliknya, dia tidak boleh menjadi hakim yang memutus perkara-perkara yang dia tidak dibolehkan menjadi saksi didalamnya.[8]

Menurut Muhammad bin Ahmad  Ismail al Qadir, Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah,  wanita tidak dibolehkan menjabat khalifah (kepala negara). Alasannya, kepala negara dalam Islam adalah  pemimpin masyarakat, pemimpin para intelektual dan cendekiawan baik Muslim maupun Muslimah. Khalifah pun mempunyai wewenang mengumumkan perang kepada musuh, memimpin pasukan di medan perang, dan memutuskan perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara masyarakat. Kepala negara dalam Islam adalah juga orang yang mempunyai wewenang dan paling layak untuk menjadi imam dan khatib Jumat. Tidak bisa dipungkiri bahwa tugas-tugas tersebut tidak sesuai dengan tabiat wanita.[9]

Karena itu posisi kepala negara atau posisi hukkam tidak dibolehkan bagi wanita.  Dari  Abi Bakrah berkata bahwa Nabi S.A.W. bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita (HR al-Bukhari).[10]

Hadis ini sekalipun bentuknya khabar (pemberitahuan), tetap berfaedah larangan untuk memberi kekuasaan kepada wanita. Adanya dzam (celaan) berupa lan yufliha (tidak akan pernah beruntung) sebagai qarînah menunjukkan bahwa larangan tersebut tegas/pasti (jâzim). Dengan demikian haram bagi wanita menjabat sebagai hukkâm.[11]

Tuduhan Mernisi bahwa hadis tersebut cacat karena perawinya Abu Bakrah merupakan tuduhan yang salah. Alasannya, Abu Bakrah adalah seorang perawi yang tsiqqah (dipercaya). Memang, Abu Bakrah pernah dicambuk oleh Khalifah Umar, namun bukan karena ia berbohong. Akan tetapi, pada saat pengaduannya atas kasus perzinaan yang mengharuskan adanya empat orang saksi, ternyata di antara empat orang saksi ada yang mengundurkan diri. Secara hukum, ketidakmampuan menghadirkan empat orang saksi menjadikan ia dianggap melakukan tuduhan palsu.

Karena Abu Bakrah adalah perawi yang tsiqqah, para ulama hadis sepakat bahwa hadis tentang larangan wanita menduduki posisi hukkâm (penguasa) merupakan hadis sahih, muttasil sanad-nya dan marfû’. Hadis  ini, selain diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam at-Tirmidzi.[12] Muhammad Nashiruddin al-Bani juga menyebutkan hadis ini yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i.[13] []

 

Catatan kaki:

[1] https://lifestyle.sindonews.com/read/1082855/166/daftar-negara-yang-melegalkan-pernikahan-sejenis-dan-lgbt-1454594358

[2] http://global.liputan6.com/read/2966391/3-pemimpin-dunia-yang-punya-pasangan-sejenis

[3]Amalia (ed), Pengantar Fikih Berperspektif Gender, hlm. 460

[4] Ibid, hlm. 448-453.

[5] Ibid, hlm. 448-453

[6] An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hlm 71

[7] Taqiyuddin an-Nabhani, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Beirut Libanon: Dar al Ummah, 2005, hlm.59,113,119,134 dan 153.

[8] Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Bekasi: Dar al-Falah, 2012, hlm. 122-123.

[9] Qadir, Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah, hlm. 149-152.

[10] Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ismail ibn al Mughirah Bukhari (w.256H), Shahih Bukhari, CD.

[11] Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/31-32.

[12] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, CD.

[13] Muhammad Nashiruddin al Bani, Shahih Sunan Nasa’i Juz III, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, hlm 708.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 1 =

Back to top button