Nisa

Muslimah Pahlawan Peradaban

Musaibah binti Kaab, atau yang lebih dikenal dengan Ummu Imarah, ketika melihat Rasulullah saw. terancam musuh dalam Perang Uhud, bergegas menghunus pedang. Ia segera maju melindungi Rasulullah saw. bersama suami dan dua anaknya.  Dua belas luka didapatnya. Namun, ia menolak mundur sampai Rasulullah saw. yang ia cintai dipastikan selamat.  Namanya, harum sebagai Sang Perisai Rasululllah saw.

Nusaibah binti Kaab hanyalah satu dari sekian banyak perempuan Muslim yang turut mengangkat senjata berjihad di jalan Allah.  Sejarah juga mencatat Khaulah binti Azur Sang Pedang Allah dari kalangan perempuan ketika perang melawan Romawi di Syam.  Juga Ummu Haram binti Malhan yang syahid di tengah laut dalam rangka penyebaran Islam ke Pulau Siprus pada masa Utsman bin Affan. Masih banyak lagi pahlawan dari kalangan Muslimah yang terjun dalam medan jihad melawan musuh-musuh yang menghalangi dakwah Islam.

Di Indonesia, kita mengenal Cut Nya Dien, Cut Meutia, Panglima Laut Malahayati dan Nyi Ageng Serang. Mereka terjun langsung memimpin peperangan melawan penjajah Portugis dan Belanda.  Namun, apakah hanya mereka yang layak untuk kita sematkan gelar pahlawan?

Dalam lintasan sejarah Islam yang panjang, lebih dari 14 abad, tak sedikit Muslimah yang namanya diabadikan karena telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi agamanya.  Peran mereka dalam membentuk peradaban Islam, yang menjadi negara adidaya dunia lebih dari seribu tahun, tidak dapat dipandang remeh. Tentu penting bagi Muslimah saat ini untuk menelusuri kembali jalan yang telah dirintis kaum Muslimah pada masa lalu dan merefleksikannya dalam fakta sekarang. Tujuannya agar kaum Muslim bisa mengambil peran dalam kebangkitan umat.

 

Peran Setrategis Muslimah

Peran Muslimah tidak bisa dianggap kecil dalam proses pembentukan peradaban Islam, bahkan peradaban dunia.  Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan Islam terhadap perempuan. Islam membuka pintu bagi mereka untuk berkiprah di tengah umat (Lihat: QS at-Taubah [9]: 71).

Kita bisa melihat bagaimana kaum Muslimah berkiprah dalam perkembangan Islam. Sayyidah Aisyah dikenal sebagai perawi hadis Rasulullah saw. yang menjadi rujukan para Sahabat. Begitu pula Ummu Salamah, Maimunah, Hafshah dan Ummu Habibah dari kalangan istri-istri Rasulullah saw. Juga Ummu Athiyah, Fathimah binti Qais, Asma’ binti Yazid dan seterusnya dari kalangan Shahabiyah.

Bahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengangkat Syifa binti Abdullah yang dikenal kecerdasannya dalam hukum-hukum Allah sebagai qaadhi hisbah (hakim untuk kepentingan publik) di pasar Kota Madinah.  Diriwayatkan pula bahwa salah satu guru Imam Syafii adalah seorang perempuan, Sayyidah Nafiisah.

Tidak hanya dalam keilmuan. Kita juga mengenal Zubaidah binti Ja’far, istri Khalifah Harun ar-Rasyid. Ia memiliki kepedulian besar terhadap urusan umat. Ia pernah memerintahkan perbaikan sumur zam-zam di Makkah serta membangun saluran air di sepanjang rute haji dari Irak sampai Makkah.

Dalam sains, kita dibuat takjub oleh kecerdasan Mariam al-Astralabiya. Ia adalah seorang astronom Muslimah pada abad ke-10 Masehi dari Aleppo, Suriah. Mariam terkenal dalam sejarah sains dunia karena inovasinya dalam merancang astrolabe, nenek moyang dari GPS (Global Positioning System). Mariam hanya satu dari sekian banyak ilmuwan Muslimah yang tak kalah cemerlang seperti Sutayta al-Mahamali yang ahli matematika, Lubna al-Cordoba kepala perpustakaan di kota Cordoba dan yang lainnya.

Mereka semuanya mendedikasikan potensi yang mereka miliki semata-mata untuk Islam dan ketinggiannya.  Karena itu mereka melakukan upaya optimal untuk menjadikan diri mereka bermanfaat di tengah umat dan membangun kapasitas diri mereka.

 

Peran Muslimah dalam Kebangkitan Islam

Penerapan sistem Islam pada masa kejayaannya memiliki pengaruh besar.  Jaminan pendidikan gratis dan berkualitas oleh negara serta penerapan syariah Islam secara utuh dan menyeluruh telah menciptakan iklim yang kondusif bagi kiprah Muslimah di semua bidang.

Namun, kondisi saat ini yang berbeda bukan alasan untuk menghalangi perempuan dari prestasi dan kontribusi terhadap kemajuan Islam.  Justru kondisi keterpurukan umat akibat tidak ada penarapan syariah menjadi ladang yang subur bagi perjuangan.

Umat Islam di dunia saat ini hidup di bawah penjajahan Barat, baik secara politik maupun ekonomi.  Para pemimpin di negeri-negeri Muslim adalah antek-antek Barat. Mereka menjalankan agenda-agenda Barat, termasuk untuk menjauhkan umat dari penerapan syariah Islam.  Mereka diarahkan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung penjajahan, seperti demokratisasi,  liberalisasi sosial dan ekonomi. Semua ini memungkinkan bagi Barat untuk menguras kekayaan alam negara dan merusak tatanan Islam.  Inilah penjajahan gaya baru yang lebih berbahaya karena tidak tertangkap dengan mata telanjang.

Untuk menghadapi penjajahan baru, kita tidak lagi membutuhkan pahlawan yang turun ke gelanggang perang dengan menghunus pedang.  Yang kita butuhkan adalah para pejuang yang bergerak untuk meluruskan pemikiran umat, menyingkap skenario dan kelicikan Barat beserta antek-anteknya, serta mengembalikan umat pada jalur yang Allah tetapkan, yakni penerapan syariah Islam secara kaaffah.

Dengan demikian Islam membutuhkan agen-agen perubahan yang mampu mengubah kondisi umat dari keterpurukan.  Perubahan yang terjadi haruslah perubahan mendasar; mengubah pola pikir umat serta menumbuhkan kesadaran politik.

Di sinilah Islam membutuhkan tidak hanya laki-laki, namun juga perempuan, untuk menjadi agen perubahan umat.  Mereka adalah orang-orang yang aktif mendakwahkan Islam, bukan hanya sebagai agama ritual, namun juga sebagai mabda’ (ideologi), yakni pemikiran mendasar yang memancarkan aturan-aturan kehidupan.  Tidak hanya dakwah lisan, namun juga dakwah melalui tulisan.

Dakwah melalui tulisan saat ini tentu penting ketika media sosial menjadi salah satu rujukan.  Dengan menulis, pikiran kita mampu menjangkau lebih banyak audiens dibandingkan dengan dakwah secara lisan. Tulisan lebih cepat tersebar dan akan terus hidup selama masih ada yang pembacanya. Bahkan sampai ada ungkapan bahwa pena lebih tajam daripada pedang.  Dengan demikian dakwah tulisan ini bisa menjadi wasilah amar makruf nahi mungkar dan membentuk opini umum di tengah umat. Tentu saja ia akan terus mengalirkan pahala sekalipun penulisnya sudah meninggal dunia.

 

Pahlawan itu Bernama Ibu

Salah satu peran strategis perempuan adalah posisinya sebagai ibu.  Ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ibulah yang menggoreskan warna-warna dalam lembaran hidup sang anak.  Ibu pula yang mengukirkan kepribadian Islam, membentuk jiwa kepahlawanan, pada anak.  Karena itu kita senantiasa mendapati di balik para pahlawan besar ada ibu-ibu berjiwa pahlawan.

Tengoklah Imam Syafii. Ibunya membanting tulang membiayai pendidikan anaknya.  Ibunda Imam Hanifah rela menggendong anaknya menuju masjid setiap subuh.  Ibu Sholahuddin al-Ayyubi bertekad melahirkan pembebas Baitul Maqdis.  Ibu Muhammad al-Fatih setiap pagi membangun tekad anaknya untuk menjadi penakluk Konstantinopel.

Merekalah pahlawan hakiki.  Mereka dan para ibu lainnya, yang namanya tidak tercatat dalam sejarah, telah mengukir gemilang peradaban Islam.  Berkacalah pada para ibu Palestina.  Mereka tidak berjuang dengan mengangkat senjata. Namun mereka berjuang dengan hamil, melahirkan dan mendidik anak sebanyak mungkin dalam kondisi yang penuh keterbatasan dan kekurangan.  Mereka menempuh berbagai kesulitan, yang kadang sampai merenggut nyawa mereka, demi melahirkan dan mencetak para pejuang yang akan membebaskan tanah suci umat Islam kedua dari penjajahan Israel laknatullah.

Saatnya kaum Muslimah berbenah diri, mencurahkan segenap kemampuan untuk menyiapkan generasi khayru ummah (generasi terbaik) yang berjuang bagi Islam. Mereka adalah generasi kebangkitan Islam yang akan menghantarkan Islam kembali pada kejayaannya melalui penerapan Islam seutuhnya dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.

 

Khatimah

Saatnya kaum Muslimah menyadari bahwa mereka adalah tiang kebangkitan Islam, penyangga peradaban. Mereka memiliki tanggung jawab yang sama dengan laki-laki: menjadi agen perubahan di tengah umat menuju peradaban mulia dengan menegakkan Islam kâffah.

Semestinya kaum Muslimah tidak mencukupkan diri dengan posisi sebagai istri saja. Mereka juga harus mengambil peran sebagai pencetak generasi dan pengemban dakwah yang istiqamah.  Mereka harus mengoptimalkan semua potensi yang mereka miliki semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah SWT.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Arini Retnaningsih]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 + 9 =

Back to top button